Etnomatematika
merupakan ilmu yang erat kaitannya dengan matematika pada suatu teknis
atau masyarakat tertentu, juga dapat berkontribusi untuk mendukung
pembelajaran yang inovatif, yaitu pembelajaran yang berpusat pada siswa
(student center). Etnomatematika adalah matematika
yang diterapkan oleh kelompok budaya tertentu, kelompok buruh/petani,
anak-anak
dari masyarakat kelas tertentu, kelas-kelas profesional, dan lain
sebagainya
(Gerdes, 1994). Dari definisi seperti ini, maka etnomatematika memiliki
pengertian
yang lebih luas dari hanya sekedar etno (etnis) atau suku. Jika ditinjau
dari
sudut pandang riset, maka etnomatematika didefinisikan sebagai
antropologi
budaya (cultural anropology of mathematics) dari matematika dan
pendidikan
matematika. Mengapa etnomatematika menjadi disiplin ilmu dan menjadi
perhatian
luas akhir-akhir ini? Salah satu alasan yang bisa dikemukakan adalah
karena
pengajaran matematika di sekolah memang terlalu bersifat formal.
Hiebert & Capenter (1992)
mengingatkan kepada semua pihak bahwa pengajaran matematika di sekolah dan
matematika yang ditemukan anak dalam kehidupan sehari-hari sangat berbeda. Oleh
sebab itu pembelajaran matematika sangat perlu memberikan muatan/menjembatani
antara matematika dalam dunia sehari-hari yang berbasis pada budaya lokal
dengan matematika sekolah. Gagasan etnomatematika akan dapat memperkaya
pengetauan matematika yang telah ada. Oleh sebab itu, jika perkembangan
etnomatematika telah banyak dikaji maka bukan tidak mungkin matematika
diajarkan secara bersahaja dengan mengambil budaya setempat.
Menurut Bishop (1994b), matematika
merupakan suatu bentuk budaya. Matematika sebagai bentuk budaya, sesungguhnya
telah terintegrasi pada seluruh aspek kehidupan masyarakat dimanapun berada.
Pada hakekatnya matematika merupakan teknologi simbolis yang tumbuh pada
keterampilan atau aktivitas lingkungan yang bersifat budaya. Dengan demikian
matematika seseorang dipengaruhi oleh latar budayanya, karena yang mereka
lakukan berdasarkan apa yang mereka lihat dan rasakan. Budaya akan mempengaruhi
perilaku individu dan mempunyai peran yang besar pada perkembangan pemahaman
individual, termasuk pembelajaran matematika (Bishop, 1991). Pendidikan
matematika sesungguhnya telah menyatu dengan kehidupan masyarakat itu sendiri.
Kenyataan tersebut bertentangan dengan aliran "konvensional" yang
memandang matematika sebagai ilmu pengetahuan yang "bebas budaya" dan
bebas nilai.
Para pakar etnomatematika
berpendapat bahwa pada dasarnya perkembangan matematika sampai kapanpun tidak
terlepas dari budaya dan nilai yang telah ada pada masyarakat. Dalam kegiatan
pembelajaran matematika di sekolah, tujuan guru adalah pembentukan skema baru.
Pembentukan skema baru ini sebaiknya dari skema yang telah ada pada diri siswa.
Oleh sebab itu tepat sekali jika dalam mengajarkan matematika formal
(matematika sekolah), guru sebaiknya memulai dengan matematika yang tidak
formal yang diterapkan oleh anak di masyarakat. Jika pada diri anak terbentuk
skema dengan baik tentang matematika yang dipakai dalam dunia sehari-hari, maka
untuk menambah pengetahuan yang telah ada tersebut guru memperkuat skema yang
telah ada atau membentuk skema baru berdasarkan skema yang telah ada. Sebagai
contoh ketika guru akan menjelaskan dalam pembelajaran tentang pencerminan dan
simetri, guru bisa membawa atau memperlihatkan contoh–contoh artifak, lukisan
tato, dan lukisan lain yang bermotif budaya lokal yang mempunyai nilai
pencerminan. Setelah siswa dikenalkan dengan bentuk–bentuk tadi, baru kemudian
mengenalkan konsep pencerminan dan simetri yang formal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar