Oleh:
Asran Salam
Bahasa,
bagaimana pun itu tak memiliki kuasa untuk menyatakan Tuhan secarah total.
Bahasa memiliki keterbatasan menyatakan realitas Tuhan. Secanggih apapun kita
menyusun argumentasi tentang Tuhan di situ tak mewakili sepenuh-Nya. Kata Ibnu
Arabi, "apapun yang kau bahasakan tentang Tuhan itu bukan Tuhan". Karena
Dia tak terwakili oleh bahasa, apakah kita cukup menutup mulut lalu kita diam
saja dan tidak usah membicarakan Tuhan? Tentunya tidak. Kita yang bertuhan
tetap perlu berkespresi. Kita agak sulit menghindari mengekspresikan-Nya. Dan,
bahasa adalah salah satu bentuknya. Bahasa adalah salah satu medium espresi
itu.
Oleh
karena bahasa tak bisa dihindari dalam membahasakan Tuhan. Maka, para sufi
biasanya memilih bahasa yang tak biasa; bukan bahasa sehari-hari. Para sufi
memilih bahasa sastra dalam bentuk puisi, prosa, epigram serta sajak. Lalu,
mengapa harus lewat sastra? Sebab, barangkali dalam sastra melibatkan intuitif
secara dalam. Dan, para sufi meyakini bahwa melalui intuisilah Tuhan bisa “disingkap”.
“Filsafat membuat kita rasional sedangkan
sastra membuat kita intuitif”. Ungkapan ini, biasanya digunakan dalam
membedakan antara sastra dan filsafat. Sastra memang punya keistimewaan
tersendiri. Mungkin di situlah Tuhan mengapa memberikan anasir-anasir sastrawi
dalam al-Quran. Barangkali Tuhan hendak berkata; "selamilah aku dengan
intuisi—qalbumu".
Sa'di,
salah satu sufi di antara sekian banyak sufi yang memilih sastra sebagai medium
mengespresikan Tuhan. Sa’di, yang bernama lengkap Syekh Muslihuddin Sa’di.
Lahir di kota Shiraz, Persia 1175 yang silam, sangat terkenal dengan Gulistan.
Sebuah karya mengangkat namanya kemudian dijagat sastra sufisme. Namun, Tak
hanya Gulistan, ada karyanya yang tatkala menterengnya; Bustan. Karya yang
lahir dua belas bulan sebelum Gulistan. Bustan, lahir dari jelajah Sa’di
bersama gururnya Abdul Qadir Jailani. Sebuah perjalanan dagang ke Mekkah dari
Bagdad—Irak.
Sa’di,
perihal inspirasi kelahiran Bustan dakunya; “Aku mengembara ke berbagai belahan bumi dan melewatkan hari-hariku
bergaul dengan bermacam-macam orang. Aku memetik manfaat-manfaat di setiap
sudut.....Tapi tidak ketemui orang yang saleh dan alim seperti orang Shiraz.
...tanah yang telah mengikat hatiku, membawa jauh hatiku dari Siria dan
Turki....Aku menyesal karena mesti pergi dari kebun dunia ini tanpa membawa
apa-apa untuk teman-temanku, dan pikirku: “Para musafir membawa gula dari mesir
sebagai hadiah bagi teman-teman mereka”. Walaupun aku tak punya gula, aku
memiliki kata yang lebih manis. Gula yang kubawa tidak untuk dimakan, tapi
orang yang mengetahui kebenaran akan mengambilnya penuh hormat”
Sa’di,
memang sepulang dari perjalanannya tak membawa apa-apa untuk kawan-kawanya,
selain karya yang padat dengan kata-kata. Riuh dengan hikmah. Ramai dengan
pelajaran akhlak. Kompas untuk kesalehan dan itu adalah Bustan. Bustan yang
berarti taman, memang karya yang indah seperti namanya taman. Layaknya taman,
Ia tentunya dipenuhi dengan aneka bunga. Dan, seperti itulah Bustan, kaya dengan
aneka pesan yang indah tentang kerohaniaan.
A.
Hart Edward, sang penerjemah Bustan dari bahasa Parsi ke Inggris, bertutur bahwa
pada Bustan, kita akan menemukan tema-tema kewajiban manusia terhadap Tuhan dan
sesama manusia serta takdir yang tak dapat diubah. Sa’di, katanya, menawarkan
sebuah agama praktis dan luhur. Sa’di, sungguh tak bersimpati kepada
petapa-petapa dan semacamnya. Baginya, melaksanakan kewajiban kepada seseorang
sama melaksanakan kewajiban kepada Tuhan. Agama baginya, sepatutnya bertindak
sama dengan pelayanan terhadap manusia. Dan, itu tidak ditemukan pada tasbih,
atau tikar sajadah atau pakaian compang-camping semata. Semua itu, Sa’di
bahasakan dengan halus. Mungkin di situlah kekuatan sastra menyampaikan makna
tanpa harus terjebak dalam pretensi menggurui. Melalui Bustan, Sa’di tak
menggurui akan tetapi mengajak kita.
Sebagai
akhir tulisan ini, mari kita melihat salah satu ajakan Sa’di dalam Bustan kepada
kita. Bahwa mencintai Tuhan tak mengharuskan mengacukan orang lain. Mencintai
Tuhan, berarti melayani manusia. Dia menulis seperti ini;
"Seorang
yang mencintai Tuhan memandang ke ufuk jauh padang pasir. Ayahnya, yang sedih
karena ia tidak hadir, tidak bisa makan dan tidur.
Ada
orang yang menegur anak itu. Anak itu berkata: "Selama temanku menyeruku
sebagai milikNya, tiada persahabatan lain yang kumiliki. Bila nampak di mataku keindahaNya, yang lain
kulihat gelap semata-mata".
Mereka
yang mencintaiNya tidak mengacukan orang lain; pikiran mereka bingung dan
telinga mereka tuli terhadap orang yang berbicara di dekatnya.
Mereka
mengarungi padang pasir pengetahuan Tuhan tanpa kafila. Mereka tidak
mengharapkan pujian dari teman mereka, karena mereka adalah orang-orang pilihan
Tuhan sendiri". Kira-kira begitulah sastra membahasan Tuhan. Sa’di dengan
karya sastra sufistiknya semacam Bustan mengajak kita “menyingkap” Tuhan.
#
Tulisan ini pernah dimuat di Kolom Literasi Tempo.
sumber: http://lallangsalam.blogspot.co.id/2015/12/sadi-sastra-dan-tuhan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar