Disarikan dari Buku “Catatan Masa Lalu Banten”, Drs Halwani Michrob, MSc, Drs A. Mudjahid Chudori, Penerbit Saudara, Serang 1993
130 M Berdiri Kerajaan Salakanagara (Negeri Perak)yang beribukota Rajatapura yang terletak di pesisir barat Pandeglang.
Raja pertama Dewawarman I (130 – 168 M) yang bergelar Aji Raksa Gapurasagara (Raja penguasa gerbang lautan)
Daerah kekuasaannya meliputi :
• Kerajaan Agrabinta di Pulau Panaitan
• Kerajaan Agnynusa di Pulau Krakatau
• Dan daerah ujung selatan Sumatera
165 M Banten (Pulau Panaitan) masuk dalam peta yang dibuat oleh Claudius
Ptolomeus sebagai bagian dari jalur pelayaran dari Eropa menuju Cina
dengan melalui India, Vietnam, ujung utara dan pesisir barat Sumatera,
Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Cina Selatan sampai ke
Daratan Cina.
Abad 5 M Prasasti Munjul yang diperkirakan berasal dari abad ke V masehi
ditemukan di Sungai Cidangiang, Lebak Munjul – Pandeglang.
Prasasti berhurufkan palawa dengan bahasa sanksekerta menyatakan bahwa raja yang berkuasa di kawasan tersebut adalah Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara. Dalam prasasti tersebut dituliskan juga bahwa negara pada saat itu berada dalam kemakmuran dan kejayaannya.
Abad XII – XV Banten menjadi pelabuhan dari Kerajaan Pajajaran.
Abad XIV Ditemukan prasasti di Bogor, yang menyatakan Pakuan Pajajaran
didirikan oleh Sri Sang Ratu Dewata, yang daerah kekuasaannya meliputi
seluruh Banten, Kalapa (Jakarta), Bogor, sampai Cirebon.
Abad XVI Awal abad ke XVI, Banten dibawah pemerintahan Prabu Pucuk Umun
(Dalam Babad Cibeber disebut juga sebagai Ratu Ajar Domas). Pusat
pemerintahannya terletak di Banten Girang, yang dihubungkan dengan
pelabuhan Banten melalui Sungai Cibanten, dan melalui Klapadua sebagai
jalur darat.
1513 M Tome Pires, pelaut Portugis, memberitakan bahwa pelabuhan Banten
merupakan pelabuhan kedua terbesar setelah Kalapa. Telah terjadi
hubungan perniagaan dengan Sumatera dan Maladewa, dan pelabuhan Banten
merupakan pengekspor beras, bahan makanan dan lada.
Pada masa ini, diberitakan juga sudah banyak dijumpai orang Islam di daerah Cimanuk, dan kota kota pelabuhan seperti Kalapa dan Banten.
1511-21 M Tanggal 5 Agustus 1511 M, Bangsa Portugis menguasai Malaka dan
disusul dengan takluknya Samudera Pasai pada tahun 1521 M. Selain untuk
kekuasaan dan kekayaan, bangsa Portugis juga dibebani misi untuk
menghancurkan agama Islam. Dengan menguasai Malaka, bangsa Portugis
memonopoli perdagangan rempah rempah di Asia Tenggara, dan memberlakukan
peraturan peraturan yang memberatkan bagi para pedagang terutama yang
beragama Islam. Kondisi ini membuat pedagang pedagang dari Arab, Parsi,
Cina, dan bangsa lain enggan untuk berniaga ke Malaka dan mengalihkannya
ke Aceh, Banten, Cirebon, dan Demak.
Keadaan ini sangat menguntungkan bagi Pelabuhan Banten yang berkembang
semakin pesat dan lama kelamaan menjadi pusat penyebaran agama Islam di
bagian barat pulau Jawa.
1521 M Dengan semakin berkembang pesatnya kekuatan Islam di barat dan
timur, timbul kekhawatiran raja Pajajaran akan semakin terdesaknya agama
Hindu selaku agama resmi kerajaan dan juga lunturnya kekuasaan di di
daerah pantai.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja
Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata) melakukan :
• Pembatasan pedagang pedagang yang beragama Islam mengunjungi pelabuhan pelabuhan yang berada di bawah kekuasaan Pajajaran.
• Menjalin hubungan persahabatan dan kerjasama dengan bangsa Portugis di Malaka, agar dapat membantu Pajajaran bila diserang Kerajaan Demak, dengan mengutus putera mahkota Pajajaran Ratu Sangiang atau Surawisesa ke Malaka.
1522 M 21 Agustus 1522 M, Henrique Leme, utusan Gubernur Malaka,
menandatangani perjanjian dengan raja Pajajaran, Pangeran Surawisesa,
pengganti Sri Baduga Maharaja. Perjanjian tersebut berisi antara lain :
• Portugis dapat mendirikan benteng di pelabuhan Sunda Kelapa
• Raja Pajajaran akan memberikan lada sebanyak yang diperlukan Portugis sebagai penukaran barang barang kebutuhan Pajajaran.
• Portugis bersedia membantu Pajajaran apabila diserang Demak atau kerajaan lainnya.
• Sebagai tanda persahabatan, Pajajaran akan memberikan hadiah 1000 karung lada setiap tahunnya kepada Portugis.
• Portugis dapat mendirikan benteng di pelabuhan Sunda Kelapa
• Raja Pajajaran akan memberikan lada sebanyak yang diperlukan Portugis sebagai penukaran barang barang kebutuhan Pajajaran.
• Portugis bersedia membantu Pajajaran apabila diserang Demak atau kerajaan lainnya.
• Sebagai tanda persahabatan, Pajajaran akan memberikan hadiah 1000 karung lada setiap tahunnya kepada Portugis.
1525 M Pasukan gabungan Demak dan Cirebon yang dipimpin Fatahillah,
Pangeran Cirebon, Dipati Cangkuang, dan Dipati Keling, serta pasukan
lokal di bawah pimpinan Hassanudin dapat menguasai Banten.
Untuk menjaga stabilitas keamanan di Banten, Hassanudin kemudian diangkat menjadi Adipati Banten dengan pusat pemerintahan di Banten Girang.
1526 M Atas petunjuk dari Sunan Gunung Jati, ibukota
Banten dipindahkan ke dekat pelabuhan Banten, yang kemudian disebut
dengan Surosowan. Berdasarkan beberapa data, pemindahan ibukota ini
dilakukan pada tanggal 1 Muharram 933 H yang bertepatan dengan tanggal 8
Oktober 1526 M.
1527 M Terdengar kabar, Portugis dengan armada dan persenjataan lengkap
telah meninggalkan Malaka menuju Sunda Kelapa. Mendengar berita ini,
Demak, Banten, dan Cirebon bergerak untuk menguasai Sunda Kelapa. Sunda
Kelapa dapat dikuasai pada tahun 1527 M, dan Fatahillah diangkat untuk
menjadi Adipati Sunda Kelapa. Sebagai tanda kemenangan, Sunda Kelapa
diganti namanya menjadi Jayakarta, yang berarti Kota Kemenangan.
Armada Portugis yang datang dari Malaka untuk melaksanakan perjanjian tahun 1522 M dengan Kerajaan Pajajaran tiba setelah Sunda Kelapa dikuasai pasukan Islam. Portugis yang dipimpin oleh Francisco de Sa melakukan perang terbuka di perairan Sunda Kelapa, dan setelah mendapat perlawanan hebat dari pasukan Islam, Portugis dapat diusir mundur dari Sunda Kelapa.
Setelah Jayakarta berhasil diamankan dari serangan Portugis, Hassanudin
dan Fatahillah bekerjasama menangani pembangunan di Banten dan
Jayakarta. Hassanudin bertanggung jawab dalam masalah pengembangan
wilayah dan pendidikan kemasyarakatan, sedangkan Fatahillah bertanggung
jawab menangani keamanan dan pertahanan wilayah. Sehingga pada masa itu
Islam menyebar dengan pesat dan keamanan negara terjamin. Kedua penguasa
di Jawa Barat memerintah atas nama Sultan Demak.
1552 M Kemajuan perkembangan Banten yang sangat pesat, menjadikan status
Banten ditingkatkan dari Kadipaten menjadi Kerajaan. Hassanudin
ditunjuk sebagai raja pertama. Dan pada tahun yang sama pula, Fatahillah
(menantu dari Sunan Gunung Jati) diangkat menjadi raja di Cirebon,
mewakili Sunan Gunung Jati, dikarenakan mangkatnya raja Cirebon,
Pangeran Pasarean (putera Sunan Gunung Jati) di tahun tersebut. Untuk
menjalankan tugas pemerintahan di Jayakarta diangkat Pangeran Bagus
Angke, menantu Sultan Hassanudin.
1552-1570 M Masa Pemerintahan Sultan Maulana Hassanudin.
Sultan Maulana Hassanudin memerintah sebagai raja pertama Kesultanan Banten dari tahun 1552 M hingga wafatnya di tahun 1570 M.
Sultan Maulana Hassanudin memerintah sebagai raja pertama Kesultanan Banten dari tahun 1552 M hingga wafatnya di tahun 1570 M.
Pada masa pemerintahannya, digambarkan kota Banten telah berkembang sangat pesat. Jumlah penduduk diperkirakan telah mencapai 70.000 jiwa. Terletak di pertengahan pesisir teluk Banten, Kota yang dikenal dengan nama Surosowan ini memiliki panjang 400 hingga 850 depa. Kota Banten dilewati sungai jernih yang dapat dilalui oleh kapal jung dan gale.
Kota Banten dikelilingi benteng bata setebal tujuh telapak tangan.
Bangunan bangunan pertahanan dua lantai terbuat dari kayu dan dilengkapi
dengan meriam. Di tengah kota terdapat alun alun yang digunakan untuk
kegiatan ketentaraan, kesenian rakyat dan juga sebagai pasar di pagi
hari. Istana raja terletak di sisi selatan alun alun, disampingnya
dibangun bangunan datar yang ditinggikan dan diatapi yang disebut
srimanganti, sebagai tempat raja bertatap muka dengan rakyat. Di sebelah
barat alun alun dibangunlah Masjid Agung Banten.
Sultan Hassanudin dalam usahanya membangun dan mengembangkan kota Banten
lebih menitik beratkan pada pengembangan sektor perdagangan, disamping
memperluas lahan pertanian dan perkebunan. Pada masa pemerintahannya,
Banten telah menjadi pelabuhan utama di Nusantara, sebagai persinggahan
utama dan penghubung pedagang pedagang dari Arab, Parsi, Cina, dengan
kerajaan kerajaan di Nusantara.
Cara jual beli saat itu, masih menggunakan sistem barter, dan juga sudah
mulai digunakan mata uang sebagai alat tukar. Mata uang yang digunakan
adalah Real Banten dan cash cina (caxa).
Terjadinya krisis kepemimpinan di Kesultanan Demak pada tahun 1547-1568
M, mendorong Sultan Hassanudin untuk melepaskan diri dari Kesultanan
Demak dan menjadikan Banten kerajaan yang berdiri sendiri. Saat itu,
wilayah Kesultanan Banten telah meliputi Banten, Jayakarta, Kerawang,
Lampung, Inderapura, sampai Solebar.
Sultan Hassanudin wafat tahun 1570 M dan dimakamkan di samping Masjid
Agung. Setelah wafatnya, Maulana Hassanudin dikenal dengan sebutan
Sedakinking. Sebagai penggantinya, dinobatkanlah Pangeran Yusuf sebagai
Raja Banten ke 2.
1570-1580 M Sultan Maulana Yusuf
Pada masa kepemerintahan Sultan Maulana Yusuf, strategi pembangunan dititik beratkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian. Pada saat itu, perdagangan sudah sangat maju sehingga Banten merupakan tempat penimbunan barang barang dari seluruh dunia yang nantinya akan disebarkan ke seluruh nusantara.
Dengan majunya perdagangan maritim di Banten, maka kota Surosowan
dikembangkan menjadi kota pelabuhan terbesar di Jawa. Ramainya kota baru
ini dengan penduduk pribumi maupun pendatang membuat diberlakukannya
aturan penataan dan penempatan penduduk berdasarkan keahlian dan asal
daerah penduduk. Perkampungan untuk orang asing biasanya ditempatkan di
luar tembok kota, seperti Pekojan yang diperuntukan bagi pedagang muslim
dari kawasan Arab ditempatkan di sebelah barat pasar Karangantu,
Pecinan yang diperuntukan bagi pendatang dari Cina ditempatkan di
sebelah barat Masjid Agung, di luar batas kota. Penataan pengelompokan
pemukiman ini selain bertujuan untuk kerapian dan keserasian kota juga
untuk kepentingan keamananan, dan merupakan upaya penyebaran dan
perluasan kota.
Selain penataan pemukiman, juga dilakukan perkuatan dan penebalan tembok
keliling kota dan tembok benteng sekeliling istana. Tembok benteng
diperkuat dengan lapisan luar yang terbuat dari bata dan batu karang
dengan parit parit disekelilingnya. Perbaikan Masjid Agung juga
dilakukan dan penambahan bangunan menara dengan bantuan Cek Ban Cut,
arsitek muslim asal Mongolia.
Untuk kepentingan irigasi bagi persawahan yang berada di sekitar kota
dan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih bagi kota Surosowan, di buatlah
danau buatan yang dinamakan Tasikardi. Air dari sungai Cibanten
dialirkan melalui terusan khusus ke danau ini, yang kemudian disalurkan
ke daerah daerah sekitar danau. Dengan melalui pipa pipa terakota,
setelah diendapkan di Pengindelan Abang dan Pengindelan Putih, air yang
sudah jernih dialirkan ke keraton dan tempat tempat lain di dalam kota.
Di tengah danau buatan ini juga dibuat pulau kecil yang digunakan
sebagai tempat rekreasi keluarga keraton.
Sultan Maulana Yusuf wafat pada tahun 1580 M dan dimakamkan di
Pakalangan Gede dekat kampung Kasunyatan sekarang, dan karenanya beroleh
gelar Pangeran Panembahan Pakalangan Gede atau Pangeran Pasarean.
Sebagai pengganti, diangkatlah putranya, Pangeran Muhammad yang pada
waktu itu baru berusia 9 tahun.
1579 M Pasukan Banten di bawah pimpinan Sultan Maulana Yusuf berhasil
merebut Pakuan, ibukota Kerajaan Pajajaran dan menguasai seluruh wilayah
bekas kerajaan Pajajaran.
Raja terakhir yang memerintah Kerajaan Pajajaran adalah Raga Mulya atau
Prabu Surya Kencana, yang juga dijuluki Prabu Pucuk Umun atau Panembahan
Pulosari, karena pada akhir masa kepemerintahannya berkedudukan di
gunung Pulosari, Pandeglang. Benteng Pulosari dapat dikuasai oleh Sultan
Maulana Yusuf pada tanggal 8 Mei 1579/11 Rabiul Awal 987 H.
Setelah berhasil dikalahkan, seluruh punggawa kerajaan Pajajaran
diislamkan dan dibiarkan kembali memangku jabatannya sehingga dapat
menjamin stabilitas keamanan di seluruh wilayah Banten.
1580-1596 M Sultan Maulana Muhammad Kanjeng Ratu Banten Surosowan
Keadaan Banten pada masa Sultan Maulana Muhammad dapat diketahui berdasarkan kesaksian Willem Lodewycksz yang mengikuti Cornelis de Houtman yang mendarat di pelabuhan Banten tahun 1596. Dari catatan mereka diketahui bahwa Kota Banten mempunyai tembok tembok yang lebarnya lebih dari depa orang dewasa dan terbuat dari bata merah. Diperkirakan besarnya sebesar kota Amsterdam tahun 1480 M dan orang dapat melayari seluruh kota Banten melalui banyak sungai.
Keadaan Banten pada masa Sultan Maulana Muhammad dapat diketahui berdasarkan kesaksian Willem Lodewycksz yang mengikuti Cornelis de Houtman yang mendarat di pelabuhan Banten tahun 1596. Dari catatan mereka diketahui bahwa Kota Banten mempunyai tembok tembok yang lebarnya lebih dari depa orang dewasa dan terbuat dari bata merah. Diperkirakan besarnya sebesar kota Amsterdam tahun 1480 M dan orang dapat melayari seluruh kota Banten melalui banyak sungai.
Setiap kapal asing yang hendak berlabuh di Bandar Banten diharuskan melalui semacam pintu gerbang dan membayar bea masuk.
Transaksi perdagangan di pasar ini berjalan mudah karena mata uang dan pertukaran mata uang (money changer) sudah dikenal.
Maulana Muhammad terkenal sebagai orang yang saleh. Untuk kepentingan
penyebaran agama Islam, beliau banyak mengarang kitab agama Islam dan
membangun masjid hingga ke pelosok negeri. Sultan juga menjadi khatib
dan imam untuk setiap shalat Jum’at dan Hari Raya. Pada masa
kepemimpinannya, Masjid Agung diperindah dengan melapisi dinding dengan
keramik dan kolomnya dengan kayu cendana, untuk tempat shalat perempuan
disediakan tempat khusus yang disebut pawastren atau pawadonan.
Sultan Maulana Muhammad wafat pada tahun 1596 pada saat penyerangan ke
Palembang, perang yang dimulai akibat bujukan Pangeran Mas, keturunan
dari Kerajaan Demak yang ingin menjadi Raja Palembang. Sultan tertembak
ketika memimpin pasukan dari kapal Indrajaladri di Sungai Musi.
Sultan Maulana Muhammad wafat di usia 25 tahun, dimakamkan di serambi Masjid Agung dan beroleh gelar Pangeran Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana. Sultan meninggalkan putra yang baru berusia lima bulan, yaitu Abul Mafakhir, yang ditunjuk sebagai penggantinya.
Sultan Maulana Muhammad wafat di usia 25 tahun, dimakamkan di serambi Masjid Agung dan beroleh gelar Pangeran Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana. Sultan meninggalkan putra yang baru berusia lima bulan, yaitu Abul Mafakhir, yang ditunjuk sebagai penggantinya.
1596-1651 M Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir
Sultan Abul Mafakhir yang baru berusia lima bulan, untuk menjalankan roda pemerintahan maka ditunjuklah Mangkubumi Jayanegara, seorang tua yang lemah lembut dan luas pengalamannya dalam pemerintahan sebagai walinya.
Masa awal pemerintahan Sultan yang masih balita ini merupakan masa masa pahit dalam sejarah Kesultanan Banten karena banyaknya perpecahan dalam keluarga kerajaan, dengan berbagai kepentingan yang berbeda serta keinginan untuk merebut tahta kerajaan.
Pada saat Mangkubumi Jayanegara wafat di tahun 1602 M, perwalian
dikembalikan ke ibunda sultan, Nyai Gede Wanagiri. Nyai Gede Wanagiri
yang telah menikah kembali, mendesak agar suami barunya ditunjuk sebagai
Mangkubumi. Mangkubumi yang baru ini, dalam kenyataannya banyak
menerima suap dari pedagang asing, sehingga tidak memiliki wibawa dan
keputusannya lebih banyak tidak ditaati. Kekacauan di dalam negeri
semakin membesar dan tidak dapat ditangani karena Mangkubumi lebih sibuk
mengurus keributan yang ditimbulkan oleh pedagang Belanda dengan
pedagang Inggris, Portugis, maupun pedagang dalam negeri.
Puncak dari kekacauan itu adalah dibunuhnya Mangkubumi, yang memicu
terjadinya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Pailir, yang
terjadi di tahun 1608 – 1609 M. Perang untuk memperebutkan tahta yang
dilancarkan oleh Pangeran Kulon, saudara sultan lain ibu ini, dapat
dihentikan atas usaha Pangeran Jayakarta hingga dibuat perjanjian
perdamaian antara semua pihak. Salah satunya adalah diangkatnya Pangeran
Ranamanggala sebagai Mangkubumi dan wali dari sultan muda, semenjak itu
Banten menjadi aman kembali.
Pangeran Ranamanggala adalah putra Maulana Yusuf, saudara beda ibu
dengan Sultan Maulana Muhammad. Selama menjabat sebagai Mangkubumi,
tindakan utama yang diambil adalah mengembalikan stabilitas keamanan
Banten dan menegakan peraturan untuk kelancaran pemerintahan, yang
bahkan Sultan sendiri tidak diperkenankan untuk ikut campur. Dengan cara
demikian, Banten dapat terselamatkan dari kehancuran akibat rongrongan
dari dalam amupun luar negeri.
Mangkubumi dalam menghadapi bangsa asing tidak berat sebelah atau
memihak pihak manapun. Beberapa kebijakan penting yang diambil :
• Penghapusan keharusan bagi pedagang Cina untuk menjual lada kepada pedagang Belanda
• Penetapan pajak ekspor lada dan pajak impor bagi barang barang yang sebelumnya tidak terkena pajak
• Pemberlakuan pajak yang lebih tinggi bagi pedagang dari Belanda. Hal ini dilakukan agar pedagang dari Belanda tidak berniaga di Banten karena perilaku pedagang Belanda yang kasar dan mau mencampuri urusan pemerintahan dan dalam negeri Banten.
Disarikan dari Buku BANTEN DALAM PERGUMULAN SEJARAH: sultan, ulama, jawara. karangan Nina H Lubis.
Melihat namanya ia rupanya seorang bangsawan, tetapi biarlah
kebangsawanan ini sebagai tambahan pengetahuan saja. Yang penting ialah
Jonkheer Jan de Rovere van Breugel adalah seorang pejabat VOC di Banten.
Pada tahun 1788, ia terpaksa meninggalkan jabatannya pada maskapai
dagang Belanda yang semakin lama semakin berfungsi sebagai sebuah
“negara” itu. Peristiwa ini pun tak pula penting. Pulang kampung dan
meletakkan jabatan bukanlah pula hal yang harus dibesar-besarkan. Akan
tetapi, yang menarik ialah ternyata setahun sebelum ia “pulang negeri”,
raden mas Belanda ini sempat menyelesaikan dua memorandum panjang, yang
masing-masing berjudul Berschijving van Banten en de Lampong (Uraian
tentang Banten dan Lampung) dan Bedenkingen van den staat van Bantam
(Pemikiran tentang Banten). Namun, barulah pada tahun 1857 – hampir enam
dasawarsa kemudian – ringkasan dari kedua memorandum panjang ini
diterbitkan dalam majalah Bijdragen tot Taal-,land-,en volkenkunde
(biasa dipendekkan dengan BKI saja, terbitan KITLV), sebuah majalah yang
sampai sekarang masih terbit bahkan telah semakin bersifat
internasional.
Pada pengantar dari memorandum yang telah diperpendek itu, redaksi
majalah mengatakan bahwa sebenarnya naskah lengkap dari sang bangsawan
lokal ini akan diterbitkan oleh Bataviaasch Genootschaap- sebuah
organisasi keilmuan yang tertua di negeri yang kemudian bernama Hindia
Belanda ini. Akan tetapi, rencana penerbitan ini dibatalkan karena
Gubernur Jenderal Alting menasehati sang pengarang agar mau mengurungkan
niatnya. Soalnya kedua naskah memorandum itu-entah sengaja, entah
tidak, tetapi lebih mungkin karena keasyikan berkisah saja-ternyata
banyak juga membicarakan hal-hal yang mestinya tidak boleh diketahui
umum. Jadi rahasia dari masa-masa akhir hidup VOC termuat juga dalam
naskah ini. Coba saja pikir pejabat yang bergelar Jonkheer ini antara
lain mengusulkan agar VOC menurunkan tingkat administratif Banten hingga
dengan begini jumlah tentara yang diperlukan cukup 185 orang saja,
tidak lagi 372 orang. Soalnya Banten cukup dekat dari Batavia dan lagi –
dan ini rupanya penting juga – “kemiskinan sang raja telah meniadakan
kemungkinannya untuk melakukan apapun”. Maka dengan pengurangan biaya
ini kerugian finansial VOC bisa ditekan. Bukankah sudah umum juga
diketahui bahwa salah satu sebab utama VOC dilebur dan daerah-daerah di
Kepulauan Indonesia yang telah berada di bawah dominasi VOC dijadikan
sebagai bagian dari sebuah negara kolonial yang disebut Hindia Belanda
ialah karena VOC telah mengalami kebangkrutan?
Tentu sekarang kita bisa berkata bahwa kalau dihitung-hitung umur VOC
lebih panjang daripada Hindia Belanda. VOC sempat hidup sampai dua abad
kurang dua tahun (1602-1800), sedangkan umur Hindia Belanda hanya 142
tahun saja. Kalaupun ingin berpikir secara legalistik yang kaku
paling-paling hanya bisa ditambah empat tahun tambah beberapa bulan –
sejak menyerahnya Jepang hingga “penyerahan kedaulatan”. Akan tetapi,
yang akan mau mengakui cara berpikir legalistik konyol ini, siapa lagi
selain kaum konservatif Belanda? Jadi, tak perlu heran kalau masyarakat
awam masih menyebut pemerintah kolonial Belanda “kompeni”, meskipun
Hindia Belanda telah berkuasa.
Namun demikian, sudahlah, yang jelas kedua naskah memorandum yang telah diperpendek itu diterbitkan ketika Pemerintah Hindia Belanda telah asyik dengan politik “tanam paksa” atau cultuurstelsel di Pulau Jawa. Politik ini bukan saja dengan ekstrem mengeksploitasi anak negeri dan menjadikan mereka terpaku pada desa masing-masing, tetapi juga serta merta mengikis tradisi maritim Jawa yang dinamis. Kalau begini keadaannya nilai aktualitas dari memorandum itu telah membuyar. Karena itulah barangkali ikhtisar memorandum kurang begitu menarik perhatian.
Apalagi pada waktu diterbitkan, Banten telah pula sepenuhnya berada di
bawah kekuasaan Belanda. Policy apalagi yang akan dijalankan berdasarkan
memorandum itu? Bisalah pula dipahami bahwa barulah ketika Ann Kumar,
sejarawan Australia yang ahli Jawa, menulis tentang hubungan Jawa dan
Belanda (Java and Modern Europe, 1997) ia merasa perlu menjadikan
tulisan dari van Breugel ini sebagai bahan kajiannya. Ia pun “berbaik
hati” juga mengikhtisarkan lagi ikhtisar naskah sang Jonkheer, tetapi
kali ini dalam bahasa Inggris.
Dengan membaca “ikhtisar dari ikhtisar” ini kita mengetahui juga dasar
keinginan van Breugel untuk menerbitkan kedua memorandumnya dan bisa
pula memahami pertimbangan majalah BKI untuk menerbitkan ikhtisarnya
sekian puluh tahun kemudian. Tampak sekali bahwa sang pengarang berharap
agar memorandumnya ini bisa mempengaruhi kebijakan politik kolonial
yang dijalankan. Akan tetapi, sayang juga ketika akhirnya diterbitkan
tulisannya hanya bermanfaat sebagai salah satu sumber sejarah saja.
Soalnya ia sebenarnya melihat masa depan yang cerah juga bagi Banten,
jika saja usul-usulnya bisa dipertimbangkan untuk dilaksanakan, tetapi
sudahlah, yang jelas tulisan Jonkheer de Rovere van Breugel boleh
dikatakan bercorak ensiklopedis tentang Banten. Ia berbicara tentang
wilayah dan kota, pemerintahan (raja, bangsawan), penduduk dan adat,
hasil bumi dan perdagangan serta hal-hal lain lagi. Meskipun ia sangat
menaruh perhatian pada sumber-sumber ekonomis Banten dan Lampung, tetapi
ternyata hampir tidak ada aspek kehidupan dan dinamika ekonomi-politik
yang tidak dibicarakannya. Dalam tulisannya tampak pula bahwa ia adalah
seorang pengamat situasi sosial yang cukup jeli juga.
la mungkin tak bisa menerangkan mengapa “itu harus begitu” dan “mengapa
ini harus begini”, sebagaimana yang mungkin bisa dilakukan oleh ahli
anthropologi modern, tetapi ia dapat saja bercerita tentang apa saja
yang kebetulan dilihat dan diamatinya. Dalam memorandum ini, van Breugel
membayangkan juga suatu saat Banten akan bisa bangkit lagi jika saja
VOC menjalankan kebijakan yang baik. Hanya saja, tentu bisa juga
dimaklumi kalau dalam melihat dan mengamati masyarakat Banten ia tak
bisa melepaskan landasan penilaian yang bercorak Belanda.
Maka, janganlah kaget kalau ia mengatakan bahwa menurut pengamatannya
laki-laki Banten itu sesungguhnya pemalas. Mereka membiarkan saja para
isteri mereka bekerja mengurus rumah tangga. Mereka lebih sibuk
minum-minum – tentu saja bukan air – makan-makan sirih dan
menunggang-nunggang kuda. Bahkan, kalau saja pengamatannya tidak terlalu
bias, laki-laki Banten itu, katanya lagi, membiarkan saja perdagangan
dikuasai para pendatang yang disebut “Orang dagang” . Anak-anak umur
delapan atau sepuluh telah dipertunangkan, meskipun mereka masih tinggal
di rumah orang tua. Pertunangan ini bisa juga dibatalkan, tetapi
akibatnya orangtua anak perempuan akan kehilangan pembayaran yang telah
mereka lakukan.
Pesta perkawinan diadakan di rumah penganten perempuan, sedangkan
tamu-tamu datang dengan membawa hadiah, biasanya buah-buahan. Sang
pejabat yang bangsawan ini rupanya pernah juga beberapa kali menghadiri
upacara pernikahan orang Banten, sebab ia bisa juga berbicara agak
panjang lebar tentang situasi dari upacara perkawinan itu, Tentang
agama, ia mengatakan bahwa orang Banten itu beragama Islam tetapi orang
Lampung menganut kepercayaan yang merupakan percampuran “ajaran
Muhammad” dengan sistem kepercayaan yang masih kafir, dan digabung lagi
“dengan takhyul yang paling bodoh”.
Orang Banten mempunyai hukum juga, tetapi, kata van Breugel, pada
umumnya mereka lebih suka mengikuti hukum alam saja — darah dibayar
dengan darah, pencurian dibayar dengan penjara atau perbudakan yang
kadang-kadang bisa sebagai hukuman bagi hutang yang tak dibayar. Kalau
saja interpretasi sosial boleh diberikan terhadap uraiannya ini maka
bisalah dikatakan bahwa masyarakat Banten, yang disaksikan van Breugel,
sedang berada dalam situasi kemelut yang parah juga.
Bagian yang terpenting dari memorandum ini ialah uraian tentang komoditi perdagangan dari Banten dan Lampung: lada, kopi, ndigo, gula, pinang, kelapa, kayu sandalwood, beras, dan sebagainya. la menguraikan satu persatu komoditi ini. la menguraikannya mulai dari tempat tumbuh dan cara pemeliharaan sampai dengan prospek perdagangannya, la juga bercerita tentang perdagangan candu yang dikuasai Letnan Cina dan berkisah pula tentang betapa maraknya penyelundupan barang haram ini. Cerita yang mengasyikkan juga ialah tentang bajak laut. Orang Mandar, katanya, adalah yang paling aktif dalam penyelundupan, artinya mereka sering berhasil mengelakkan monopoli VOC. Tentang usaha pemberantasan perompakan ia mengusulkan agar kekuatan armada Banten diperkuat, umpamanya dengan memberi bantuan mesiu.
Akan tetapi, bagaimanakah keadaan ibu kota Banten? Kalau tentang desa ia
mengatakan bahwa desa orang Banten sangat tak beraturan, sedangkan
tentang ibu kota, ia melukiskan tentang dinding-dinding yang dulu pernah
mengitari ibu kota sekarang telah hancur lebur berantakan. Perbentengan
telah hancur dan di atas runtuhan itu rumah-rumah baru didirikan karena
jumlahnya cukup banyak inilah Banten, katanya, “masih bisa disebut
kota”. Rumah-rumah umumnya terbuat dari bambu, hanya sebagian kecil saja
memakai bingkai kayu, sedangkan para pejabat negara, seperti menteri
dan “pendeta” (maksudnya barangkali kadhi kerajaan) dan beberapa orang
lain mempunyai rumah batu. Orang Cina tinggal di dua kampung yang
dipenuhi oleh rumah tembok batu juga. Istana raja dikelilingi benteng
berbentuk setengah bulan, yang diperkuat dengan 58 meriam, tetapi untuk
pertahanan istana yang dikelilingi benteng ini tak ada artinya apa-apa.
Di sekeliling benteng itu ada perumahan VOC. Ada tiga pasar di Banten,
yaitu Karang Antu, Tumanggung, dan sebuah pasar baru. Akan tetapi, semua
pasar itu mengalami kemunduran , tidak lagi seperti dulu ketika Banten
masih megah.
Raja yang memerintah pada waktu itu ialah Sultan Abul Nazar Muhammad,
yang menurut van Breugel, sangat dipengaruhi oleh “paus-paus orang
asing” (maksudnya tentu saja ulama-ulama dari negeri lain). Mereka
semakin berpengaruh saja di kalangan masyarakat Banten, bukan saja di
kalangan kraton. Ketika menyebut “paus” ini van Breugel sama saja dengan
para penulis Belanda lain. Kata “paus” adalah sebutan ejekan bagi
ulama. (Belanda abad ke-18 sangat anti-Katholik rupanya). Van Breugel
jengkel juga karena ia melihat sang Sultan tidak menaruh hormat lagi
pada VOC.
Bukan itu saja, menurut pengamatannya, Sultan asyik dengan segala macam
kemewahan, padahal kesultanan telah jatuh miskin. Akibatnya, tentu bisa
diduga, Sultan berhutang ke kiri dan ke kanan. Sebenarnya Sultan ini
seorang yang baik hati, katanya, sayang ia tidak mempunyai penasehat
yang baik, sedangkan para bangsawan sangat tergantung kepada Sultan,
yang malah sibuk menghalangi mereka untuk berhubungan dengan orang
Eropa.
Pada umumnya para bangsawan ini sudah cukup puas dengan tempat tinggal
yang menyenangkan, perahu-kesenangan, dan dikelilingi oleh wanita-wanita
cantik. Pengawas gudang lada sang raja ialah seorang yang bernama Kiai
Aria Astradinata. la adalah anak seorang tukang batu Cina yang telah
disunat (maksudnya tentu saja, telah masuk Islam). Jabatan sebagai
kepala gudang ini dianggap sebagai sesuatu yang turun temurun. Paman
raja, Pangeran Raja Kusuma, kata van Breugel, adalah seorang yang alim,
tetapi ia tampaknya agak serakah. Ia telah tua dan uzur dan hanya
menghabiskan waktunya untuk beribadah serta menangisi nasib tanah airnya
yang hari demi hari dilanda kemerosotan.
Ketika Van Breugel menulis tentang Pangeran Raja Kusuma ini ia mungkin
merasa simpati juga. Ia bisa juga merasakan apa artinya hidup ketika
kejayaan lama hanya tinggal kenangan belaka. Kesedihan sang pangeran tua
ini tentang kemerosotan negerinya tentu bisa dimaklumi. Sang Pangeran
yang hidup pada abad ke-18, tentu saja tidak mengalami secara langsung
masa ketika Banten adalah kerajaan yang makmur dan disegani dan
merupakan salah satu kerajaan yang terkuat di Kepulauan Nusantara ini,
tetapi pengetahuan akan masa gemilang yang telah hilang itu tak begitu
saja terpupus dalam ingatan kolektif Banten. Bahkan asal usul berdirinya
kerajaan pun masih segar dalam ingatan kolektif anak negeri.
Bilamana situasi kesekarangan telah dirasakan semakin mencekam
bagaimanakah ingatan akan masa lalu yang telah lewat itu akan hilang
begitu saja? Bukankah nostalgia kultural itu sesungguhnya tidak lain
daripada perlawanan terhadap tirani sang waktu? Dengan bernostagia,
perjalanan waktu dijadikan tak berfungsi dalam kesadaran. Ketika
perasaan kerinduan ini telah semakin mencekam, karena situasi
kesekarangan telah sedemikian menista harga diri, maka masa lalu
tiba-tiba bisa saja berubah menjadi “masa depan” yang harus dirangkul
dengan segera.
Janganlah pula heran bilamana kepedihan masa kini telah semakin keras
dirasakan, maka tarikan masa lalu yang telah dirasakan sebagai “masa
depan” itu semakin keras dan menggetarkan juga. Kalau telah begini, maka
“terjadilah apa yang harus terjadi”. Kita pun berhadapan dengan salah
satu irama yang hampir menetap dari sejarah Banten setelah kejayaan
kerajaan telah terlepas dari tangan.
Asal-usul Banten sebagai sebuah kerajaan Islam agak unik juga. Kerajaan ini tidak bermula dari tumbuhnya dan membesarnya sebuah kekuasaan lokal, tetapi muncul sebagai akibat dari ekspansi kekuasaan dari luar. Dalam usaha untuk meluaskan kekuasaan dan mengembangkan Islam, Sunan Gunung Jati, ulama -penguasa dari Cirebon dan salah seorang Wali Sanga, mendirikan Banten, yang terletak di ujung Barat Pulau Jawa. Setelah itu, Sunan Gunung Jati meninggalkan putranya sebagai penguasa Banten yang pertama. Ketika kemudian Cirebon melepaskan perwaliannya atas wilayah di ujung Barat Pulau Jawa (1552) kesultanan Banten pun resmi berdiri dan Pangeran Adipati Hasanuddin pun menjadi Sultan Hasanuddin.
Ternyata ini adalah sebuah keputusan politik yang sangat tepat. Awal
abad ke-16 adalah masa yang kritis bagi perairan Asia Tenggara. Pada
tahun 1511, Alfonso d’Albuquerque, panglima Portugis yang ingin
melumpuhkan Mekah dan Constatinopel – dua pusat kekuasaan dan agama
Islam, berhasil menaklukkan Malaka. la memperhitungkan bahwa dengan
jatuhnya Malaka, maka berarti leher dari kedua pusat Islam itu telah
bisa dicekik Portugis. Malaka adalah salah satu pusat perdagangan yang
besar dunia pada abad ke-15, tetapi panglima Portugis, yang didorong
oleh keuntungan dagang dan kekuasaan agama ini, sama sekali tidak
menduga bahwa kejatuhan Malaka bukan saja menyebabkan Malaka menjadi
sasaran penyerbuan dari kekuatan Islam di perairan Barat Indonesia,
tetapi juga menyebabkan terjadinya pemencaran dari pusat-pusat
perdagangan Islam. Maka sementara beberapa negara-kota di pantai Utara
Jawa dan Johor, penerus dinasti Malaka, serta
Aceh-Darussalam, sibuk berkali-kali menyerang Malaka, di tempat-tempat
lain kota-kota dagang baru pun bermunculan pula. Pada waktunya sebagian
dari kota-dagang dan pelabuhan persinggahan bagi para pedagang Islam
yang baru ini pun tumbuh sebagai pusat kekuasaan besar. Ketika inilah
Makassar, Ternate dan Tidore, Aceh-Darussalam serta Banten secara pelan
tetapi pasti menjadi kerajaan Islam yang besar. Sementara itu di
pedalaman Jawa, Mataram pun tampil pula sebagai pemegang hegemoni di
“negara-negara kota” di pantai Utara. Sejak akhir abad ke-16 dan akhir
abad ke-17 boleh dikatakan sebagai the age of Islamic hegemony dalam
sejarah Asia Tenggara.
Karena itulah Schrieke, seorang ahli filologi Islam, sosiologi dan
sejarah Belanda yang terkemuka (yang sempat juga bekerja pada kantor
Penasehat Bumiputra) sempat juga membuat teori bahwa penyebaran Islam di
Kepulauan Indonesia ini tidak bisa dilepaskan dari apa yang disebutnya
sebagai “race with Christianity” (perlombaan dengan Kristen). Soalnya
ialah setelah Vasco da Gama mendarat di Calicut, India (1498), apalagi
setelah Portugis berhasil menaklukkan Malaka maka “jalan ke Timur” untuk
mencari rempah-rempah dan menyebarkan agama, telah terbuka pula bagi
para pelaut, pedagang, penginjil, dan advonturir Eropa. Perairan
Nusantara pun menjadi ranah persaingan dari segala bangsa, baik yang
datang dari Eropa, seperti Portugis, Spanyol, kemudian datang Belanda,
Inggris, bahkan juga Denmark, apalagi Asia, yang memang telah
berdatangan sejak awal abad Masehi.
Tradisi sejarah Banten tidak bisa melupakan bahwa Maulana Jusuf tewas
ketika ia ingin meluaskan pengaruh dan kekuasaan kesultanan Banten ke
Palembang, tetapi dengan memakaikan keuntungan dari tinjauan ke belakang
(atau historical hindsight, kata orang sana) kekalahan ini sesungguhnya
bisa dilihat sebagai awal dari konsolidasi kekuasaan internal Banten.
Dan sejak itu pula Banten semakin tampil sebagai entrepot yang terbesar
di Pulau Jawa. Saingan Banten di Nusantara sebagai entrepot pelabuhan
yang menerima barang impor, mengirim barang ekspor, dan mengekspor
barang impor- hanya Aceh di Barat dan Makassar di Timur. Ukuran
kebesaran enterpot ini bisa dilihat juga antara lain pada perkiraan
jumlah penduduk yang diberikan oleh para pelapor asing.
Tentang Banten laporan-laporan asing memperlihatkan bahwa antara tahun
1660-1690 terjadi fluktuasi yang hebat juga dari jumlah penduduk. Sebuah
perkiraan pada tahun 1662 mengatakan bahwa penduduk Banten lebih dari
100 ribu, tetapi pada perkiraan pada tahun 1672 telah memperlihatkan
lonjakan jumlah yang hebat. Pada waktu itu diperkirakan jumlah penduduk
800 ribu. Sepuluh tahun kemudian 700 ribu. Tetapi pada tahun 1696 telah
turun menjadi 125 ribu. Sudah pasti perkiraan jumlah penduduk itu tidak
akurat, tetapi dalam perbandingan perkiraan ini memperlihatkan bahwa
Banten mempunyai penduduk yang terbesar di Nusantara. Saingannya hanya
perkiraan jumlah penduduk Mataram pada tahun 1624. Karena itu bisa
jugalah dipahami kalau sumber-sumber tentang sejarah Banten selama abad
ke-16 – abad ke-17 sangat banyak juga. Penurunan jumlah penduduk yang
drastis dari tahun 1682 -1696 tentu masuk akal juga, karena pada tahun
1682 itulah masa akhir kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Sejak itu
sejarah Banten hanyalah berisikan kisah kemerosotan saja sampai akhirnya
menjadi residentie Banten.
Salah satu laporan yang menarik dibuat oleh orang Belanda, Lodewijk,
yang datang ke Banten pada tahun 1596 bersama komandannya, Cornelis de
Houtman. Dengan jelas sekali ia menggambarkan sifat internasional
entrepot Banten. Antara lain ia bercerita tentang “pembagian kerja” dari
anggota komunitas asing yang berada di Banten. Orang Persia, menurut
laporannya, berdagang permata dan obat-obatan. Orang Arab dan Pegu
melakukan perdagangan laut yang sibuk membawa barang dari satu tempat ke
tempat lain atau, dengan kata lain, menjadi pedagang perantara.Lodewijk
tentu saja tidak mengatakannya dan ia pasti juga tidak tahu, tetapi
peranan Arab sebagai pedagang di perairan Nusantara ini barangkali telah
dimulai sejak abad ke-11 ketika Cina menutup pelabuhannya bagi pedagang
asing. Ini pulalah salah satu sebab dari awal terjadinya Islamisasi di
kawasan ini. Kalau cerita Lodewijk diteruskan, maka ia pun mengatakan
bahwa orang Keling lebih suka mengadakan investasi dengan bunga. Atau
kalau dengan istilah yang biasa dipakai sebagai cheti, yang dengan kata
lain, tentu bisa disebut rentenir.
Ternyata orang Melayu, menurut Lodewijk, mempunyai hobby yang sama pula.
jika laporan Lodewijk ini benar, maka kita pun bisa juga mengatakan
bahwa ajaran Islam tentang riba tidak masuk perhitungan para pedagang
Melayu itu. Jadi, sama saja dengan “konglomerat Melayu” sekuler zaman
sekarang — pokoknya keuntungan masuk. Kalau orang Gujarat, mereka pada
umumnya adalah pelaut dan, tentu bisa diduga, miskin-miskin. Lodewijk
juga bercerita tentang pedagang besar yang bernama Cheti Maluku yang
berhubungan dagang dengan orang Belanda dan Inggris; tentang Kojah
Rayoan, seorang pedagang Turki yang kaya-raya. Sebagaimana kota
pelabuhan lain Sjahbandar Banten juga orang asing. la orang dari Keling.
Ketika ia sampai di Banten, kata Lodewijk, “ia tak punya apa-apa, maka
ia pun menjalankan semua kerja yang hina untuk menghidupi dirinya.”
Dengan kata lain, Banten di abad ke-16 dan awal abad ke-17 adalah “a
land of opportunities”– negeri yang membuka semua kesempatan. Masuk akal
juga kalau Cornellis de Houtman, pelopor Belanda ke Nusantara, mendarat
di Banten dan kemudian menjadikan Banten sebagai pusat aktivitasnya.
Tak lama kemudian Inggris, yang praktis merupakan pengimport tunggal
tekstil dari anak benua India, juga menjadikan Banten sebagai pusat
aktivitasnya di Nusantara. Ini tentu adalah fakta sejarah biasa saja –
orang berdagang tentu mencari pusat kegiatannya – tetapi sialnya dalam
sejarah Indonesia yang diajarkan oleh para pejabat negara Indonesia yang
merdeka, tahun kedatangan Cornellis de Houtman ke Banten ini dijadikan
sebagai masa awal dari penjajahan Belanda di Indonesia. Maka, kita pun
ikut larut dalam pandangan sejarah yang bodoh dan sesat ini dengan
mengatakan bahwa “Indonesia 350 tahun berada di bawah kolonialisme
Belanda.”
amun, biarlah hal ini tak dilanjutkan, maklum para pejabat itu tidak bisa membedakan mana yang mitos dan mana yang sejarah. Maka, kalau cerita dilanjutkan, bisalah dikatakan bahwa kerap kali juga orang membandingkan Banten dengan Aceh. Salah satu hal yang dibandingkan itu ialah kenyataan bahwa Banten tidak pernah mempunyai penguasa perempuan. Aceh mempunyai empat orang sultanah yang memerintah berturut-turut di abad ke-17 (Sialnya, seorang pelapor Inggris curiga juga, jangan-jangan sultanah yang berada di belakang tirai ketika menerima perutusan Inggris, seorang laki-laki yang menyamar. la adalah sultanah yang terakhir).
Hanya saja dalam perbandingan ini sering terlupakan bahwa tumbuhnya
Banten sebagai pusat kekuasaan dan dagang terjadi ketika Sultan Abdul
Kadir (1596-1618) masih harus berada di bawah pewalian, karena belum
dewasa. Selama lima tahun yang kritis (1600-1605) yang tampil sebagai
tokoh utama ialah Nyai Gede Wanagiri. Seorang pelapor Inggris (Scott)
menyatakan kekagumannya ketika ia berkata bahwa “perempuan tua ini
menguasai para wali dan lain-lain,.. walaupun ia bukan berdarah kraton,
tetapi karena kearifannya sangat dihargai oleh semua (yang berkuasa) ia
memerintah seakan-akan ia adalah satu-satunya ratu di negeri ini.” Maka
begitulah kalau aturan main dalam pemerintahan telah cukup jelas,
pemerintahan bisa dijalankan berdasarkan kearifan yang paling unggul.
Kalau De Breugel, yang menulis memorandum pada tahun 1787, sempat
mengatakan bahwa orang Banten meskipun punya hukum tetapi lebih suka
memakai hukum alam, tidak demikian halnya pada abad ke-17. Seorang
pendeta dari Missions Etrangeyes- misi Katholik Prancis- melaporkan
bahwa Banten, “mempunyai dua hakim utama, yang pertama Syahbandar Besar,
yang tahu semua masalah perdagangan; dan yang lain memakai nama Thiaria
(Shari’ah), yang mempunyai jurisdiksi pada semua masalah perdata dan
pidana, yang menghukum dengan berat kejahatan pencurian dan perzinaan.”
De Breugel menggambarkan suasana kemunduran dan kemelut. Ketika itu
kraton Banten praktis telah menjadi fiefdom VOC atau berada di bawah
suzereniteit maskapai – yang-bermain sebagai-negara ini dan harus pula
membayar utang kepada VOC, karma telah membantunya menghadapi
pemberontakan yang dipimpin Kiai Tapa (1750-52). Nada dari uraiannya
hampir sama dengan gambaran para pelapor lain tentang kerajaan-kerajaan
Nusantara yang sedang mengalami kemunduran.
Bedanya hanyalah pada detail-detail sejarah – nama tempat, nama orang
dan bentuk peristiwa, serta waktu. Ada kerajaan yang telah mengalami
krisis di abad ke-18 – umumnya berada di pulau Jawa – tetapi ada pula
yang bare mengalaminya pada abad ke-19 – umumnya di kerajaan-kerajaan di
daerah lain (kecuali Maluku). Bahkan kisah yang ditulis Abdullah bin
Abdul Kadir Munsyi, yang dikirim Inggris, yang telah mendirikan dan
menguasai Singapura, untuk meninjau kerajaan-kerajaan di pantai Timur
Tanah Semenanjung, memperlihatkan suasana yang lama, meskipun yang
dikisahkan berbeda-beda. Suasana kemelut menjelang kejatuhan selalu
membayangkan otoritas kekuasaan yang lemah, masyarakat yang tak peduli,
hukum yang kehilangan peran, ekonomi yang kehilangan gairah, serta
keamanan yang tak terjamin.
Sedangkan laporan-laporan asing tentang Banten abad ke-16 dan abad ke-17
juga tak pula jauh bedanya dengan laporan tentang kerajaan maritim lain
yang sedang berkembang. Kisahnya tentu saja berbeda-beda, tetapi
suasana sosial-politik dan ekonomi memantulkan gambaran yang tak jauh
berbeda. Jika saja nama-nama orang diganti dan nama-nama tempat ditukar
pula maka uraian tentang Banten rasanya bisa saja dijadikan tentang
Makassar dari abad yang sama. Bahkan juga bisa ditukarkan dengan
Riau-Johor abad ke-18, sebagaimana diuraikan oleh kitab Tufhat an Nafis,
yang ditulis Raja Ali Haji dan ayahnya Raja Ahmad dari Pulau Penyengat,
sebuah pulau kecil dekat Tanjung Pinang, Pulau Bintan.
Ciri-ciri umum ialah persaingan dagang internasional yang meriah, sistem
hukum berlaku baik, raja yang bijaksana, ilmu pengetahuan berkembang,
dan aktivitas keagamaan menjadi pertanda dari kearifan Sultan. Tidak
kurang pentingnya ialah suasana ini bukan saja mengundang kedatangan
para pedagang dari segala penjuru dunia, tetapi juga para ulama. Dalam
hal ini, baik sumber asing maupun sumber lokal, yang disebut
historiografi tradisional itu, memberikan kesan yang tidak jauh berbeda.
Jadi masuk akal juga kalau van Leur, yang memperkenalkan pendekatan
sosiologi Max Weber untuk memahami sejarah, membagi kerajaan di
kepulauan Indonesia atas dua kategori, yaitu maritim dan agraris.
Banten, Makassar, Aceh dan lain-lain memperlihatkan ciri-ciri yang khas
maritim.
Dengan pendekatan ideal type — membuat bentukan analisis berdasarkan
sifat kategori yang paling ekstrim- maka negara maritim berarti kegiatan
dagang, kebudayaan dinamis, dan pandangan ke luar. Sedangkan Mataram
bersifat agraris — keterikatan pada tanah, pertanian, sikap kultural
yang konservatif, dan cenderung mempunyai pandangan ke dalam (inward
looking). Konon Sultan Mataram pernah mengatakan pada utusan Belanda
yang datang menghadap di kratonnya, “Tuan-tuan boleh berdagang di negeri
saya tanpa bayar pajak, sebab saya bukan pedagang seperti penguasa
Banten dan Surabaya, yang harus merasa takut dengan persaingan tuan.”
Penguasa maritim sejauh mungkin ingin mendapatkan keuntungan dari
perdagangan laut, bahkan kalau perlu — bahkan biasa sekali-mereka pun
ikut berdagang. Mataram tentu lebih suka mendapatkan upeti dari para
bangsawan yang telah mendapat lungguh serta menyibukkan diri dengan
penghalusan kebudayaan dan sistem status sosial.
Dengan segala ciri-ciri kerajaan maritim yang diperlihatkan Banten, tentu mudah juga dipahami kalau di masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683), seorang ulama besar yang berasal dari Makassar, Syekh Jusuf al Makasari, bukan saja tertarik untuk mendatangi Banten, tetapi bisa merasakannya sebagai negeri sendiri. Di bawah sultan yang bijaksana inilah Banten mencapai tingkat kegemilangannya yang tertinggi. Ia mengirimkan utusan diplomatik ke negeri-negeri Islam dan menyuruh anaknya naik haji sambil mengunjungi Turki.
Tetapi di saat ini pulalah VOC sedang berada pada tahap perkembangannya
yang agresif dan sedang asyik memperkenalkan serta memaksakan sebuah
sistem yang sama sekali tak dikenal oleh tradisi Nusantara yang bertolak
dari pemikiran laut bebas (mare liberum). Sistem itu ialah monopoli.
Maka perbenturan antara Batavia, yang mempunyai kemampuan teknologi
persenjataan yang lebih canggih dan tentara yang telah mengalami
suka-duka berbagai macam perang, dengan Banten, yang lebih sibuk
menjalin ikatan perdagangan terbuka. Perang terjadi dan Banten kalah.
Akan tetapi, lebih dari itu sekadar kekalahan kejatuhan Sultan Ageng
bermula dari pengkhianatan sang putra mahkota, Sultan Haji.
Sejak itu sejarah Banten adalah rentetan dari kisah yang “menunda
kekalahan” saja. Fakta bahwa Putra Mahkota bisa berkhianat pada
ayahandanya serta-merta menyebabkan karisma tradisional yang dipegang
kraton pun meluntur pula. Seperti juga halnya dengan Mataram, ketika
penetrasi dan pengaruh kekuasaan asing telah semakin dirasakan, maka
kraton pun ada kalanya menjadi sasaran pemberontakan.
Setelah Sultan Ageng Tirtayasa (Abdulfattah) bisa dikalahkan,
independensi Banten mulai setahap demi setahap digerogoti. Sultan Haji
memerintah, tetapi hegemoni telah berada di tangan VOC. Kemudian
hegemoni ini secara berangsur menjadi dominasi (mulai dari zaman
Daendels) sampai akhirnya resmi berada di bawah kekuasaan langsung
Hindia Belanda — kesultanan telah dihapuskan. Benar, sejarah Banten
adalah sejarah tentang sebuah daerah di tanah air kita, tetapi dari
sudut pandang lain, sejarah Banten mungkin bisa juga dilihat sebagai
sebuah gambaran umum dari “lahir dan tumbangnya” kekuasaan pribumi —
lahir, tumbuh, berkembang menjadi pusat dagang, melawan monopoli,
perang, kalah, hegemoni asing, dominasi, akhirnya kolonialisme.
Jika diartikan secara harfiah ungkapan Prancis l’histoire se repete,
sejarah berulang, memang tidak benar. Ungkapan ini tidak benar kalau
sejarah diartikan sebagai salinan yang murni dari “apa, siapa, di mana,
dan bila”, tetapi mempunyai validitas relatif kalau yang ingin ditemukan
ialah pola umum yang berlaku. Peristiwa sejarah yang biasa dikatakan
hanya sekali terjadi, einmalig, itu sesungguhnya mempunyai unsur yang
“khusus” dan “umum”. Adapun yang khusus dan tak berulang ialah kenyataan
bahwa “Sultan Ageng Tirtayasa (siapa) yang melawan usaha penetrasi
kekuasaan Belanda (apa) di Banten (di mana) pada tahun 1682 (bila),”
sedangkan yang merupakan gejala umum itu ialah kecenderungan bahwa “raja
adalah lembaga yang pertama yang melawan usaha penetrasi Belanda”.
Kecenderungan umum ini terjadi di manamana, meskipun dalam waktu atau
abad yang berbeda-beda.
Meskipun dengan memakai konsep pola umum ini Banten unik juga-jika bukan
dalam corak peristiwa yang dialaminya, setidaknya begitulah yang
terjadi pada struktur kesadaran yang dipantulkan oleh satu-dua pejabat
Belanda. Pada gilirannya kesadaran ini memberi akibat juga pada cara
sebuah bangsa yang sedang berada dalam proses pembentukannya untuk
melihat sejarahnya. Begitulah umpamanya, Onno Zwiervan Haren menulis
sebuah drama yang mencekam dengan judul Agon Sulthan van Bantham . Drama
ini berkisah tentang bantuan militer Belanda pada anak Sultan Ageng
yang durhaka. Dan kemudian, siapakah yang bisa melupakan karya
Multatuli, Max Havelaay, yang berkisah tentang penderitaan rakyat dan
ketidakberdayaan pejabat yang bermaksud baik? Kolonialisme adalah
hubungan internasional yang bercorak subordinatif dan eksploitatif
mempunyai akibat sosial yang penting.
Di satu pihak, kolonialisme mempunyai kemungkinan untuk menciptakan
mental dependensi (terhadap orang asing) dan kesadaran hirarki sosial
yang hegemonik (terhadap sesama anak negeri). Akan tetapi, di pihak
lain, sifat eksploitatif dari kolonialisme kemudian bisa juga menjadi
landasan dari terwujudnya rasa kesamaan sejarah dan nasib yang bersifat
translokal. Nasionalisme yang kolonial pun tumbuh juga. Di samping
mempunyai pengaruh terhadap sejarah pergerakan kebangsaan, Banten
mempunyai tempat khusus juga dalam perkembangan historiografi Indonesia.
Ketika Sartono Kartodirdjo (sekarang Prof Dr) menyampaikan disertasinya
tentang pemberontakan Cilegon 1888 di Universitas Amsterdam (1966) maka
lembaran baru sejarah penulisan sejarah Indonesia pun dibuka. Dengan
buku untuk pertama kali seorang sejarawan Indonesia tampil ke depan
dengan menyoroti sebuah “peristiwa kecil”, dengan aktor-aktor “orang
kecil”, ulama lokal dan petani, dengan memakai pendekatan yang bercorak
multidimensional.
Maka dengan begini sebuah alternatif dalam penulisan sejarah
diperkenalkan. Sejarah politik dengan peristiwa besar dan orang besar
kini telah didampingi oleh studi yang semakin mendekati pada denyut
sejarah sesungguhnya-manusia dengan segala keresahan dan harapannya pada
tingkat yang paling intim, yaitu desa.
Pemberontakan Cilegon sebenarnya memperlihatkan hal lain lagi. Banten yang telah kehilangan kesultanan ternyata tidak kehilangan beberapa hal yang fundamental, yaitu semangat independen, “nasionalisme lokal” yang kental, dan keterikatan pada norma keagamaan. Ketika kesultanan telah mengalami proses pelemahan dan kemudian malah dihapuskan dan di saat kedudukan bangsawan semakin terjepit, ketika itu pula para ulama semakin tampil sebagai pemimpin lokal. Banten, di masa krisis politik yang berkepanjangan ini ketika “hukum alam” (sebagai kata van Breugel) lebih penting dari ketentuan hukum yang berlaku golongan baru pun semakin menampakkan dirinya. Mereka adalah para jawara, pendekar yang selalu siap membela untuk sesuatu yang dianggap benar. Sejak kejatuhan kesultanan hampir tidak ada lagi satu peristiwa di Banten yang bukan dimotori oleh ulama dan jawara. Maka bisalah dimaklumi kalau Aceh kadang-kadang disebut sebagai negeri “uleebalang dan ulama”, Banten pun dikenal pula sebagai negeri ” ulama dan jawara “.
Sejak resmi menjadi salah satu karesidenan yang berada di bawah
kekuasaan Hindia Belanda, Banten , kerajaan yang pernah disegani di
perairan Nusantara, seakan-akan diharuskan untuk menjadi
daerah-sampingan saja. Kadang-kadang orang dikejutkan oleh tampilnya hal
yang perlu dicatat, seperti tampilnya ulama besar Syekh Nawawi al
Bantani, yang menerbitkan buku-buku di pusat-pusat pengetahuan dunia
Islam, tetapi pada umumnya tidak lagi berperan apa-apa yang penting.
Pemberontakan “komunis” 1926 — seperti juga dengan yang terjadi di
Silungkang (Sumatera Barat) — memang pantas dikenang, tetapi dalam
tinjauan dinamika sejarah secara keseluruhan peristiwa ini tidak lebih
daripada deviation belaka. Maka mestikah diherankan kalau sudah lama
juga para tokoh Banten telah menginginkan agar Banten bisa mendapatkan
kebebasan relatif untuk mewujudkan kembali “janji sejarah” yang sekian
lama seakan-akan terpendam?
sumber:http://massandry.blogspot.com/ http://massandry.blogspot.comhttp://massandry.blogspot.comhttp://massandry.blogspot.com http://massandry.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar