Berdasarkan artikel David
Lewis : Paradoxes of Time Travel
“Tabu”, seperti itu sebagian
orang menganggap time travel. Namun, sejatinya kita sebagai manusia
tidak sadar bahwa kita dijadikan waktu sebagai objek filsafatnya. Terkadang
kita manusia sangat congkak dan percaya diri bahwa kita menguasai alam bahkan
juga waktu. Namun, menurut saya tidak demikian faktanya, justru manusia lah
yang dijadikan objek waktu untuk berfilsafat. Berfilsafat, tidak hanya melulu
tentang berpikir menggunakan akal sehat, alam pun berfilsafat lewat fenomena,
begitu pula waktu yang berfilsafat melalui fenomena-fenomena waktu dimana manusia
dituntut untuk mengenal waktu. Tanpa kita sebagai manusia sadari, karena
terlalu tertutup kabut kecongkakan kita terkadang menyepelekan waktu, padahal
disitulah saat waktu menjadikan kita sebagai objek. Padahal waktu memberikan
kita kenyataan, keabsahan tentang keberadaan kita di alam semesta ini, dimana
kita ada karena waktu.
Waktu, tidak hanya berbicara
tentang jam, pukul berapa, menit berapa, atau detik ke berapa. Namun, waktu
juga berbicara tentang keadaan, kenyataan, kenyataan keberadaan manusia dan
segala isi alam semesta, ruang, tempat, dimensi, jalur, cabang waktu,
gravitasi, bahkan time travel. David Lewis setuju jika time travel itu
sangat mungkin ada, bukan mustahil dan bukanlah hal yang aneh jika time
travel benar adanya. Melalui karya Lewis saya sadar bahwa tidak menutup
kemungkinan adanya time travel, justru saya semakin sadar bahwa
disinilah peran waktu yang menjadikan manusia sebagai objeknya untuk
berfilsafat, bagaimana manusia akan bertindak atau respon manusia terhadap
waktu secara alami terhadap hal-hal yang diluar batas pemikiran manusia
dikarenakan kecongkakan manusia.
Saya akan menjabarkan bagaimana waktu
mempermainkan manusia sebagai objek filsafatnya didukung oleh karya Lewis. Mari
kita sebut time travel itu sebuah fenomena yang merupakan produk dari
waktu yang berfilsafat, dari sini kita bisa melihat bahwa waktu mengenalkan
keagungan dirinya yang membelot nalar manusia dan seolah mendeklarasikan bahwa
kita manusia itu bukanlah siapa-siapa tanpa waktu atau bahkan tidak ada. Sekitar
sebulan yang lalu saya menonton film yang berjudul “Lucy”, disana saya ingat
betul bahwa ada bagian film dimana ada video yang memutarkan tentang mobil yang
berjalan dari ujung jalan ke ujung jalan lainnya, kecepatan mobil tersebut
konstan dan dengan efek video dipercepat, dan makin
dipercepat dan dipercepat
sampai hampir menuju kecepatan cahaya, dan hasilnya adalah mobil tersebut
hilang, tidak ada. Ini semua hanya masalah waktu, waktu lah yang membuat mobil
tersebut ada, begitupun kita, tidak menutup kemungkinan bahwa keberadaan kita
di alam semesta sangat bergantung kepada waktu. Disinilah waktu hendak
menyadarkan kita untuk tidak congkak, sebab tanpa waktu, kita hanya seperti
mobil tadi. Tidak ada.
Saya tidak akan membahas
terlalu jauh tentang time travel, karena saya lebih tertarik untuk menjelaskan
bagaimana waktu memainkan kita manusia sebagai objek filsafatnya. Lewat suatu
isu yang sempat menggemparkan dunia yaitu tentang “John Titor” yang mengaku
bahwa ia adalah seorang time traveler dari tahun 2036 yang menjelajah
waktu ke tahun 2000. Mungkin beberapa orang percaya ini hanya hoax belaka.
Namun, tidak untuk beberapa ilmuwan seperti Ronald Mallett, beliau merupakan
professor dan ahli fisika di Universitas Connecticut yang justru merespon
keberadaan Titor, yang akhirnya Mallet justru sekarang sedang mengembangkan
mesin waktunya serta berkerja sama dengan CERN(Badan Riset Nuklir Eropa),
proyek ini mengandalkan teori ruang dan waktu yang disebut The Large Hardon
Collider 1995.
Dari fenomena yang saya
jabarkan di atas, lihatlah bagaimana waktu menggunakan ilmuwan bahkan suatu
institusi untuk mengeksplor waktu, seolah semua ini milik waktu, tanpa waktu,
kita itu tidak jelas. Masih kontra? Maka saya akan menggunakan kata pepatah
“Biar waktu yang menjawabnya”, “waktu adalah uang”, “lambat-laun akan
terbongkar”, “seiring dengan perkembangan maka akan terbuka”, kata-kata pepatah
demikian yang merupakan keberhasilan sang waktu berfilsafat menggunakan manusia
sebagai objeknya. Satu pepatah “Biar waktu yang menjawabnya” disini ada suatu
arti penting dimana waktu membuat kita sebagai manusia menunggu jawaban,
menunggu sesuatu, menunggu sang waktu untuk menjawab. Bahkan waktu itu
menentukan keberadaan kita di alam semesta ini, saya ambil contoh kecil yang
sederhana saat ada rapat pada hari Senin jam 5 sore di Selasar, risalah kita
akan berada di Selasar jam 5 sore pada hari Senin. Demikian waktu menunjukkan
bahwa kita abash karena dia, kita hanyalah ditentukan oleh waktu.
Saya juga akan memperlihatkan bagaimana
waktu berfilsafat menggunakan (fungsi) ilmu pengetahuan dan juga tentunya
manusia serta ruang, tempat, gravitasi, dimensi, fisika kuantum, kosmologi,
Albert Einstein, bahkan David Lewis. Seperti yang sudah saya katakana bahwa
waktu menjadikan manusia sebagai objek filsafatnya dan di isu time travel lah
sang waktu
menggunakan kita bahkan ilmu
pun. Waktu menggunakan manusia, buktinya? Adalah Albert Einstein dengan teori
relativitasnya E=mc2 , seiring dengan berjalannya “waktu” Einstein
mengembangkan teori tersebut sehingga lahirlah konsep “wormhole” dimana
ruang dan waktu itu saling berhubungan dan gravitasi dapat membengkokkan waktu
sama seperti ia membengkokkan ruang. Dari konsep jenius inilah manusia
lain(ilmuwan besar) dimanfaatkan waktu seperti Kurt Godel-seorang ahli
matematika- yang mengembangkan pemikiran Einstein sehingga memunculkan konsep “blackhole”
dan ilmuwan-ilmuwan besar lainnya juga ikut mengembangkan pemikiran bahwa time
travel itu adalah mungkin seperti Roy Kerr, Kip Thorne.
Sekilas mari kita berbicara
tentang dimana ilmu yang diciptakan Einstein dipinjam oleh ilmuwan fisika,
matematika, fisika kuantum, bahkan kosmologi. Sangat seru berbicara tentang ini
karena ini mengingatkan saya saat di kelas “Filsafat Ilmu” tentang fungsi ilmu
dimana “to borrow” diaplikasikan, disinilah saya percaya bahwa waktu pun
memanfaatkan ilmu sebagai objek filsafatnya, demikian pula manusia. Bahkan
seorang professor sekalipun, demi ke eksistensian “sang waktu” menyadarkan kita
manusia yang congkak merasa percaya diri menguasai semesta, padahal jika ingin
ditarik ontologinya, waktu sudah ada sebelum manusia ada. Bahkan secara
epistimologi, waktu meraih keeksistensian “sang waktu” melalui manusia yang
dimana waktu berfilsafat melalui manusia, secara aksiologi pun manusia
dimanfaatkan waktu untuk berfilsafat atau dengan kata lain manusia itu
bermanfaat bagi waktu.
Dalam kosmologi, teori
Einstein sangat berpengaruh dan juga bagi hukum fisika kuantum Everett-Wheeler
yang mana menjadi dasar pondasi bagi David Lewis untuk berpendapat tentang time
travel itu mungkin dan menurut saya Lewis juga seolah menyetujui bahwa waktu
menggunakan kita manusia sebagai objek dikarenakan Lewis berpendapat dalam
artikelnya bahwa “Time plays in the life of a common person”. Waktu pun
memanfaatkan Lewis untuk mengeksplor kemaha an sang waktu dengan Lewis
mengungkapkan bahwa hanya ada satu dimensi maka waktu menguasai kita, bahkan
sejatinya “time paradox” itu tidak benar, seolah waktu itu menguasai kita, kita
tidak apa-apanya tanpa waktu termasuk mengubah keadaan melalui waktu. Waktu itu
sangat agung, sehingga membelalakkan kita bahwa time travel itu mungkin dan
walaupun mungkin, kita tidak bisa mengubah apapun di masa depan ataupun masa
lalu karena waktu itu hanya satu “sang waktu” mari ibaratkan waktu seperti satu
jalur rel kereta, jalur kereta hanya ada satu, namun memiliki cabang, jadi
waktu memiliki dimensi dimana inilah yang menjadi dasar bahwa teori time
paradox itu tidak bisa, karena melawan sang waktu. Waktu menyatakan
keabsahan keberadaan kita karena tidak benar jika seorang time traveler berada
di dua tempat dalam satu waktu, ini namanya melawan waktu, jadi memang sangat
mungkin adanya time travel . Namun, tidak akan mengubah apapun karena
ini melawan sang waktu yang dimana memiliki dimensi yang berbeda. Lewis
menjelaskan tentang “Teori Grandfather Paradox” dimana saat sang cucu datang ke
masa lalu tidak bisa membunuh kakeknya, karena berbagai kemungkinan, karena
hidup di dimensi yang berbeda (masih ingat perumpamaan rel satu rel kereta?
Disinilah dimensi sebagai cabang). Rel hanya satu, “garis waktu” atau timeline
hanya ada satu walaupun memiliki cabang atau dimensi, tetap tidak akan mengubah
apapun, dimana itu tadi, si cucu tidak dimungkinkan untuk membunuh kakeknya,
kakeknya akan tetap hidup di masa yang datang karena hidup di dimensi yang
berbeda.
Jadi, memang menurut saya, sang waktu
sungguh luar biasa berfilsafat, waktu menggunakan manusia (yang dimana manusia
sampai saat ini tidak sadar) dan manusia tetap saja bersifat congkak dengan
merasa mampu mengalahkan waktu dan memiliki semesta dan merasa paling khidmat
dan paling pintar. Waktu memutar balikkan itu semua dengan bahwa tanpa ia,
manusia itu tidak ada. Waktu menyatakan keabsahan keberadaan kita di alam
semesta ini. Waktu, mencobai kita dengan adanya fenomena time travel ,
waktu seolah juga memanfaatkan manusia untuk menggali lebih dalam tentang
fenomena tersebut untuk menunjukkan pada manusia bahwa inilah “sang waktu” yang
mungkin diluar nalar manusia. Namun, ini lah waktu, para ilmuwan pun sadar
bahwa ini hanya masalah waktu yang dimana waktu pun memanfaatkan ruang, tempat,
gravitasi, teori Einstein, Kosmologi, dan lain-lain. Kita manusia terlalu congkak
dengan pemikiran kita dan seperti ditampar oleh waktu untuk ingat bahwa kita
tanpa sang waktu itu tidak ada (masih ingat penjelasan saya di atas tentang
film “Lucy”?). Sang waktu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar