Ilmu pengetahuan diambil dari kata basa inggris scince, yang berasal dari bahasa latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari, mengetahui. Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu mengalami perluasan arti sehingga menunjuk pada segenap pengetahuan sistematik. Dalam basa jerman wissenschaft.Menurut The Liang Gie Pengertian ilmu adalah rangkaian aktifitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu medode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin di mengerti manusia.
1. Hubungan antara ilmu dan
nilai
Ilmu merupakan suatu yang
sangat urgen bagi manusia, ia menjadi sarana yang membantu manusia untuk
mencapai tujuan hidupnya. Namun, ilmu dalam perkembangan dan penerapannya tidak
hanya menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi bisa juga menjadi
bencana. Seperti teknologi pembuatan bom atom yang awalnya bisa dimanfaatkan
sebagai sumber energi bagi keselamatan manusia, namun pada akhirnya juga bisa
menimbulkan malapetaka.
Nilai merupakan tema baru
dalam filsafat aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya, muncul untuk
yang pertamakalinya pada paruh kedua abad ke-19. Adalah benar bahwa telah
mengilhami lebih dari pada seorang filsuf, bahkan Plato telah membahasnya
secara mendalam dalam karyanya, dan bahwa keindahan, kebaikan, dan kekudusan
merupakan tema yang penting bagi para pemikir disepanjang zaman. Sementara itu,
minat untuk mempelajari keindahan belum hilang sama sekali; keindahan,
sebagaimana yang Nampak dewasa ini sebagai salah satu perwujudan dari cara
pandang yang khas terhadap dunia, sebuah cara yang disebut dengan nilai. Dapat
disimpulkan bahwa, nilai merupakan suatu tolak ukur kebaikan, keindahan dan
kekudusan suatu objek tertentu.
Menghadapi hal seperti ini
maka esensi ilmu mulai dipertanyakan, untuk apa sebenarnya ilmu itu harus
dipergunakan, apakah ilmu harus dikaitkan dengannilai-nilai moral?, Dihadapkan
dengan masalah moral dalam ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak
inilah para ilmuwan terlibat dalam perdebatan panjang, apakah ilmu-ilmu yang
berkembang dengan pesat tersebut bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Hal
ini mengingat bahwa di satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu
pengetahuan, sedangkan di pihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan
pada nilai-nilai subjektif, seperti nila-nilai dalam masyarakat, nilai agama,
nilai adat dan sebagainya yang ikut menentukan pilihan atas masalah dan
kesimpulan yang dibuatnya.
2. Ilmu bebas nilai (value
free)
Paradigma ilmu bebas nilai (value
free) mengatakan bahwa ilmu itu bersifat otonom yang tidak memiliki
keterkaitan sama sekali dengan nilai. Bebas nilai artinya setiap kegiatan ilmiah
harus didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan
menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Penganut paradigma ini menginginkan bahwa ilmu harus
bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik secara ontologis maupun aksiologis.
Dalam hal ini, ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang
lain untuk mempergunakannya, apakah akan dipergunakan untuk tujuan yang baik
atau sebaliknya.
Menurut Josep Situmorang,
setidaknya ada 3 faktor yang menjadi indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas
nilai:
1. Ilmu harus
bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologis, agama, budaya,
dan unsur kemasyarakatan lainnya.
2. Perlunya
kebebasan usaha ilmiah, agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu
menyangkut kemungkinan untuk menentukan diri sendiri.
3. Penelitian ilmiah tidak
luput dari pertimbangan etis (yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu),
karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Paradigma ini mengikuti jejak
yang dikembangkan oleh Copernicus, Galileo, dan filosof seangkatannya yang
netral nilai secara total. Mereka berpendapat bahwa objek ilmu tetap sebagai
objek ilmiah yang harus dihadapi sama, baik secara teoritis maupun secara
metodologis. Oleh karena itu, ilmuwan tidak boleh membedakan apakah objek yang
dihadapi ilmu itu merupakan bahan dari zat-zat kimia atau keseragaman peristiwa
alam (uniformity of natural) atau merupakan masalah yang ada hubungannya
dengan kemanusiaan. Manusia disamping sebagai subjek peneliti ilmu, juga
sebagai objek yang diteliti secara objektif dari luar, tanpa terpengaruh dengan
apa yang menjiwainya.
Penganut pendapat ini ada yang
lebih ekstrim menyatakan bahwa gejala-gejala kemasyarakatan sama dengan gejala
fisika, yaitu sama-sama bersifat alami. Pengertian-pengertian seperti kehendak,
rasa, motif, nilai dan jenis merupakan hal-hal yang berada di luar dunia
eksakta yang adanya hanya dalam dunia angan-angan yang tidak patut ditinjau
dari segi ilmiah.
Bebas nilai sesungguhnya
adalah tuntutan yang ditujukan pada ilmu agar keberadaannya dikembangkan dengan
tidak memperhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu itu sendiri, artinya tuntutan
dasar agar ilmu dikembangkan hanya demi ilmu itu sendiri tanpa pertimbangan
politik, agama maupun moral. Jadi, ilmu harus dikembangkan hanya semata-mata
berdasarkan pertimbangan ilmiah murni. Agaknya, inilah yang menjadi patokan
sekularisme yang bebas nilai.
Dalam pandangan ilmu yang bebas nilai,
eksplorasi alam tanpa batas bisa jadi dibenarkan untuk kepentingan ilmu itu
sendiri, seperti juga ekpresi seni yang menonjolkan pornografi dan pornoaksi
adalah sesuatu yang wajar karena ekspresi tersebut semata-mata untuk seni.
Setidaknya, ada problem nilai ekologis dalam ilmu tersebut tetapi ilmu-ilmu
yang bebas nilai demi tujuan untuk ilmu itu sendiri barangkali menganggap
kepentingan-kepentingan ekologis tersebut bisa menghambat ilmu. Contoh lain
misalnya, dulu sebelum ditemukan teknologi sinar laser demi mempelajari anatomi
tubuh manusia, maka menguliti mayat manusia dan mengambil dagingnya hingga
tinggal tulang-tulangnya diperbolehkan dalam ilmu.
Sedangkan
seni misalnya, membuat patung-patung manusia telanjang, lukisan-lukisan erotis,
fotografi yang menonjolkan pornografi dan tarian-tarian tanpa busana sama
sekali adalah bukan masalah dan dibenarkan secara ilmu seni sepanjang untuk
ekspresi seni itu sendiri.
Dari uraian diatas dapat
dikatakan bahwa penganut paradigma value free berpendirian bahwa ilmu
tidak terikat oleh nilai, baik dalam proses penemuannya maupun proses
penerapannya karena petimbangan-pertimbangan moral atau nilai hanya menghambat
pertumbuhan dan perkembangan ilmu.
3. Ilmu tidak bebas nilai (value
bound)
Paradigma ilmu yang tidak
bebas nilai (value bound) memandang bahwa ilmu itu selalu terkait dengan
nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai. Pengembangan
ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai,
kepentingan-kepentingan baik politis, ekonomis, sosial, religius, ekologis, dan
sebagainya.
Filosof yang menganut teori value
bound adalah Habermas. Dia berpendirian bahwa teori sebagai produk ilmiah
tidak pernah bebas nilai, dan semua ilmu bahkan ilmu alam sekalipun tidaklah
mungkin bebas nilai karena dalam pengembangan setiap ilmu selalu ada
kepentingan-kepentingan teknis.
Dalam pandangan Habermas bahwa ilmu
sendiri dikonstruksi untuk kepentingan-kepentingan tertentu yakni nilai
relasional antara manusia dan alam seperti ilmu pengetahuan alam, manusia dan
manusia seperti ilmu sosial, dan nilai penghormatan terhadap manusia. Jika
lahirnya ilmu saja terkait dengan nilai, maka ilmu itu sendiri tidak mungkin
bekerja lepas dari nilai. Penganut value bound ini bahkan ada yang
mengatakan bahwa nilai adalah ruhnya ilmu. Jadi, ilmu tanpa nilai diibaratakan
seperti tubuh tanpa ruh (mati) yang berarti tidak berguna.
4. Ilmu bebas nilai
sedangkan aplikasi ilmu dan ilmuwannya terikat nilai
Pendapat ini mengatakan bahwa
ilmu bebas nilai hanya terbatas dari segi ontologinya, sedangkan penggunaannya
tidak bebas nilai karena harus berdasarkan asas-asas nilai. Mereka berpendirian
bahwa masalah nilai tidak terlepas sama sekali dengan fitrah manusia. Manusia
adalah makhluk yang selalu menilai untuk menemukan kebenaran dan mempertemukan
kebenaran. Sejarah manusia penuh dengan peristiwa-peristiwa yang dihiasi
kerelaan mengorbankan nyawa dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar.
Tanpa dasar nilai moral, ilmuwan mudah sekali tergelincir dalam melakukan
prostitusi intelektual. Pendapat ini didasari oleh beberapa hal, yakni:
1. Ilmu secara
faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan
dengan adanya dua Perang Dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan.
2. Ilmu telah
berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih
mengetahui tentang akses-akses yang mungkin terjadi bila ada penyalahgunaan.
3. Ilmu telah berkembang
sedemikian rupa sehingga ada kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan
kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik
perubahan sosial (social engineering).
Menurut Drs. H. Mohammad Adib,
MA, substansi ilmu itu bebas nilai (value-free), tergantung pada
pemakaiannya, beliau mengatakan bahwa:
Sangat dikhawatirkan dan berbahaya
jika ilmu dan pengetahuan yang sarat muatan negatif dikendalikan atau jatuh ke
tangan orang-orang yang berakal picik, sempit, dan sektarian; berjiwa kerdil,
kumuh dan jahat, bertangan besi dan kotor. Hal ini berangkat dari fakta
belakangan yang menunjukkan terjadinya krisis, kemiskinan, kebodohan,
ketidakpercayaan, dan lainnya sebagai dampak dari missmanagement,
missdirection, missmanipulation, dan sebagainya.
Berdasarkan hal-hal diatas,
maka ilmu secara netral harus bertujuan untuk kesejahteraan manusia, tanpa
merendahkan martabatnya. Dengan kesimpulan bahwa pendapat ini mengatakan bahwa
ilmu bebas nilai dalam proses
penemuannya dan terikat nilai
dalam proses penerapannya, tentunya dalam proses penerapan sangat berkaitan
dengan subjek yang mengembangkannya, yaitu ilmuwan itu sendiri. Proses penemuan
ilmu memang diusahakan secara maksimal objektif. Usaha itu berupa menjauhkan
diri dari segi-segi nilai subjektif . Namun, karena manusia adalah makhluk yang
tidak terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan yang berguna baginya, maka dalam
penerapan ilmu selalu mempertimbangkan nilai.
Dari paparan tiga paradigma tentang ilmu
dan nilai diatas, dapat disimpulkan bahwa netralitas ilmu hanya terletak pada
epistemologinya saja, artinya tanpa berpihak pada siapapun selain kebenaran
yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu
menilai mana yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan
ilmuwan memiliki landasan moral yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Ghozali Bachri, dkk. 2005. Filsafat
Ilmu. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Rizal Mustansyir dan Misnal
Munir, Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Tiara Wacana
Surajiyo. 2007. Suatu
pengantar Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta : Bumi
aksara.
Beerling, Kwee, Mooij Van Peursen. 1986.
Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Tiara wacana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar