Perlawanan bersenjata yang paling menonjol di Banten pada abad ke-19
adalah peristiwa yang dikenal dengan “Geger Cilegon”, pada tanggal 9
Juli 1888 yang dipimpin oleh para ulama. Dalam setiap pengajian/dzikiran
yang diadakan di rumah-rumah atau pun di masjid, para ulama itu selalu
menanamkan semangat jihad menentang penjajah kepada masyarakat. Melalui
pesantren-pesantren, para tokoh itu dengan mudah melancarkan taktik
perjuangan menentang pemerintahan kolonial. Gerakan itu antara lain
dipimpin oleh Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan
Haji Wasid.
Haji Abdul Karim adalah seorang ulama di desa Lampuyang, Pontang yang
kegiatan sehari-harinya mengadakan pengajaran agama pada masyarakat di
daerahnya. Kegiatan pengajian Kiayi ini semakin berkembang terutama
setelah ia kembali dari Mekkah tahun 1872. Haji Abdul Karim mendirikan
pesantren di Tanahara, yang dalam waktu singkat mendapat banyak murid
dan pengaruh terhadap penguasa pribumi, seperti bupati, penghulu kepala
di Serang serta Haji R.A. Prawiranegara, pensiunan patih Serang. Begitu
besar pengaruhnya di kalangan rakyat dan pejabat pemerintah sehingga
dikenal pula sebagai “Kiyai Agung” bahkan dianggap sebagai “Wali Allah”.
Dalam mengadakan acara dzikiran di rumah-rumah tertentu, langgar atau
masjid, Haji Abdul Karim selalu menganjurkan tentang perlunya perang
sabil terhadap pemerintah kolonial yang kafir.
Ketika Kiyai Haji Abdul Karim akan ke Mekkah untuk kedua kalinya pada
tanggal 13 Pebruari 1876, banyak kiyai, tokoh masyarakat dan pejabat
pemerintah yang datang untuk mengucapkan selamat jalan. Rakyat dari
Tanahara, Tangerang dan sekitarnya berbondong-bondong menunggu di
pinggir jalan yang akan dilaluinya. Khawatir akan terjadi huru-hara,
pemerintah kolonial minta supaya Kiyai Haji Abdul Karim berangkat
langsung menggunakan kapal laut dari Tanahara ke Batavia. Sebagai ganti
pimpinan pesantren dipercayakan kepada muridnya, Kiyai Haji Tubagus
Ismail, yang juga gencar menganjurkan perlawanan kepada penjajah kafir.
Anjuran itu disambut baik kiyai-kiyai terkenal seperti Kiyai Haji Wasid
dari Beji, Haji Abu Bakar dari Pontang, Haji Syadeli dari Kaloran, Haji
Iskhak dari Saneja, Haji Usman dari Tunggak, Haji Asnawi dari Lempuyang
dan Haji Muhammad Asyik dari Bendung. Gerakan semacam ini timbul pula di
Tanahara yang dipimpin oleh Haji Marjuki, yang dalam waktu singkat
pengikutnya bertambah banyak, di samping dari Banten, juga dari daerah
lain seperti Tangerang, Bogor dan Batavia.
Pra Peristiwa Geger Cilegon
Tokoh menentukan dalam peristiwa Geger Cilegon ini adalah Haji Wasid,
yang pernah belajar di Mekkah pada Syekh Nawawi al-Bantani, kemudian
mengajar di pesantrennya di Kampung Beji, Cilegon. Tiga pokok ajaran
yang disebarkan kepada muridnya adalah tentang Tauhid, Fiqh dan Tasawuf
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam ajaran Islam dan
harus dipraktekan dalam setiap kegiatan sehari-hari. Bersama kawan
seperjuangannya: Haji Abdurahman, Haji Akib, Haji Haris, Haji Arsad
Thawil, Haji Arsad Qashir dan Haji Ismail, mereka menyebarkan
pokok-pokok ajaran Islam itu kepada masyarakat. Dengan memahami tiga
pokok ajaran Islam ini diharapkan, murid-muridnya, akan menjadi muslim
yang baik dan taat dalam menjalankan semua perintah agama serta menjauhi
segala yang dilarang-Nya. Segala peribadatan, segala ketaatan dan
segala harapan hendaknya, semuanya, ditujukan kepada Allah; bukan kepada
manusia dan bukan kepada benda lainnya. Peribadatan dan penyembahan
yang ditujukan kepada selain Allah adalah musrik, dan ini termasuk dosa
besar, tanpa ampunan dari Allah. Tiada takut dan tiada harap; tiada
benci dan tiada suka, kecuali semuanya karena Allah.
Dalam pada itu, antara tahun 1882 dan 1884 keadaan rakyat Banten
khususnya di Serang dan Anyer ditimpa dua malapetaka; kelaparan dan
penyakit sampar (pes) binatang ternak. Diperkirakan, hampir dua tahun
hujan tidak turun, sehingga tanaman padi tidak ada yang tumbuh dan air
minum pun sulit didapat. Musim kering yang berkepanjangan ini,
menyebabkan kelaparan merajalela. Tanah pertanian, yang sebagian besar
berupa "tadah hujan" menjadi kering, sehingga tidak ada tumbuhan yang
dapat ditanam penduduk desa. Karena kurangnya makanan ini maka banyak
penduduk yang terjangkit penyakit demam yang parah; terutama sekali kaum
perempuan.
Untuk menggambarkan keadaan rakyat Banten pada saat itu, PAA.
Djajadiningrat, menyaksikan bahwa di pasar Kramatwatu, Cilegon, hampir
sering menemukan bayi di pojokan pasar yang ditutupi selembar daun
pisang, sekedar untuk menjaga dari teriknya matahari. Bayi-bayi ini
sengaja ditinggalkan ibunya karena ia tidak mampu lagi memberinya makan,
dan mengharapkan nanti ada yang mengambil untuk memeliharanya; atau
karena ibunya tiba-tiba terkena demam dan meninggal tidak lama kemudian.
Istri wedana Kramatwatu, ibunya PAA. Djajadiningrat, berhasil
mengumpulkan sampai 20 orang anak yang kemudian dipeliharanya di
Kawedanaan (PAA. Djajadinigrat, 1936:8).
Karena musim kemarau ini pula maka berjangkit wabah penyakit sampar
(pes) yang menyerang ternak kerbau atau kambing (1880). Penyakit hewan
ini menular dengan cepat, sehingga pemerintah kolonial menginstruksikan
supaya membunuh dan mengubur atau membakar semua kerbau atau kambing di
suatu desa yang di sana terdapat kerbau yang berpenyakit agar jangan
menular ke desa lain. Dengan demikian, kerbau yang tidak terkena
penyakit pun turut dibunuh pula. Bagi rakyat petani, ternak kerbau bukan
hanya dianggap sebagai hewan peliharaan tapi juga teman/sahabat yang
banyak membantu pekerjaannya di sawah, sehingga perlakuan demikian
membuat tambah sedih, dianggap suatu kekejian dan kesewenang-wenangan
yang membuat makin besar kebencian kepada Belanda dan anteknya; walaupun
mereka tidak bisa berbuat apa-apa, pasrah dengan perlakuan itu.
Ironisnya, kerbau atau kambing yang dibunuh tentara kolonial ini, karena
banyaknya, tidak sempat dikuburkan, sehingga bangkai hewan dapat
ditemukan di mana-mana; dan ini mengundang datangnya penyakit baru lagi
bagi rakyat desa. Tidak heran dari catatan yang ada pada bulan Agustus
1880, dari ± 210.000 penderita, tercatat lebih dari 40.000 orang di
antaranya tidak dapat tertolong dan menemui ajalnya (Kartodirdjo,
1988:88).
Pemandangan di desa-desa sungguh menyedihkan, jalan-jalan sepi, banyak
rumah tidak dihuni, sawah dibiarkan mengering karena tiadanya tenaga.
Banyak ibu tidak dapat menyusui anaknya sehingga angka kematian anak
tinggi sekali. Dari banyak rumah terdengar ratap tangis, dzikir dan
do'a. Kesedihan yang mendalam itu ditambah lagi dengan meletusnya Gunung
Krakatau di Selat Sunda (tanggal 23 Agustus 1883), yang menimbulkan
gelombang laut setinggi 30 meter melanda pantai barat Banten,
menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, serta desa-desa Sirih, Pasauran,
Tajur dan Carita. Kesemuanya merenggut korban ± 21.500 jiwa tenggelam
disapu gelombang. Daerah tempat bencana alam itu luluh lantak tersapu
gelombang pasang.
Musibah yang datang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya
membawa dampak luas, tidak hanya di bidang sosial ekonomi, tetapi juga
dalam bidang sosial politik dan kehidupan keagamaan. Meski pun kehidupan
sosial ekonomi segera dapat dipulihkan beberapa tahun kemudian, namun
suasana di kalangan rakyat penuh kegelisahan dan keresahan. Sementara
itu, pihak pemerintah kolonial melaksanakan sistem perpajakan yang baru,
sehubungan dengan penghapusan pelbagai kerja wajib, seperti kerja
pancen dan kerja rodi. Dalam keadaan yang sangat menyedihkan itu,
pengenaan pertanggungan pajak di luar kewajaran, semakin menambah
penderitaan rakyat. Untuk menggambarkan besarnya pajak yang ditanggung
rakyat Banten, setahun setelah letusan Gunung Krakatau, pajak tanah f.
125.000,- Pada tahun berikutnya, 1884, pajak tanah itu untuk seluruh
negeri dinaikkan, sehingga jumlah pajak yang terkumpul jauh besar
jumlahnya dari jumlah pajak tanah tahun 1972, meskipun jumlah penduduk
turun ± 100.000 (Kartodirdjo, 1988:55). Berbagai macam pajak yang
dikenakan kepada penduduk negeri; dari mulai pajak tanah pertanian,
pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar sampai kepada pajak jiwa
yang besarnya kadang-kadang di luar kemampuan dan penetapannya tidak
mengenal keadaan, ditambah dengan kecurangan-kecurangan pegawai pemungut
menambah keresahan dan mempersubur rasa benci penduduk kepada penjajah.
Dalam keadaan penderitaan rakyat yang bertumpuk ini, banyak di antara mereka yang lari ke klenik (tahayul). Mereka lebih mempercayai dukun dan benda-benda yang dianggap keramat dari pada mohon pertolongan Allah. Tersebutlah di desa Lebak Kelapa terdapat sebatang pohon kepuh besar yang oleh sebagian penduduk dianggap keramat, dapat memunahkan bala bencana dan meluluskan apa yang diminta asal saja memberikan sesajen bagi jin penunggu pohon itu. Berkali-kali Haji Wasid memperingatkan penduduk, bahwa perbuatan meminta selain kepada Allah adalah termasuk syirik. Tapi bagi penduduk yang kebanyakan tidak mengerti agama, fatwanya itu tidak diindahkannya. Melihat keadaan ini, Haji Wasid tidak dapat membiarkan satu kemusyrikan ada di depan matanya tanpa berusaha mencegah. Dengan beberapa orang muridnya ditebangnya pohon berhala itu pada malam hari. Keadaan inilah yang membawa Haji Wasid ke depan pengadilan kolonial pada tanggal 18 Nopember 1887. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden (Hamka, 1982:144). Dendaan yang dijatuhkan kepada kiyai ini, menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri murid dan pengikutnya.
Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan ini adalah dirubuhkannya
menara langgar (musholla) di Jombang Tengah atas perintah Asisten
Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk
mengalunkan azan setiap waktu shalat, mengganggu ketenangan "masyarakat"
kerena kerasnya suara, apalagi waktu azan shalat subuh. Asisten Residen
menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang isinya
supaya shalawat, tarhim dan azan jangan dilakukan dengan suara keras,
karena 'Tuhan tidak tuli'. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem
ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda
ini berbaur dengan penderitaan rakyat yang sudah tidak tertakarkan
menumbuhkan perlawanan bersenjata.
Jalannya pemberontakan
Secara kronologis, persiapan-persiapan menuju "pemberontakan" di Cilegon, mungkin dapat diurutkan sebagai berikut:
4 Pebruari 13 Maret 1888, diadakan 3 kali pertemuan di rumah H. Marjuki di Tanara dihadiri oleh para ulama dari Serang, Anyer dan Tangerang; yang kedua di Terate di rumah H. Asngari dihadiri oleh para pemuka masyarakat dari Serang dan Anyer, sedangkan pertemuan berikutnya di rumah H. Iskak di Saneja.
Maret April 1888, pertemuan di rumah K.H. Wasid di Beji, kemudian di
rumah H.M. Sadeli di Kaloran, dan berikutnya di rumah H. Marjuki di
Tanara, akhirnya kembali pertemuan di rumah K.H. Wasid.
23 Juni 1888 pertemuan terakhir, hadir para tokoh/ulama seperti H.
Marjuki, H. Wasid dan H. Ismail serta H. Iskak. Diduga dalam pertemuan
tersebut dibicarakan masalah kesediaan alat persenjataan, pembagian
tugas, penggerakan pengikut, serta penyelenggaraan latihan antara lain
pencak silat. Pada tanggal itu juga diperingati hari lahir pendiri
tarekat Kadiriyah; peringatan tersebut antara lain ditandai dengan
kenduri besar. Pada saat itu K.H. Wasid mengusulkan D-day pemberontakan
pada tanggal 12 Juli 1888, akhirnya ditetapkan tanggal pastinya adalah 9
Juli 1888.
Koinsidensi sejarah pada pematangan situasi tersebut antara lain (1)
akhir Juni berlangsung perhelatan besar, yakni perkawinan antara putra
bupati Pandeglang dan putri bupati Serang, di mana banyak hadir para
pejabat, (2) awal Juli, Residen Banten, Asisten Residen Anyer disertai
bawahan Eropa dan pribumi melakukan inspeksi di afdeling Anyer, (3)
adanya desas-desus munculnya naga besar pertanda akan datangnya musibah
di kalangan penduduk, (4) dalam waktu dekat K.H. Wasid akan dipanggil ke
pengadilan untuk penyelesaian suatu perkara, (5) beredarnya desas-desus
larangan berdo'a dzikir, pesta dengan gamelan, tayuban, pesta
perkawinan dan khitanan.
Pada hari Sabtu, tanggal 7 Juli 1888, diadakanlah pertemuan para kiyai
untuk persiapan terakhir pematangan gerakan di rumah Haji Akhia di
Jombang Wetan. Hadir dalam pertemuan itu antara lain: Haji Sa'id dari
Jaha, Haji Sapiuddin dari Leuwibeureum, Haji Madani dari Ciora, Haji
Halim dari Cibeber, Haji Mahmud dari Tarate Udik, Haji Iskak dari
Seneja, Haji Muhammad Arsad (penghulu kepala di Serang) dan Haji Tubagus
Kusen (penghulu di Cilegon). Untuk menutupi kecurigaan Belanda atas
pertemuan itu diadakan suatu kenduri besar. Sekitar jam 23.00, datang
Nyi Kamsidah, istri Haji Iskak, memberitahukan bahwa Haji Wasid dan Haji
Tubagus Ismail ingin bertemu dengan para kiyai yang hadir. Maka setelah
lewat tengah malam para kiyai segera berangkat ke Saneja untuk
mengadakan pertemuan kedua di rumahnya Haji Ishak. Dalam pertemuan ini
hadir pula Haji Abubakar, Haji Muhiddin, Haji Asnawi, Haji Sarman dari
Bengkung, dan Haji Akhmad, penghulu Tanara. Haji Ashik dari Bendung, dan
kiyai-kiyai dari Trumbu, tidak hadir dalam pertemuan ini karena sudah
dipastikan bahwa mereka akan memulai pemberontakan pada hari Senin
tanggal 29 Syawal atau 9 Juli 1888.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Haji Wasid dan Haji Ismail pergi ke
Wanasaba untuk mengadakan pembicaraan dengan murid-muridnya, di
antaranya Haji Sadeli dari Kaloran. Dari sana, keduanya pergi ke
Gulacir, ke rumah Haji Ismail; selesai shalat magrib dengan dikawal
sejumlah muridnya Haji Wasid berangkat ke Cibeber untuk kembali
mengadakan pertemuan dengan murid-muridnya yang lain. Pertemuan itu
dilangsungkan di dalam masjid di luar masjid sudah berkumpul
pengikut-pengikut mereka, terutama dari Arjawinangun dan Gulacir yang
juga dihadiri oleh Haji Burak, saudara Haji Tubagus Ismail, Haji
Abdulgani dari Beji, Kiyai Haji Abdulhalim dari Cibeber dan Nuh dari
Tubuy; untuk membicarakan langkah terakhir pemberontakan.
Pada hari itu juga dikirim utusan-utusan ke berbagai jurusan; Haji Erab diutus ke Haji Mohamad Asyik, Bendung, Haji Mahmud dan Haji Alfian diutus menemui Haji Abdulrazak, Tanara, Nasaman dan Sendanglor ke Cipeundeuy menemui Kiyai Haji Sahib, Haji Abdulhalim dan Haji Abdulgani ke Tunggak menemui Haji Usman, Haji Kasiman di Citangkil dan Haji Mahmud di Terate Udik. Ketiga yang terakhir ini diperintahkan untuk mengerahkan pejuang-pejuang dari Anyer untuk segera bergerak supaya pagi-pagi sekali sudah berada siap di Cilegon.
Sementara itu, setelah pertemuan di rumah Haji Ishak, beberapa kiyai
kembali lagi ke pesta di rumah Haji Akhiya, yang pada keesokan harinya,
Minggu, 8 Juli 1888, diadakan arak-arakan sambil meneriakkan takbir dan
kasidahan yang dimulai dari rumah Haji Akhiya di Jombang Wetan dan
berakhir di rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon. Para kiyai dan
murid-murid mereka memakai pakaian putih-putih dengan ikat kepala dari
kain putih pula sambil membawa pedang dan tombak. Pada malam harinya
barisan bertambah panjang bergerak dari Cibeber ke arah Saneja dipimpin
langsung oleh Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail yang kemudian dijadikan
sebagai pusat penyerangan.
Malam itu juga, dari Saneja, Haji Tubagus Ismail memimpin
pengikut-pengikutnya dari Arjawinangun, Gulacir dan Cibeber bergerak
menuju Cilegon untuk menyerang para pejabat pemerintah kolonial. Pada
hari Senin malam tanggal 9 Juli 1888, diadakanlah serangan umum ke
Cilegon. Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Arjawinangun dan
pengikutnya menyerang dari arah selatan, sedangkan pasukan yang dipimpin
oleh Kiyai Haji Wasid, Kiyai Haji Usman dari Tunggak, Haji Abdul Gani
dan Beji dan Haji Nuriman dari Kaligandu menyerang dari arah utara.
Dengan memekikkan kalimat takbir mereka menyerbu beberapa tempat di
Cilegon. Pasukan dibagi dalam beberapa kelompok: kelompok pertama
dipimpin oleh Lurah Jasim, Jaro Kajuruan, menyerbu penjara untuk
membebaskan para tahanan; kelompok kedua dipimpin oleh Haji Abdulgani
dari Beji dan Haji Usman dari Arjawinangun menyerbu kepatihan, dan
kelompok ketiga dipimpin oleh Kiyai Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman
dari Tunggak menyerang rumah Asisten Residen. Sedangkan Haji Wasid
dengan beberapa pengawalnya tetap di Jombang Wetan memonitor segala
kegiatan penyerbuan (Kartodirdjo, 1984:301-303).
Dalam keadaan yang kacau itu, Henri Francois Dumas, juru tulis di kantor
Asisten Residen, dapat dibunuh oleh Haji Tubagus Ismail, demikian juga
Raden Purwadiningrat, ajun kolektor, Johan Hendrik Hubert Gubbels,
asisten residen Anyer, Mas Kramadireja, sipir penjara Cilegon, dan Ulric
Bachet, kepala penjualan garam semuanya adalah orang-orang yang tidak
disenangi rakyat. Sedangkan Patih Raden Pennah, seorang pegawai negeri
yang kebelanda-belandaan lolos dari kematian, karena dia sedang di
Serang waktu itu. Tokoh fenomenal yang menjadi salah seorang korban,
adalah Raden Tjakradiningrat, wedana Cilegon, yang menurut PPA.
Djajadiningrat "tempat kediamannya tidak di dekat-dekat orang Eropah
atau di dekat-dekat Ambtenar-ambtenar boemipoetra lain" (1936:55),
sehingga ia termasuk "orang yang tidak berdosa" (1936:56) Menurut
rekaman PAA. Djajadiningrat, terbunuhnya Raden Tjakradiningrat itu,
adalah ketika ia akan mencoba bermusyawarah dengan para pejuang
(peroesoeh). Namun di antara mereka terdapat seorang tahanan-titipan
kasus pencurian hasil tangkapan Wedana Tjangradiningrat yang sedang
menunggu putusan perkara, yang bernama Kasidin. Kasidin keluar penjara
ketika penjara dijebol para pejuang. Ketika Tjakradiningrat mendatangi
tempat kerusuhan dan dikepung oleh para pejuang terdengar suara: ' ...
djangan dianiaja jang seorang itoe, ia tidak berdosa !', tapi Kasidin
yang ada pada kerumunan tersebut, melompat ke muka sambil berkata: ' ...
ini jang mesti didahoeloekan !' dan pada saat berikutnya Kasidin
memarang leher Wedana Tjakradiningrat (PPA. Djajadiningrat. 1936:56)
Seperti yang sudah direncanakan semula, berbarengan dengan kejadian di
Cilegon ini, di beberapa tempat juga meletus pemberontakan, seperti di
Bojonegara, Balegendong, Krapyak, Grogol, Mancak dan Toyomerto. Di
daerah Serang, pemberontakan dipimpin oleh Haji Muhammad Asyik, seorang
ulama dari Bendung, Haji Muhammad Hanafiah dari Trumbu dan Haji Muhidin
dari Cipeucang. Pusat-pusat kegiatan mereka ialah Bendung, Trumbu,
Kubang, Kaloran dan Keganteran. Sehari semalam kekacauan tidak dapat
diatasi, Cilegon dapat dikuasai sepenuhnya oleh pasukan "pemberontak".
Tetapi seorang babu (pembantu rumah tangga) Gubbel dapat melarikan diri
ke Serang membawa kabar kejadian di Cilegon itu. Maka Bupati bersama
Kontrolir dengan 40 orang serdadu yang dipimpin oleh Letnan I Bartlemy
berangkat ke Cilegon. Terjadilah pertempuran hebat antara para
pemberontak dengan tentara kolonial yang memang sudah terlatih baik,
sehingga akhirnya kerusuhan dapat dipadamkan. Haji Wasid sebagai
pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lainnya dihukum
buang; Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris
dibuang ke Bukit Tinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo, Haji
Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan
banyak lagi lainnya dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Menado, Ambon,
dan Saparua; semua pimpinan pemberontakan yang dibuang ini ada 94 orang.
Kejadian "Geger Cilegon" itu mempunyai arti penting dalam sejarah pergerakan nasional, karena setelah kejadian itu Belanda menginstruksikan supaya semua peraturan-peraturan yang akan dikeluarkan hendaknya jangan menyinggung perasaan keagamaan rakyat jajahan. Walau pun akhirnya pemberontakan itu mengalami kegagalan secara fisik, namun sangat bermakna sebagai sebuah gambaran dari rasa ketidakpuasan dan kebencian seluruh rakyat terhadap penjajah.
Rakyat kebetulan tidak memiliki pemimpin formal untuk menyalurkan
aspirasinya sehingga untuk menyalurkan ketidakpuasan itu, dalam bentuk
pemberontakan, kepemimpinannya dipercayakan kepada pemim-pin kharismatik
yakni para kiyai dan ulama. Dalam tahun-tahun berikutnya, bekas dan
akibat pemberontakan Cilegon ini cukup mendalam di kedua belah pihak.
Rakyat Banten sangat benci kepada penjajah Belanda dan pamongpraja yang
menjadi kaki-tangannya; sebaliknya pihak penjajah juga menaruh
kewaspadaan tinggi untuk daerah Banten dengan rakyatnya sangat militan
itu.
Banyaknya pemberontakan rakyat yang dipimpin para ulama Islam ini erat
juga kaitannya dengan politik keagamaan yang diterapkan kaum penjajah.
Di samping mereka terlalu meng-eksploitir tanah jajahan tanpa dibatasi
rasa kemanusiaan, juga pemerintah kolonial "merambah" dalam kehidupan
keagamaan masyarakat; masalah yang dianggap paling mendasar dalam
kehidupan manusia. Hal ini tidak lepas dari motivasi pertama
pengembaraan orang-orang Eropa, di samping untuk mencari keuntungan
perdagangan juga dilandasi oleh rasa benci dan permusuhan kepada
orang-orang yang beragama Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa ekspansi
Portugis harus dilihat sebagai kelanjutan dari Perang Salib.
VOC, sebagai perusahaan dagang milik Belanda pun tidak lepas dari tugas
penghancuran umat Islam dan penyebaran agama Kristen kepada penduduk di
Nusantara (Suminto, 1985: 17). Keadaan demikian terlihat juga pada abad
ke-19 dan ke-20, melalui beberapa peraturan dan pelaksanaan yang dibuat
pemerintah Hindia Belanda. Partai-partai di parlemen Belanda dapat
dikelompokkan kepada partai agama dan non agama. Kedua golongan ini
saling berebut mempengaruhi semua keputusan parlemen, yang selanjutnya
dilaksanakan pemerintah Belanda. Pada dasawarsa terakhir abad ke-19
kelompok non agama memperoleh kemenangan dalam parlemen. Namun pada
peralihan abad ke-20 kemenangan beralih kepada kelompok agama. Dengan
keadaan ini pemerintah Hindia Belanda haruslah mendukung sebanyak
mungkin usaha kristenisasi yang banyak dilakukan organisasi swasta.
Dukungan terhadap kristenisasi Hindia Belanda dipertegas sejalan dengan
“politik hutang budi”; yaitu kemudahan bagi organisasi zending Kristen
mendirikan sekolah bagi penduduk bumiputra, untuk sedikit demi sedikit
melupakan agamanya (Islam) dan kemudian beralih kepada agama Kristen.
Masalah kristenisasi di Hindia Belanda ini erat juga kaitannya dengan
masalah menghadapi pemberontakan yang dilakukan umat Islam. Dengan
mengkristenkan sebanyak mungkin penduduk di Nusantara maka pemberontakan
akan semakin berkurang. Karena itulah "zending Kristen harus dianggap
sebagai faktor penting bagi proses penjajahan, bahkan perluasan kolonial
dan ekspansi agama merupakan gejala simbiose yang saling menunjang"
(Suminto, 1985:18). Pemerintah Belanda berpendapat bahwa apabila bangsa
Indonesia ini memeluk agama Kristen, yakni menjadi seagama dengan
penjajahnya, maka berarti mereka tidak akan lagi membahayakan bagi
pemerintahan Belanda.
Tetapi dalam kenyataannya, justru karena tekanan kegiatan missi
penyebaran agama Kristen yang menggebu-gebu ini reaksi perlawanan dari
rakyat Indonesia makin lebih militan lagi menentang penjajah Belanda.
Sehingga orang Indonesia dalam menyebut orang-orang Belanda sebagai
"setan", "kapir landa" sebutan yang di samping menggambarkan kebencian
mendalam juga menganggap mereka itu adalam musuh-musuh Islam dan kaum
muslimin. Tidaklah mengherankan apabila orang Islam yang mengirimkan
anaknya untuk belajar di sekolah Belanda, ataupun sekolah Jawa/Melayu
yang didirikan Belanda, sering dituduh menyuruh anak-anaknya masuk agama
Kristen.
Maka tidak jarang seorang kiyai atau seorang guru mengaji mengeluarkan
fatwa bahwa memasuki sekolah-sekolah Belanda adalah haram, atau
sekurang-kurangnya menyalahi Islam. Bahkan beredar fatwa yang menyatakan
bahwa berpakaian ala Eropa lebih-lebih memakai dasi, celana pantalon
dan topi ala Eropa ─ dihukumi haram, dan pemakainya dikatakan kafir.
Demikian juga dengan orang Islam yang bekerja menjadi pegawai di kantor
pemerintah Belanda, misalnya sebagai pamongpraja, masyarakat mencemooh
mereka sebagai "anjing belanda".
Keyakinan yang memandang rendah semacam itulah yang mendasari kenapa
penduduk asli Banten yang bersedia bekerja menjadi pamongpraja pada masa
pemerintahan Hindia Belanda sangat sedikit. Keadaan semacam ini pun
membuat pemerintah Belanda mengalami kesulitan mengangkat pejabat
pamongpraja asli dari Banten yang cakap (baca: pernah belajar di sekolah
Belanda). Oleh karenanya, untuk mengisi kekosongan pegawai pamongpraja
ini, pemerintah kolonial lebih banyak mengangkat pegawai yang berasal
dari Priyangan, seperti dari Bogor dan Bandung. Hal demikian sering
menimbulkan konflik tertentu yang saling mencurigai satu sama lain; yang
pada hakekatnya berawal mungkin dari perasaan irihati para pamongpraja
asli daerah Banten terhadap para pamongpraja pendatang.
Ketakutan yang didasari kecurigaan ini pula yang menyebabkan banyaknya
pegawai asal Priyangan yang ikut melarikan diri ketika pasukan Jepang
keluar dari Banten. Imbas dari keadaan ini masih terasa sampai pasca
kemerdekaan. Rupanya, walaupun memang kebanyakan rakyat Banten bukan
orang yang mempunyai pemahaman mendalam tentang keislaman, bahkan
mungkin bukan termasuk orang yang taat menjalankan agamanya, namun dalam
hal rasa sentimen keagamaan mereka cukup tinggi.
Peran Kyai dan Jawara di Banten
Semenjak pemerintahan kolonial Belanda menaklukan kesultanan Banten,
perlawanan dan pemberontakan rakyat Banten terhadap pemerintah kolonial
tidak pernah berhenti. Pemerintah kolonial memandang bahwa Banten
merupakan daerah yang paling rusuh di Jawa. Karena itu masyarakat Banten
sejak dahulu dikenal sebagai orang yang sangat fanatik dalam hal agama
dan bersemangat memberontak. Penduduk Banten sebagian besar keturunan
orang Jawa dan Cirebon yang dalam perjalanan waktu berbaur dengan
orang-orang Sunda, Bugis, Melayu dan Lampung. Perbauran yang begitu
dalam menyebabkan penduduk Banten memiliki cultur yang berbeda dalam hal
bahasa dan adat istiadat dengan masyarakat asalnya. Begitu pula dalam
hal penampilan fisik dan watak, orang Banten menunjukkan perbedaan yang
nyata dengan orang Sunda dan orang Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam
daerah yang pernah menjadi pusat kerajaan Islam dan penduduknya yang
terkenal sangat taat terhadap agama seperti daerah Banten sudah
sewajarnya jika kiyai menempati kedudukan yang penting dalam masyarakat.
Kiyai yang merupakan gelar ulama dari kelompok Islam tradisional, tidak
hanya dipandang sebagai tokoh agama tetapi juga seorang pemimpin
masyarakat. Kekuasaannya sering kali melebihi kekuasaan pemimpin formal,
terutama di pedesaan. Bahkan pengangkatan pemimpin formal di suatu desa
ditentukan oleh pemuka-pemuka agama di daerah yang bersangkutan.
Kiyai dikenal tidak hanya sebagai guru di pesantren, juga sebagai guru
spiritual dan pemimpin kharismatik masyarakat. Penampilan kiyai yang
khas, seperti bertutur kata lembut, berprilaku sopan, berpakaian rapih
dan sederhana, serta membawa tasbih untuk berdzikir kepada Allah,
merupakan simbol-simbol kesalehan. Karena itu perilaku dan ucapan
seorang kiyai menjadi panduan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Golongan lain, yang juga menembus batas-batas hirarki pedesaan di
Banten, adalah jawara. Jawara sebagai orang yang memiliki keunggulan
dalam fisik dan kekuatan-kekuatan untuk memanifulasi kekuatan
supernatural, seperti penggunaan jimat, sehingga ia disegani oleh
masyarakat. Jimat yang memberikan harapan dan memenuhi kebutuhan praktis
para jawara yang salah satunya adalah kekebalan tubuh dari benda-benda
tajam.
Keunggulan dalam hal fisik dan kemampuanya untuk memanipulasi kekuatan
supernatural (magik) telah melahirkan sosok seorang jawara dengan
memiliki karakter yang khas. Ia cukup terkenal dengan seragam hitamnya
dan kecenderungan terhadap penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan
setiap persoalan. Sehingga bagi sebagian masyarakat, jawara dipandang
sebagai sosok yang memiliki keberanian, agresif, sompral (tutur kata
yang keras dan terkesan sombong), terbuka (blak-blakan) dengan
bersenjatakan golok, untuk menunjukan bahwa ia memiliki kekuatan fisik
dan magik. Seperti halnya kiyai yang memiliki pesantren sebagai tempat
para santri menimba ilmu pengetahuan agama Islam, demikian pula kepala
jawara memiliki padepokan tempat pengemblengan “anak buah”. Para jawara
pun memiliki jaringan yang melewati batas-batas geografis daerah tempat
tinggalnya. Bahkan mereka memiliki organisasi tersendiri, seperti
Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten yang dipimpin oleh
Tb Chasan Shohib dan Tjmande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir yang dipimpin
oleh Maman Rizal.
Asal-usul kata “jawara” pun tidak begitu jelas. Sebagian orang
berpendapat bahwa jawara berarti juara, yang berarti pemenang, yang
ingin dipandang orang yang paling hebat. Memang bahwa salah satu sifat
jawara adalah selalu ingin menang, yang terkadang dilakukan dengan
berbagai cara termasuk dengan cara yang tidak baik. Sehingga seorang
jawara itu biasa bersifat sompral (berbicara dengan bahasa yang kasar
dan terkesan sombong), sebagian orang lagi berpendapat bahwa kata
“jawara” berasal dari kata “jaro” yang berarti seorang pemimpin yang
biasanya merujuk kepada kepemimpinan di desa, yang kalau sekarang lebih
dikenal dengan kepala desa atau lurah. Pada masa dahulu kepala desa atau
lurah di Banten itu mayoritas adalah para jawara. Para jawara tersebut
memimpin kajaroan (desa) namun kemudian terjadi pergeseran makna
sehingga jawara dan jaro menunjukan makna yang berbeda. Sekarang ini
jawara tidak mesti menjadi pemimpin, apalagi menjadi kepala desa atau
lurah.
Menurut Tihami (Dekan IAIN Maulana Hasanudin Banten) bahwa jawara itu
adalah murid kiyai. Kiyai di Banten pada tempo dulu tidak hanya
mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam tetapi mengajarkan ilmu persilatan
atau kanuragan. Hal ini disebabkan pesantren, pada masa yang lalu,
berada di daerah-daerah terpencil dan kurang aman, karena kesultanan
tidak mampu menjangkau daerah-daerah yang terpencil yang sangat jauh
dari pusat kekuasaan. Murid kiyai yang lebih berbakat dalam bidang
intelektual, mendalami ilmu-ilmu agama Islam pada akhirnya disebut
santri. Sedangkan murid kiyai yang memiliki bakat dalam bidang fisik
lebih condong kepada persilatan atau ilmu-ilmu kanuragan, yang kemudian
disebut jawara. Karena itu dalam tradisi kejawaran bahwa seorang jawara
yang melawan perintah kiyai itu akan kawalat. Mungkin atas dasar itu
seorang pengurus persilatan dan seni budaya Banten menyatakan bahwa
jawara itu adalah khodim (pembantu) nya kiyai. Bahkan seperti yang
diungkapkan salah seorang kiyai di Serang. juwara iku tentrane kiyai
(jawara itu tentaranya kiyai).
Istilah jawara dalam percakapan sehari-hari masyarakat Banten sekarang
ini dipergunakan untuk istilah denotatif dan juga referensi untuk
mengidentifikasi seseorang. Istilah jawara yang menunjukan referensi
untuk identifikasi seseorang adalah gelar bagi orang-orang yang memiliki
kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian
(kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul
dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga membangkitkan perasaan orang
lain penuh dengan pertentangan: hormat dan takut, rasa kagum dan benci.
Sedangkan istilah jawara yang bersifat denotatif berisi tentang sifat
yang merendahkan derajat (derogatif) yang biasanya digunakan untuk
orang-orang yang berprilaku sombong, kurang taat menjalankan perintah
agama Islam atau melakukan sesuatu dengan cara-cara yang tidak baik
terhadap orang untuk kepentingan dirinya semata, seperti melakukan
ancaman, kekerasan dan kenekadan. Karena itu kesan orang terhadap
istilah jawara cenderung negatif dan derogatif. Maka ada orang yang
mendefenisikan jawara dengan “jago wadon lan lahur” (tukang main
perempuan dan tukang bohong), “jago wadon lan harta” (tukang main
perempuan dan tamak harta). Kesan yang kurang baik tentang jawara
tersebut yang kemudian yang bagi orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu
kadigjayaan atau persilatan yang sudah “terpelajar” tidak mau menamakan
dirinya jawara tetapi lebih senang disebut pendekar.
Persepsi masyarakat tentang jawara saat ini yang kurang simpatik dan
cenderung negatif sebenarnya bisa diterangkan dengan teori “ bandit
sosial” di atas. Peranan jawara pada masa lalu yang menonjolkan
keberanian untuk melawan musuh bersama masyarakat yakni: pemerintah
kolonial Belanda, mendapat penghargaan dan penghormatan di mata rakyat
Banten. Karena itu jawara dianggap pahlawan oleh rakyat, sebagai pembela
dan pelindung atas kepentinganya. Peran-peran itu yang telah
ditampilkan secara baik oleh Mas Jakaria serta tokoh-tokoh jawara masa
silam. Namun setelah Indonesia bebas dari kolonialisme, musuh bersama
rakyat itu tidak ada. Namun prilaku-prilaku jawara, seperti sompral,
sombong, kurang taat dalam beragama, justru tidak berubah, sehingga
menimbulkan antipati masayarakat terhadap jawara.
Tokoh-tokoh agama, kiyai, terutama dari pemimpin tarekat, selain dipandang sebagai orang yang mengerti tentang pesan-pesan dan ajaran-ajaran agama juga dipandang sebagai sosok yang paling dekat pusat kekuatan supernatural, karena itu dipercayai memiliki kekuatan magis dan mistis, yang lebih dikenal dengan ilmu-ilmu hikmah. Karena kharisma seseorang kiyai akan semakin besar apabila ia selain memiliki kemampuan untuk memahami ajaran-ajaran agama, terutama kitab-kitab kuning juga dipercayai oleh masayarakat memiliki kekuatan mistis dan magis yang besar pula, sehingga ia dianggap bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang biasa.
Tokoh lain di wilayah Banten yang memiliki status sosial yang dihormati
dan disegani karena dianggap memiliki kemampuan untuk memanipulasi
kekuatan supra-natural yang merupa magis dan mistis adalah jawara.
Jawara dianggap memiliki ilmu-ilmu kedigjayaan (kesaktian) dan menguasai
ilmu persilatan. Selain itu jawara juga harus memiliki keberanian
(wanten, kawani) secara fisik, yang keberaniannya itu didukung oleh
kemampuan dirinya dalam menguasai ilmu bela diri (persilatan) dan
ilmu-ilmu kesaktian. Karena itu seseorang yang hanya memiliki ilmu-ilmu
kadigjayaan dan persilatan tidak akan dinamakan jawara apabila ia tidak
memiliki keberanian.
Karena kelebihannya yang dimilikinya itu maka kiyai dan jawara dipandang
sebagai pemimpin masyarakat dan merupakan “elit sosial” di masyarakat
Banten. Kedua tokoh tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar di
masyarakat dan juga memiliki para pengikut yang setia. Kepemimpinannya
bersifat kharismatik, yakni: kepemimpinan yang bertumpu kepada daya
tarik pribadi yang melekat pada diri pribadi seorang kiyai atau jawara
tersebut. Karena posisinya yang demikian itu maka seorang kiyai atau
jawara dapat selalu dibedakan dari orang kebanyakan. Juga karena
keunggulan kepribadiannya itu, ia dianggap bahkan diyakini memiliki
kekuatan supernatural sehingga memiliki kemampuan luar biasa dan
mengesankan di hadapan khalayak banyak.
Munculnya kiyai sebagai tokoh agama yang dihormati di wilayah Banten
berkaitan dengan kontrol pemerintah kolonial Belanda yang semakin kuat
terhadap kesultanan Banten pada abad ke-18 dan ke-19. Meskipun
pemerintah kolonial masih tetap mempertahankan pejabat-pejabat yang
mengurusi soal-soal keagamaan masyarakat Banten, seperti Fakih
Najamuddin untuk di tingkat atas dan para penghulu untuk di tingkat
bawah, namun pengaruh mereka semakin menurun, akibat intervensi
pemerintah kolonial yang terlalu besar.
Kiyai, yang pada saat itu merupakan tokoh agama yang independen dan
tidak bersentuhan langsung dengan pemerintah, muncul sebagai tokoh
masyarakat. Apalagi semenjak jabatan Fakih Najamuddin, dihapuskan oleh
Belanda. Penghapusan jabatan tersebut mengalihkan loyalitas penduduk ke
para kiyai. Pembayaran zakat pun yang selama kesultanan Banten dan
masa-masa awal pemerintahan kolonial diserahkan kepada penghulu, setelah
penghapusan jabatan Fakih Najamuddin diberikan kepada para kiyai.
Demikian pula jawara, yang pada masa-masa sulit banyak membantu peran
para kiyai terutama berkaitan dengan persoalan keamanan dan ketertiban
masyarakat, menjadi sosok yang terkadang justru banyak merugikan
masyarakat. Seperti kisah ketokohan Ce Mamat alias Muhamad Mansur yang
mendirikan Dewan Rakyat. Anggota Dewan Rakyat yang anggotanya kebanyakan
dari para jawara, mengadakan serangkaian kerusuhan sosial dan
pembunuhan di berbagai tempat di wilayah Banten. Sehingga K.H. Akhmad
Khatib memerintahkan K.H. Syam’un untuk menangkap Ce Mamat dan menumpas
gerombolannya.
Menurut masyarakat Banten gelar Kiyai diberikan kepada seorang yang
“terpelajar” dalam pemahaman keislamannya dan ia membaktikan hidupnya
“demi mencari ridha Allah” untuk menyebarluaskan serta memperdalam
ajaran-ajaran agama Islam kepada seluruh masyarakat melalui lembaga
pendidikan ataupun pesantren, yang menyandang gelar tersebut biasanya
memiliki kesaktian dan ahli kebatinan, ahli hikmah, guru dan pemimpin
masyarakat yang berwibawa yang memiliki legitimasi berdasarkan
kepercayaan masyarakat.
Sedangkan jawara dalam pandangan masyarakat Banten merujuk kepada
seseorang atau kelompok yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat
(kanuragan) dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti
kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan
sebagainya, sehingga membangkitkan perasaan hormat dan takut, rasa kagum
dan benci. Berkat kelebihannya itu, ia bisa muncul menjadi tokoh yang
kharismatik, terutama pada saat-saat kehidupan sosial mengalami krisis.
Kiyai dalam masyarakat Banten merupakan tokoh panutan masyarakat yang
dihormati berkat perannya dalam mengarahkan dan menata kehidupan
bermasyarakat. Sedangkan jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari
lembaga adat masyarakat diapun tokoh yang dihormati apabila ia menjadi
pemimpin atau penguasa. Keduanya merupakan pemimpinan yang meemiliki
pengaruh pada masyarakat Banten, kebesaran namanya sangat ditentukan
oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan dalam penguasaan ilmu
pengetahuan (agama dan sekuler), kesaktian dan keturunannya. Peranan
kiyai dalam masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot),
guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu “hikmah” (ilmu ghaib)
dan sebagai mubaligh.
Peranan seorang kiyai selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga
pemberi arahan atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh.
Karena itu ia lebih bersifat memberikan pencerahan terhadap masyarakat,
semua itu menjadi masyarakat Banten yang madani dan memiliki
religiusitas yang tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan,
apalagi bagi masyarakat yang masih mencari jati dirinya. Sedangkan
jawara lebih cenderung kepada kekuatan fisik dan “batin”. Sehingga dalam
masyarakat Banten peran-peran yang sering dimainkan oleh para jawara
adalah menjadi jaro (kepala desa atau lurah), guru ilmu silat dan ilmu
“batin” atau magi, satuan-satuan pengamanan.
Peranan tersebut bagi masyarakat sangat membantu apalagi saat Banten
dalam kekacauan dan kerusuhan yang cukup lama, namun demikian peranan
para jawara dalam sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat
Banten saat ini sangat diperlukan. Tetapi akhir-akhir ini peranan para
jawara mulai berbeda dibandingkan dengan peranan jawara pada masa-masa
lalu dalam sejarah kehidupan masyarakat Banten sesuai perkembangan
zaman.
Begitu pula ketika mereka membina hubungannya dengan sesama Kiyai dan
jawara disatukan dalam dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Sifat
hubungan keduanya tidak hanya bersifat simbiosis, yakni saling
ketergantungan tetapi juga kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari
kiyai, sedangkan sebaliknya kiyai, atas jasanya tersebut, menerima uang
shalawat (bantuan material) dari jawara. Tetapi juga banyak kiyai yang
tidak senang terhadap berbagai prilaku jawara yang sering menghalalkan
segara cara walau dengan cara kekerasaan dalam menyelesaikan masalah.
sumber: http://massandry.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar