Sebelum Islam berkembang di Banten, masyarakat Banten masih hidup dalam
tata cara kehidupan tradisi prasejarah dan dalam abad-abad permulaan
masehi ketika agama Hindu berkembang di Indonesia. Hal ini dapat dilihat
dari peninggalan purbakala dalam bentuk prasasti arca-arca yang
bersifat Hiduistik dan banguan keagamaan lainnya. Sumber naskah kuno
dari masa pra Islam menyebutkan tentang kehidupan masyarakat yang
menganut Hindu. Sekitar permulaan abad ke 16, di daerah pesisir Banten
sudah ada sekelompok masyarakat yang menganut agama Islam. Penyebarannya
dilakukan oleh salah seorang pemimpin Islam yang dikenal sebagai wali
berasal dari Cirebon yakni Sunan Gunung Jati dan kemudian dilanjutkan
oleh putranya Maulana Hasanudidin untuk menyebarkan secara
perlahan-lahan ajaran agama Islam daerah Banten.
Banten adalah salah satu pusat perkembangan Islam, karena Banten
mempunyai peranan penting dalam tumbuh dan berkembangnya Islam,
khususnya di daerah Jakarta dan Jawa Barat. Dikarenakan letak
geografisnya yang sangat strategis sebagai kota pelabuhan. Di Banten
telah berdiri satu kerajaan Islam yang lebih dikenal oleh masyarakat
Banten dan sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten.
Peninggalan sejarah yang amat berharga ini nampaknya akan selalu menarik
untuk diteliti dan dikaji terutama dikalangan sejarawan dan para
ilmuan. Disamping karena pertumbuhan dan perkembangan Islam di Banten
yang menarik, ternyata sejarah Islam di Banten belum banyak diteliti
secara tuntas sehingga masih banyak hal-hal yang penting yang perlu
diteliti dan dipelajari secara lebih mendalam.
Keadaan Banten Pra Islam
Daerah Banten memiliki beberapa data arkeologi dan sejarah dari masa
sebelum Islam masuk ke daerah ini, sumber data arkeologi menujukan bahwa
sebelum Islam masyarakat Banten hidup pada masa tradisi prasejarah dan
tradisi Hindu-Buddha. Tradisi prasejarah ditandai oleh adanya alat-alat
kehidupan sehari-hari dan kepercayaan yang mereka anut, demikian pula
dengan masa kehidupan Hindu dan Buddha ditandai oleh peninggalan Hindu
masa itu berupa prasasti arca Nandi dan benda-benda arkeologi lainnya,
serta naskah-naskah kuno yang mencatat keterangan tentang kehidupan
masyarakat pada masa itu.
Selain itu di Banten terdapat sisa-sisa kebudayaan megalitik tua (4500
SM hingga awal masehi) seperti menhir di lereng gunung Karang di
Padeglang, dolmen dan patung-patung simbolis dari desa Sanghiang Dengdek
di Menes, kubur tempayan di Anyer, kapak batu di Cigeulis, batu
bergores di Ciderasi desa Palanyar Cimanuk, dan lain sebagainya.
(Sukendar;1976:1-6) Penggunaan alat-alat kebutuhan yang dibuat dari
perunggu yang terkenal dengan kebudayaan Dong Son (500-300 SM) juga
mempengaruhi penduduk Banten. Hal ini terlihat dengan ditemukannya kapak
corong terbuat dari perunggu di daerah Pamarayan, Kopo Pandeglang,
Cikupa, Cipari dan Babakan Tanggerang.
Selain bukti arkeologi berupa arca Siwa dan Ganesha ini belum ada lagi
data sejarah yang cukup kuat untuk menunjang keberadaan kerajaan
Salakanagara ini yang lebih jelas, adapun prasasti Munjul yang ditemukan
terletak disungai Cidanghiang, Lebak Munjul Pandegalng adalah prasasti
yang bertuliskan Pallawa dengan bahasa Sangsekerta menyatakan bahwa raja
yang berkuasa di daerah ini adalah Purnawarman, ini berarti bahwa
daerah kekuasaan Tarumanegara sampai juga ke daerah Banten, karena
kerajaan Tarumanegara pada masa itu berada dalam keadaan makmur dan
jaya.
Pada awal abad ke XVI, di Banten yang berkuasa adalah Prabu Pucuk Umun,
dengan pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang sedangkan Banten
Lama hanyalah berfungsi sebagai pelabuhan saja. (Ambary;1982:2) Untuk
menghubungkan antara Banten Girang dengan pelabuhan Banten, dipakai
jalur sungai Cibanten yang pada waktu itu masih dapat dilayari.
(Ayathrohaedi;1979:37) Tapi disamping itu pula masih ada jalan darat
yang dapat dilalui yaitu melalui jalan Kelapa Dua. (Hoesein;1983:124)
Untuk selanjutnya keadaan Banten pada abad ke VII samapi dengan abad ke
XIII, kita tidak mendapatkan keterangan yang menyakinkan, hal ini
disebabkan karena data yang diperoleh para ahli belum lengkap.
Tumbuh dan Berkembangnya Islam Di Banten
Penyebaran Islam di Banten dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, pada
tahun 1525 M dan 1526 M. Seperti di dalam naskah Purwaka Tjaruban Nagari
disebutkan bahwa Syarif Hidayatullah setelah belajar di Pasai mendarat
di Banten untuk meneruskan penyebaran agama Isalam yang sebelumnya telah
dilakukan oleh Sunan Ampel. Pada tahun 1475 M, beliau menikah dengan
adik bupati Banten yang bernama Nhay Kawunganten, dua tahun kemudian
lahirlah anak perempuan pertama yang diberinama Ratu Winahon dan pada
tahun berikutnya lahir pula pangeran Hasanuddin. (Atja;1972:26)
Setelah Pangeran Hasanuddin menginjak dewasa, syarif Hidayatullah pergi
ke Cirebon mengemban tugas sebagai Tumenggung di sana. Adapun tugasnya
dalam penyebaran Islam di Banten diserahkan kepada Pangeran Hasanuddin,
di dalam usaha penyebaran agama Islam Ini Pangeran Hasanuddin
berkeliling dari daerah ke daerah seperti dari G. Pulosari, G. Karang
bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. (Djajadiningrat;1983:34)
Sehingga berangsur-angsur penduduk Banten Utara memeluk agama Islam.
(Roesjan;1954:10)
Karena semakin besar dan maju daerah Banten, maka pada tahun 1552 M,
Kadipaten Banten dirubah menjadi negara bagian Demak dengan Pangeran
Hasanuddin sebagai Sultannya. Atas petunjuk dari Syarif Hidayatullah
pusat pemerintahan Banten dipindahkan dari Banten Girang ke dekat
pelabuhan di Banten Lor yang terletak dipesisir utara yang sekarang
menjadi Keraton Surosowan. (Djajadiningrat;1983:144) Pada tahun 1568 M,
saat itu Kesultanan Demak runtuh dan digantikan oleh Panjang, Barulah
Sultan Hasanuddin memproklamirkan Banten sebagai negara merdeka, lepas
dari pengaruh Demak atau pun Pajang. (Hamka;1976:181) Disamping itu
Banten juga menjadi pusat penyebaran agama Islam, banyak orang-orang
dari luar daerah yang sengaja datang untuk belajar, sehingga tumbuhlah
beberapa perguruan Islam di Banten seperti yang ada di Kasunyatan.
Ditempat ini berdiri masjid Kasunyatan yang umurnya lebih tua dari
masjid Agung Banten. (Ismail;1983:35) Disinilah tempat tinggal dan
mengajarnya Kiayi Dukuh yang bergelar Pangeran Kasunyatan guru dari
Pangeran Yusuf. (Djajadiningrat;1983:163)
Kerajaan Islam di Banten Saat itu lebih dikenal oleh masyarakat Banten
dan sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten. Kesultanan Banten telah
mencapai masa kejayaannya dimasa lalu dan telah berhasil merubah wajah
sebagian besar masyarakat Banten. Pengaruh yang besar diberikan oleh
Islam melalui kesultanan dan para ulama serta mubaligh Islam di Banten
seperti tidak dapat disangsikan lagi dan penyebarannya melalui jalur
politik, pendidikan, kebudayaan dan ekonomi di masa itu.
Setelah kesultanan Banten berakhir maka sekarang tingglallah peninggalan
sejarah berupa bekas istana kerajaan dan beberapa bangunan lain
seperti; Keraton Surosowan, Keraton Kaibon, Mesjid Agung dan Menara
Banten, Mesjid Pacinan Tinggi, Masjid Kasunyatan, Masjid Caringin,
Gedung Timayah, makam-makam sultan Banten dan banyak lagi yang lainnya.
Bangunan – bangunan itu tidak terlepas dari pengaruh religius (Hinduisme
dan Islam), serta terjadinya akulturasi negara-negara lain seperti;
Belanda, Cina, dan Gujarat.
Sejarah kebudayaan Cina Tertua di Banten
Sejarah bisa diungkapkan lewat peninggalan-peninggalan masyarakat
terdahulu dari segala segi aktivitas dan kreativitas, seperti dilihat
dari bentuk – bentuk bangunan, prabotan rumah tangga, persejataan dan
karya seni yang menjadi tolak ukur dari nilai-nilai budaya masysarakat
pada masa itu. Seperti halnya di Banten banyak terdapat benda-benda
bersejarah yang memiliki nilai historis yang dapat menyiratkan suatu
riwayat tertentu, baik kejayaan maupun kesuraman suatu masa dalam
sejarah.
Di Banten ada sebuah peninggalan kuno bangsa Cina yaitu klenteng yang
saat ini merupakan Vihara Budha. Selain orang keturunan Cina yang sering
berkunjung kesini banyak pula para turis macanegara dan lokal
mengunjungi klenteng ini, karena mereka ingin melihat klenteng Cina yang
dibangun pada masa sultan Banten dan konon klenteng tertua di
Indonesia. Dari beberapa petugas serta pengawas klenteng itu, diperoleh
keterangan serupa bahwa Kleteng ini tertua di Jawa, juga di Indonesia .
Dahulu kampung Pabean memang banyak dihuni oleh orang-orang Cina daerah
pelabuhan itu sangat ramai tetapi jauh dari tempat sembahyangnya orang
Cina oleh karena itu kerajaan Banten memberikan bangunan kepada
orang-orang Cina di Pabean sebuah bangunan besar bekas kantor bea
(douane) pada masa VOC di pelabuhan Banten. Bangunan bekas kantor douane
itu kemudian di rubah menjadi klenteng dengan nama Bio Hud Couw.
Keterangan ini hampir sama dengan yang dipaparkan oleh She Cang bahwa
klenteng yang dijaganya sejak tahun 1963 samapi sekarang, semula rumah
biasa milik seorang Kapten VOC yang diserahkan untuk dijadikan tempat
sembahyang orang Cina, dan pada saat itu orang Cina di Banten lebih dari
1300 kepala keluarga.
Kemudian dalam proses selanjutnya bangunan klenteng itu mengalami
perluasan beberapa puluh meter di areal kosong bagian kiri kanan banguan
juga bagian depan maupun belakang bangunan tersebut, sedangkan di ruang
lainnya yang melengkapi beberapa tempat penampungan para jemaah
klenteng. pembangunan yang terus dilakukan secara bertahap di sekitar
klenteng memang tidak merubah keaslian klenteng itu sendiri apa lagi
yang terletak dibagian tengah klenteng karena diguankan sebagai altar.
Meskipun klenteng ini sudah berusia 500 tahun, kesan tua dan membosankan
untuk di pandang memenag tidak terpancar sama sekali di banguanan ini,
hal ini lebih banyak disebabkan selain karena perluasan bangunan di
sekitar bangunan asli klenteng juga beberapa pengaruh warna cet merah
dengan kombinasi warna kuning yang menyala. Cat yang banyak melekat
didinding tiang serta kusen lainya memeang sering diperbaharui. Agar
warna cat tidak mudar dan tetap indah dipandang para pengunjung.
Lokasi klenteng Cina ini terletak di sebelah barat bangunan Benteng
Speelwijk (Benteng yang dibuat Belanda), berjarak puluhan meter saja
karena dipisahkan oleh sebuah parit. Klenteng ini di bangun pada masa
awal Kerajaan Banten, waktu itu Banten dikenal sebagai pelabuhan
rempah-rempah. Bangunan klenteng ini memiliki ciri khas tersendiri sama
seperti bangunan-bangunan bersejarah di Banten pada umumnya, tetapi
bangunan klenteng amat terpelihara dengan baik dan masih berfungsi
sebagai tempat peribadatan para pemeluk agama Budha hingga kini bahkan
dalam perkembangannya di sekitar klenteng ini sekarang cukup banyak
berdiri penginapan yang khusus di bangun untuk menampung para pengunjung
klenteng dari luar kota yang ingin bermalam.
Kita tengok sejarah hubungan antara kesultanaan Banten dengan bangsa
Cina pada masa itu, dilihat dari catatan arkeologi pada setiap tahun
banyak perahu Cina yang berlabuh di Banten, mereka datang untuk
berdagang dan melakukan perdagangan dengan cara barter/menukar dengan
lada sebagai bahan utamanya, pada tahun 1614 di Banten ada 4 buah perahu
Cina yang rata-rata berukuran 300 ton. Sedangkan menurut catatan J. P.
Coen perahu Cina membawa barang dagangan bernilai 300.000 real dengan
menggunakan 6 buah perahu. Selain sebagai pedagang orang-orang Cina
datang ke Banten sebagai imigran (Clive Day, 1958:69). Intensitas
kehadiran para pedagang Cina cukup meramaikan dalam perdagangan di
Banten diiringi pula dengan kehadiran imigran yang berfekwensi cukup
tinggi.
Mata uang Cina yang ditemukan de Houtman di Banten (Rouffer, 1915:122)
sebagai tanda peran serta bangsa Cina pada perdagangan di Banten tidak
bisa diangap ringan. Penemuan mata uang Cina ini oleh tim arkeologi di
Keraton Surosowan terdapat tulisan Yung Cheng T’ung Pou = Coinage of
Stable Peace yang berarti pembuatan mata uang untuk kesetabilan dan
perdamaian, sedangkan pada koin sebaliknya diketahui huruf Manchu yang
artinya tidak diketahui. Mata uang Cina tersebut berbentuk bulat
berlubang segi empat, diameter 2.25-2.80 cm, tebal 0.10-0.18 cm, dan
diameter lubang 0.45-0.60 cm. (Halwany, 1993:36)
Ujung Kulon Dalam Lintasan Sejarah
Mengamati berbagai sumber sejarah di nusantara sangatlah banyak, ini
akan menimbulkan kecintaan kita terhadap budaya nusantara yang beragam
dan bercorak yang sangat menawan. Setelah peninjauan dilokasi-lokasi
sejarah bayak kita temui analogi-analogi terhadap daratan lain yang
secara fisiografis memperlihatkan sejumlah persamaan ciri di daerah lain
nusantara dengan ujung Kulon di Banten, serta hasil survai dan
ekskavasi, maka dapatlah dilakukan penyusunan suatu model hipotesis
untuk merekonstruksi kehidupan budaya yang pernah berlangsung di Ujung
Kulon Panaitan baik pada masa pra-sejarah, zaman hindu-budha, Islam dan
terakhir zaman Kolonial, kesemuanya telah ditinggalkan manusia sebagai
pelaku kehidupan dan terakhir dimusnahkan oleh letusan gunung Rakata
(krakatau) tahun 1883 M (Michrob 1987).
Data arkeologi dan sumber sejarah yang dapat diamati di Ujung Kulon
Panaitan, setidaknya memperlihatkan bahwa sekitar daratan selat Sunda
ini pernah meniadi salah satu sub-sistem pemukiman dan tempat pemujaan.
Ujung Kulan Panaitan memperlihatkan pada kita beberapa artefak dan
sisa-sisa bangunan. Seperti lukisan dinding guha di Sangiang Sirah,
Patung Siwa dan Ganesha di Panaitan, batu lingga di Handeuleum, kubur
islam di dalam guha sanghiang sirah, pemukiman kuna di Taman Jaya dan
Sumur, dan beberapa sisa bangunan Kolonial di Tanjung Layar. Secara
kronologis dan hipotetis bahwa dari sisa-sisa situs dan artefak tersebut
mencerminkan hamparan sisa-sisa perilaku kehidupan dan budaya manusia
yang ada sepanjang sejarah dari kurun ke kurun sejarah berikutnya.
Sub sistem pemukiman merupakan bentang ruang hidup manusia yang mana
pada bentang ruang tersebut, manusia menyelenggarakan segala upaya
kulturalnya untuk memenuhi kebutuhan hidup secara maksimal, baik yang
bersifat material maupun spiritual. (Michrob, 1991:31) Pemilihan dan
penentuan lokalitas pemukiman biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor,
misalnya jarak terhadap pusat persediaan sumber daya alam atau kita
sebut sumber makanan dan air minum, menurut K.C. chang pemukiman manusia
cenderung mengelopok, sebagai upaya untuk menekan biaya-baya
operasional sampai pada tingkat paling minimal (1967:229-230).
Sementara itu lewis R Binford menyatakan bahwa pola-pola pengelompokan
pemukiman manusia seperti yang terlihat setiap pola yang ada pada situs
arkeologis, muncul tumbuh dan berkembang sebagai hasil interaksi antara
ekonomi terhadap tempat khusus dan taktik-taktik mobilitas barang, maka
Soebroto menekankan pula bahwa tipe-tipe situs arkeologis memberikan
gambaran adanya hubungan erat antara pemilihan lokasi situs dengan
strategi manusia masa lalu dalam memenuhi kebutuhannya.(1985 :
11-25-1122).
Melihat rekonstuksi sejarah Tanjung Layar pada akhir abad ke 18,
sangatlah memperhatinkan masa kita lihat mada masa V.O.C. dimana masa
itu menghadapi kemunduran dalam perdagangannya karena situasi moneter
dunia dan masalah di dalam tubuh VOC sendiri yang kurang sehat, keadaan
ini menyebabkan hutang bertumpuk. Penyebab terpenting dalam terjadinya
masalah ini antara lain :
- Persaingan dagang yang semakin ketat dari bangsa Perancis, Inggris dan miskinnya penduduk Nusantara, terutama Pulau Jawa karena sistim monopoli yang tak sehat, sehingga mereka tidak mampu membeli barang dagangan yang dibawa VOC.
- Monopoli rernpah-rempah VOC yang sering dilanggar oleh penduduk pribumi, disamping Inggris sudah berhasil menanamnya di India sehingga pasaran rempah-rempah menurun. Banyaknya pegawai VOC yang melakukan korupsi. Banyaknya biaya yang harus dikeluarkan VOC terutama untuk membayar tentara dan pegawainya yang sangat besar. Demikian juga untuk menguasai daerah-daerah yang baru dikuasai terutama di Jawa dan Madura.(Michrob, Halwany & Mujahid,1990:21).
Karena sebab-sebab itulah akhirnya pada tahun 1799, VOC dibubarkan.
Semua kekayaan dan utang-piutangnya ditangani pemerintah Kerajaan
Belanda. Sejak itulah kepulauan Nusantara di jajah Belanda (Soetjipto,
1961:56). Pada tahun 1789 meletus suatu revolusi besar Revolusi Perancis
yang menggoncangkan Eropa dibawah pimpinan Kaisar Napoleon Bonaparte.
Sebagian besar Eropa dikuasai Perancis kecuali Inggris. Belanda dapat
dikuasai pada tahun 1807. Louis I Capoleon adiknya Kaisar Napoleon yang
diberi kuasa di Belanda mengangkat Daendels sebagai Gubernur Jenderal di
kepulauan Nusantara, ia datang di Batavia pada tahun 1808 dengan tugas
pertama mempertahankan Pulau Jawa dari serangan tentara Inggris di
India.
Untuk menjalankan tugas ini Daendels membangun sarana dan prasarana
pertahanan seperti : jalan-jalan pos, personil, barak, benteng,
pelabuhan tentara, rumah sakit tentara dan pabrik mesiu. Semua itu harus
segera diselesaikan dengan dana serendah mungkin, karena memang dana
dari negeri Belanda tidak bisa diharapkan. Untuk itulah dilakukan kerja
paksa (kerja rodi) yaitu para pekerja bekerja tanpa upah.
Pekerjaan pertama Deandles adalah membuat pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon. Untuk itu Daendels memerintahkan kepada Sultan Banten. untuk mnengirimkan pekerja rodi sebanyak-banyaknya agar pekerjaan yang direncanakannya cepat telaksana. Akan tetapi karena derahnya berawa-rawa, banyak pekerja yang mati terkena penyakit malaria. Sehingga banyak diantara mereka yang melarikan diri. Keadaan ini membuat Daendels marah dan menuduh Mangkubumi Wargadiraja sebagai biang keladi larinya pekerja-pekerja itu. Melalui utusan sultan yang datang ke Batavia, Daendels memerintahkan supaya :
a. Sultan harus mengirimkan 1000 orang rakyatnya setiap hari untuk dipekeriakan di Ujung Kulon.
b. Sultan harus segera menyerahkan patih Mangkubumi Wargadiraja ke Batavia.
c. Sultan supaya segera memindahkan keratonnya ke daerah Anyer, karena di Surosowan akan dibangun benteng Belanda.
Sudah tentu tuntutan ini ditolak mentah-mentah oleh Sultan. Karena
permintaannya ditolak maka dengan segera dan secara sembunyi-sembunyi
dikirimlah pasukan dalam jumlah yang besar yang dipimpin langsung oleh
Gubenur Jendral Daendels sendiri ke Banten. Dua hari kemudian pasukan
ini sampai di perbatasan kota. Sebagai pringatan pertama-tama dikirimlah
utusan Komandeur Philip Pieter oleh pihak kolonial Belanda ke istana
Surosowan (Banten) untuk menanyakan kembali kesanggupan Sultan. Namun
karena kebencian rakyat yang sudah demikian memuncak kepada Belanda,
maka utusan belanda tersebut dibunuh di depan pintu gerbang kraton
(Michrob, 1990). Tindakan ini dibalas Daendels dengan diserangnya
Surosowan pada hari ltu juga yakni tanggal 21 Nopember 1808. (Chis,
1881).
Serangan yang tiba-tiba ini sangat mengejutkan dan memang diluar dugaan,
sehingga sultan tidak sempat lagi menyiapkan pasukannya.
prajurit-prajurit Sultan dengan keberanian yang mengagumkan berusaha
mempertahankan setiap jengkal tanah airnya. Tapi akhirnya Daendels dapat
meluluh lantahkan tanah Surosowan hingga menjadi puing-puing
berserakan. Surosowan dapat direbutnya menjadi kekuasaannya. Sultan
ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Sedangkan patih Mangkubumi dihukum
pancung dan mayatnya dilemparkan ke Laut. Selanjutnya Banten dan Lampung
dinyatakan sebagai daerah jajahan Belanda. Tangerang, Jasinga dan
Sadang dimasukan ke dalam teritorial Batavia.
Setelah Istana Surosowan hacur lebur maka diangkatlah Putra Mahkota
dengan gelar Sultan Wakil Pangeran Suramanggala, walaupun masih bergelar
sultan, namun kekuasaannya tidak dapat melebihi kekuasaan sultan pada
biasanya karena ia tidak lebih dari seorang pegawal Belanda. Sultan
tidak mempunyai kuasa apa-apa ia hanya mendapatkan gaji 15.000 real
setiap tahun dari pemerintah Belanda. (Sanusi Pane, 1950 b:II).
Pengerjaan pembuatan Pangkalan Angkatan Laut dihentikan karena banyak
pekerja yang mati dan sakit disebabkan daerah proyek Pangkalan tersebut
berupa rawa-rawa, maka pekerjaan pembuatan Pangkalan di Ujung Kulon
dipindahkan ke daeah Anyer. Dalam proses pembuatan pangkalan tersebut
Deandles melakukan tindakan-tindakan yang keras sehingga menambah
kebencian rakyat Banten kepada pemerintahaan Belanda.
Kesimpangsiuran informasi itu menurut Halwany Michrob, wajar-wajar saja
sebab pembautan jalan Deandels saat itu melaukannya dalam dua tahapan,
tahap pertama merupakan pembuatan jalan untuk membuka poros Batavia –
Banten pada tahun 1808, pada masa itu Daendels memfokuskan kegiatannya
pada pembangunan dua pelabuhan di utara (Merak) dan di selatan (Ujung
Kulon). Jalur ini melalui garis pantai dari Batavia menuju Carita,
Caringin, menembus Gunung Palasari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak
hingga Jasinga (Bogor). Tahap kedua dimulai tahun 1809, Dari Anyer
Melalui Pandeglang jalan bercabang dua menuju Serang (utara) dan Lebak
(selatan).
Dari Serang, rute selanjutnya Ke Tangerang, Jakarta, Bogor, Puncak,
Cianjur, Bandung, Sumedang, Cirebon hingga Panarukan, sepanjang pantai
utara Pulau Jawa. Jalan inilah jalan yang di sebut jalan utama atau
jalan protokol, tetapi itu tidak berarti bahwa tidak ada cabang-cabang
jalan lainnya yang dilewati oleh Daendels.
Karena banyak masyarakat yang membenci Pemerintahan Belanda maka
timbullah perompak-perompak kapal Belanda di sekitar selat Sunda di
daerah laut sedangan di daratan timbul pula para pencuri yang digerakkan
oleh Alim Ulama setempat yang tidak senang dengan sepak terjang
pemerintahaan Belanda. Seperti kejadian di Cibungur dan di pantai Teluk
Marica, terjadi serangan Belanda ke daerah ini tapi tidak berhasil,
akhirnya Belanda melakukan serangan lagi yang dipimpin langsung oleh
Daendels sendiri dan hasilnya tidak mengecewakannya, Belanda dapat
menguasai Cibungur dan di pantai Teluk Marica (Pane sanusi 1950 b:11),
Daendelas mencurigai Sultan Banten sebagai dalang kerusuhan-kerusuhan
yang sering terjadi.
Akhirnya Daendles bersama pasukannya datang ke Banten untuk menankap dan
memenjarakan Sultan Banten di Batavia, dan sebagian orang-orang Banten
yang tertangkap di laut selat Sunda ataupun didaratan dipenjarakan di
Ujung Kulon. Benteng dan istana Surosowan Banten dibakar dan dibumi
hanguskan pada tahun 1909 (Rusjan 195). Untuk melemahkan perlawanan
rakyat Banten, Belanda membagi daerah Banten dalam tiga wilayah yang
statusnya sama dengan Kabupaten seperti; Banten Hulu, Banten Hilir, dan
Anyer, Ke tiga wllayah tersebut di bawah pengawasan Landros (semacam
Residen) yang berkedudukan di Serang. Untuk wilayah Banten Hulu diangkat
Sultan Muhammad Syafiuddin, putra Sultan Muhyiddin Zainul Solihkin yang
berkedudukan di Caringin, Labuan (Pane, Sanusi 1950:14 dan
Ismail,1981:27) pada tahun 1809 itu pulalah mulai dikerjakan pembuatan
jalan Pos dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1000 km. Jalan ini
dikerjakan hanya dalam tempo waktu satu tahun dengan mengorbankan
beribu-ribu rakyat Banten, begitu pun pembuatan proyek pelabuah maritim
di Uiung Kulon (Tanjung Layar) yang banyak mengorbankan jiwa manusia
karena disana masih banyak binatang buas.
Pembangunan jalan Daendels dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa
Timur) sejauh 1000 km pada tahun 1809 – 1810 yang bertujuan untuk
mempercepat tibanya surat-surat yang dikirim antar Anyer hingga
Panarukan atau sebagai jalan pos, namun jalan-jalan itu dalam
perkembangan selanjutnya banyak dipengaruhi kehidupan masyarakat
disekitarnya dan telah berubah fungsinya antara lain mejadi jalan
ekonomi atau jalan umum dan kini sudah banyak bangunan disekitarnya.
Pada tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute
Batavia-Banten tahap pertama, pada saat itu rakyat masih mau menghimpun
kekuatan untuk melaksanakan perintah paksa Daendles, namun setelah
terjangitnya penyakit malaria dan banyak yang tewas, maka rakyat
menghentikan bantuannya. Karena banyaknya korban pada pembuatan jalan
Batavia-Banten masih simpang siur, menurut beberapa sejarahwan
Indonesia, yang meninggal sekitar 15.000 orang dan banyak yang meningal
tampa dikuburkan secara layak. Walaupun demikian Daendels semakin keras
menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya
menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan
jalan apapun alasannya.
Banten Girang Gerbang Kerajaan Banten
Nuansa Islam dalam budaya Banten nampaknya cukup kuat hingga saat ini.
Terbukti dengan hadirnya para ulama, pesantren dan qari-qariah, yang
tersebar di seluruh pelosok Banten.Budaya Banten bisa diidentifikasi
dengan menelusuri, baik produk-produk kesusasteraan seperti
naskah-naskah, babad, atau buku-buku keagamaan, berbagai cerita rakyat
(folklore) yang masih hidup dalam ingatan masyarakat, yang dituturkan
oleh kelompok sub etnik Banten, maupun warisan budaya material dalam
pengertian yang luas. Kategori yang disebut terakhir ini terlihat pada
karya-karya arsitektur, teknologi, kesenian dan sebagainya.
Banten sebenarnya merupakan toponim yang memiliki aspek ruang, dan
secara geografis masih sering dikaitkan dengan bekas Karisidenan Banten,
meliputi Kabupaten Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang dan Kotamadya
Tangerang. Selain itu, toponim Banten juga memiliki kaitan dengan Banten
Girang, Banten Lama dan Banten Hilir. Berdasarkan naskah-naskah yang
ada, diduga kuat bahwa toponim Banten Baru muncul pada akhir abad ke-15
M. Hal ini berdasarkan fakta bahwa toponim Banten tidak dicantumkan
dalam naskah yang lebih tua, seperti Babad Nagarakartagama (1345 M).
Bahkan, dalam naskah Pujangga Manik (Pajajaran), yang berasal dari awal
abad ke-16, nama toponim Banten belum dimuat.
Kajian Suwedi Montana, misalnya, menunjukkan bahwa nama Banten, atau
yang dapat ditafsirkan sebagai Banten, tampak dari sejumlah
historiografi lokal, seperti Cina Parahyangan yang menyebut istilah
"Wahanten Girang", prasasti Kaban-tenan menyebut nama "Bantam", dan
Purwaka Caruban Nagari yang memuat istilah "Kawungaten". Selain itu,
catatan Tome Pires (1512-1515) menyebut "Bantam" sebagai salah satu
pelabuhan penting Kerajaan Sunda, di samping "Pongdam" (Pontang),
"Cheguide" (Cigading), "Tamgaram" (Tangerang), "Calapa" (Sunda Kelapa)
dan "Chemano" (Cimanuk). Pada abad 16-18 Banten kemudian berkembang
menjadi label wilayah politik dan nama Kesultanan yang bercorak Islam.
Dilihat dari segi demografi, Banten menunjukkan adanya dua kelompok
etnisitas, yaitu: (1) sub etnik Banten Pesisiran yang membentang
sepanjang pesisir utara Jawa Barat, mulai dari daerah Tangerang di
sebelah utara, yang berbatasan dengan sub etnik Betawi, sampai
Anyer-Cilegon di sebelah selatan barat; (2) sub etnik Banten-Sunda yang
wilayah huniannya mulai dari Serang Selatan (Banten Girang) sampai ke
pedalaman selatan berbatasan dengan Samudera India.
Tidak banyak yang diketahui mengenai sejarah dari bagian terbarat pulau
Jawa ini, terutama pada masa sebelum masuknya Islam. Keberadaanya
sedikit dihubungkan dengan masa kejayaan maritim Kerajaan Sriwijaya,
yang menguasai Selat Sunda, yang menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera.
Dan juga dikaitkan dengan keberadaan Kerajaan Sunda Pajajaran, yang
berdiri pada abad ke 14 dengan ibukotanya Pakuan yang berlokasi di dekat
kota Bogor sekarang ini. Berdasarkan catatan, Kerajaan ini mempunyai
dua pelabuhan utama, Pelabuhan Kalapa, yang sekarang dikenal sebagai
Jakarta, dan Pelabuhan Banten.
Dari beberapa data mengenai Banten yang tersisa, dapat diketahui, lokasi
awal dari Banten tidak berada di pesisir pantai, melainkan sekitar 10
Kilometer masuk ke daratan, di tepi sungai Cibanten, di bagian selatan
dari Kota Serang sekarang ini. Wilayah ini dikenal dengan nama “Banten
Girang” atau Banten di atas sungai, nama ini diberikan berdasarkan
posisi geografisnya. Kemungkinan besar, kurangnya dokumentasi mengenai
Banten, dikarenakan posisi Banten sebagai pelabuhan yang penting dan
strategis di Nusantara, baru berlangsung setelah masuknya Dinasti Islam
di permulaan abad ke 16.
Penelitian yang dilakukan di lokasi Banten Girang di tahun 1988 pada
program Ekskavasi Franco – Indonesia, berhasil menemukan titik terang
akan sejarah Banten. Walaupun dengan keterbatasan penelitian, namun
banyak bukti baru yang ditemukan. Sekaligus dapat dipastikan bahwa
keberadaan Banten ternyata jauh lebih awal dari perkiraan semula dengan
ditemukannya bukti baru bahwa Banten sudah ada di awal abad ke 11 – 12
Masehi. Banten pada masa itu sudah merupakan kawasan pemukiman yang
penting yang ditandai dengan telah dikelilingi oleh benteng pertahanan
dan didukung oleh berbagai pengrajin mulai dari pembuat kain, keramik,
pengrajin besi, tembaga, perhiasan emas dan manik manik kaca. Mata uang
logam (koin) sudah digunakan sebagai alat pembayaran, dan hubungan
internasional sudah terjalin dengan China, Semenanjung Indochina, dan
beberapa kawasan di India.
Secara nyata, tidak ada keputusan final yang dapat diambil sebelum penelitian dilakukan lebih lanjut, tapi dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten sudah berlangsung sangat lama dan teori bahwa keberadaannya dimulai pada saat terbentuknya Kerajaan Islam di Banten, tidak lagi dapat dipertahankan. Bangsa Portugis telah mendokumentasikan keberadaan Banten dan sekitarnya pada awal abad ke 16, kurang lebih 15 tahun sebelum Kerajaan Islam Banten terbentuk.
Setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, bangsa Portugis memulai
perdagangan dengan bangsa Sunda. Ketertarikan utama mereka adalah pada
Lada yang banyak terdapat di kedua sisi Selat Sunda. Bangsa Cina juga
sangat berminat pada jenis rempah rempah ini, dan kapal Jung mereka
telah berlayar ke pelabuhan Sunda setiap tahunnya untuk membeli lada.
Walaupun Kerajaan Pajajaran masih berdiri, namun kekuasaannya mulai
menyusut. Kelemahan ini tidak luput dari perhatian Kerajaan Islam Demak.
Beberapa dekade sebelumnya Kerajaan Demak telah menguasai bagian timur
pulau Jawa dan pada saat itu bermaksud untuk juga menguasai pelabuhan
Sunda. Masyarakat Sunda, memandang serius ekspansi Islam, melihat makin
berkembangnya komunitas ulama dan pedagang Islam yang semakin memiliki
peranan penting di kota pelabuhan “Hindu”.
Menghadapi ancaman ini, Otoritas Banten, baik atas inisiatifnya sendiri
maupun atas seizin Pakuan, memohon kepada bangsa Portugis di Malaka,
yang telah berulangkali datang berniaga ke Banten. Di mata otoritas
Banten, bangsa Portugis menawarkan perlindungan ganda; bangsa Portugis
sangat anti Islam, dan armada lautnya sangat kuat dan menguasai perairan
di sekitar Banten. Banten, di sisi lain, dapat menawarkan komoditas
lada bagi Portugis. Negosiasi ini di mulai tahun 1521 Masehi.
Tahun 1522 Masehi, Portugis di Malaka, yang sadar akan pentingnya urusan
ini, mengirim utusan ke Banten, yang dipimpin oleh Henrique Leme.
Perjanjian dibuat antara kedua belah pihak, sebagai ganti dari
perlindungan yang diberikan, Portugis akan diberikan akses tak terbatas
untuk persediaan lada, dan diperkenankan untuk membangun benteng di
pesisir dekat Tangerang. Kemurah hatian yang sangat tinggi ini menggaris
bawahi tingginya tingkat kesulitan yang dihadapi Banten. Pemilihan
pembuatan benteng di daerah Tangerang tidak diragukan lagi untuk dua
alasan : yang pertama, agar Portugis dapat menahan kapal yang berlayar
dari Demak, dan yang kedua untuk menahan agar armada Portugis yang
sangat kuat pada saat itu, tidak terlalu dekat dengan kota Banten.
Aplikasi dari perjanjian ini adalah adanya kesepakatan kekuasaan yang
tak terbatas bagi Portugis. Lima tahun yang panjang berlalu, sebelum
akhirnya armada Portugis tiba di pesisir Banten, di bawah pimpinan
Francisco de Sá, yang bertanggungjawab akan pembangunan benteng.
Sementara itu, situasi politik telah sangat berubah dan sehingga armada
Portugis gagal untuk merapat ke daratan. Seorang ulama yang sekarang
dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, penduduk asli Pasai, bagian utara
Sumatera setelah tinggal beberapa lama di Mekah dan Demak, pada saat
itu telah menetap di Banten Girang, dengan tujuan utama untuk
menyebarkan ajaran agama Islam. Walaupun pada awalnya kedatangannya
diterima dengan baik oleh pihak otoriti, akan tetapi Ia tetap meminta
Demak mengirimkan pasukan untuk menguasai Banten ketika Ia menilai
waktunya tepat. Dan adalah puteranya, Hasanudin, yang memimpin operasi
militer di Banten. Islam mengambil alih kekuasaan pada tahun 1527 M
bertepatan dengan datangnya armada Portugis. Sadar akan adanya
perjanjian antara Portugis dengan penguasa sebelumnya, Islam mencegah
siapapun untuk merapat ke Banten. Kelihatannya Kaum Muslim menguasai
secara serempak kedua pelabuhan utama Sunda, yaitu Kalapa dan Banten,
penguasaan yang tidak lagi dapat ditolak oleh Pakuan.
Sebagaimana telah sebelumnya dilakukan di Jawa Tengah, Kaum Muslim,
sekarang merupakan kelas sosial baru, yang memegang kekuasaan politik di
Banten, dimana sebelumnya juga telah memegang kekuasaan ekonomi. Putera
Sunan Gunung Jati, Hasanudin dinobatkan sebagai Sultan Banten oleh
Sultan Demak, yang juga menikahkan adiknya dengan Hasanudin. Dengan itu,
sebuah dinasti baru telah terbentuk pada saat yang sama kerajaan yang
baru didirikan. Dan Banten dipilih sebagai ibukota
Kerajaan baru tersebut.
Masyarakat dan budaya Banten, terutama dengan alam dan budaya Islamnya,
mungkin hanya dapat dikenali dengan merunut kembali peristiwa sejarah
transformasi pusat administrative politik dari Banten Girang di
pedalaman - yang berada di bawah subordinasi Pakuan Pajajaran yang
Hinduistik ke daerah pantai yang sekarang dikenal dengan Banten Lama.
Peristiwa transformasi tersebut berlangsung pada tahun 1526 oleh Syarif
Hidayatullah dan Maulana Hasanuddin. Sejak itu embrio dan fondasi
masyarakat dan budaya Banten diletakkan dan ditetapkan dalam format yang
berciri keislaman. Prof. Dr. Hasan Muarif Ambari, Kepala Pusat
Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas, Depdikbud Rl) yang juga staf
peneliti pada Pusat Pengkaian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta ini, dalam bukunya "Menemukan
Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia" (penerbit
Logos) memperlihatkan fase-fase pertumbuhan perkembangan budaya Banten
dalam panggung sejarah, dirunut dalam fase-fase berikut:
(1). Fase Pra-Sunda Islam (1400-1525). Pada masa itu Banten merupakan
daerah bawahan kerajaan Pakuan Pajajaran yang Hinduistis, yang berpusat
di Banten Girang (Kota Serang sekarang).
(2). Fase awal Penyebaran Islam (1525-1619), suatu fase di mana Islam
disiarkan oleh Sunan Gunung Jati dari Cirebon dan Maulana Hasanuddin
yang beraliansi dengan Demak. Pada masa ini terjadi transformasi
keagamaan, perpindahan pusat pemerintahan dan mulai berkembangnya Banten
sebagai pelabuhan - alternatif setelah Malaka.
Pendirian kota Banten Sorasowan, dengan komponen-komponen arsitektur dan monumental berciri Islam, telah menyebabkan pertumbuhan dan ramainya perdagangan. Para pedagang Inggris, Denmark, Portugis, dan Turki datang melakukan transaksi perdagangan di Bandar Banten. Sebelumnya, Banten telah berhubungan dengan Cina, sehingga etnis terakhir ini telah membentuk satu komunitas tersendiri yang memberi sumbangan besar bagi perkembangan perdagangan di Banten.
(3). Fase Keseimbangan Kekuatan, yakni satu fase tanpa adidaya di mana
seluruh kekuatan politik dan ekonomi yang ada di Banten memiliki
kekuatan yang seimbang (armada dagang Eropa, Ke-sultanan Banten,
Cirebon, Batavia dan Mataram). Keseimbangan kekuatan ini di antaranya
bisa dilihat dari beberapa peristiwa politik yang berlangsung saat itu,
yang tidak memperlihatkan adanya do-minasi satu kekuatan politik
tertentu terhadap kekuatan politik lain: yakni penyerangan Banten ke
Batavia, blokade Belanda atas Teluk Banten, tumbuh dan kuatnya kekuasaan
Sultan Ageng Tirta-yasa, dan pilihnya tingkat kemakmuran masyarakat
Banten. Pada fase inilah, Banten mencapai puncak ketinggian budaya
(tamaddun Islam).
(4). Fase Penguasaan (VOC) Belanda, pendirian Benteng Speelwik yang
langsung atau tidak langsung memperlihatkan wujud hubungan antara Banten
dan VOC, masih berkembangnya "kota" Surosowan dan lain-lain.
(5). Fase Surut dan Jatuhnya Kesultanan Banten. Hindia Belanda terkena
imbas perang Napoleonik/Rep. Batavia, interval penguasaan Inggris
(1811-1816), pemindahan administrasi politik ke Serang Surosowan
dihancurkan, didirikannya Keraton Kaibon dan dipecahnya bekas wilayah
Kesultanan Banten menjadi tiga daerah setara Kabupaten (Banten Hulu,
Banten Hilir, dan Anyer) di bawah pengawasan landraad (setara residen),
pada tahun 1809 pembuatan jalan raya Daendells.
(6). Fase Mutakhir. Setelah Kesultanan Banten dihapuskan oleh Belanda
timbul berbagai pergolakan, pemberontakan dan perlawanan rakyat dipimpin
oleh para ulama/bangsawan, bencana alam (meletusnya Krakatau dan wabah
penyakit sampar), pendudukan Jepang, perang kemerdekaan, dan sampai
sekarang memasuki masa pembangunan.
Di balik semua kilas balik sejarah ini, hal yang tetap hidup dan terus
mengakar pada masyarakat Banten adalah kultur Islam. Pesantren terus
menerus menghasilkan kader dan para ulama tetap berdakwah. Rakyat mulai
mengarahkan orientasi kepemimpinan dari raja/sultan kepada para
ulama/mubaligh/kiyai. Dalam situasi seperti ini, yang bermula sejak
pertumbuhan Islam di Banten, budaya pesisiran dan budaya pedalaman di
daerah selatan Banten (kecuali daerah Baduy) terus menerus memantapkan
keislamannya. Oleh karena itu, dari segi budaya Banten dapat disetarakan
dengan masyarakat kota seperti Mataram dan Cirebon.
Jawara dalam kehidupan masyarakat Banten
Di sebagian masyarakat Jawa bagian Barat umumnya dan Banten khususnya,
keberadaan jawara memiliki rentetan sejarah yang sangat panjang. Jawara
bukanlah sosok penamaan yang baru muncul kemarin sore, keberadaannya
ditenggarai telah ada sejak zaman kerajaan Sunda berdiri yang hingga
kini masih tetap eksis, bahkan di Banten sendiri sejak abad ke 19
kelompok jawara telah menjadi bagian dari golongan elit masyarakat
selain kaum ulama dan pamong praja.
Bagi masyarakat Banten dan sekitarnya, ulama dipandang sebagai tokoh
masyarakat yang menjadi sumber kepemimpinan informal terpenting.
Masyarakat mematuhi perintah ulama karena memandang kaum ulama sebagai
sosok yang disegani. Berbeda dengan kedudukan ulama, pamong praja dan
jawara merupakan kelompok sosial yang kedudukannya tidaklah melebihi
kedudukan kaum ulama. Namun diantara ketiganya, ulama dan jawara menjadi
golongan yang khas di daerah ini. Keduanya diibaratkan bagai dua sisi
mata uang, bahkan karena kedekatan emosional diantara keduanya, jawara
dianggap sebagai “khodam” nya para ulama. Karena dari para ulamalah
sebagian besar “keilmuan” jawara itu berasal. Oleh karena itu, tidaklah
berlebihan kalau Taufik Abdullah menyebut Banten, sebagai “negeri para
ulama dan jawara”.
Seiring dengan perjalanan waktu, persepsi masyarakat terhadap Jawara
memiliki pemahaman yang beragam, mulai dari hal yang positif sampai ke
hal yang negatif. Pemahaman masyarakat yang beragam ini tidak terlepas
dari sepak terjang sosok Jawara, yang memiliki peranan cukup besar dalam
tiga masa perjalanan sejarah di Banten dan Jawa bagian Barat, yaitu
masa kerajaan Sunda, kesultanan Banten, dan masa kolonial Belanda.
Belakangan, kehidupan jawara dengan character building yang khas itu
menciptakan sub kultur kebudayaan baru masyarakat Banten dan sekitarnya,
yaitu Subculture of Violence (sub kultur kekerasan). Permasalahan ini
muncul ke permukaan akibat terkontaminasinya nilai-nilai kejawaraan
sehingga sebagian masyarakat ada yang menilai jawara identik dengan
premanisme.
Sebagai subkultur kekerasan, jawara memiliki motif-motif tertentu dalam
melakukan kekerasan. Merekapun mengembangkan gaya bahasa atau tutur kata
yang khas, yang terkesan sangat kasar (sompral) dan penampilan diri
yang berbeda dari mayoritas masyarakat. seperti berpakaian hitam dan
memakai senjata golok (Atu Karomah, Jawara dan Budaya Kekerasan pada
Masyarakat Banten, Tesis S2 UI). Penampilan terakhir inilah yang
sebagian besar masyarakat umum diidentikan dengan pencak silat
tradisional.
Penafsiran Sejarah Istilah Jawara
Belum adanya pencatatan histographia mengenai awal mula kemunculan
istilah jawara di masyarakat Banten dan Jawa bagian Barat, menyulitkan
untuk diketahui secara pasti kapan dan dimana penggunaan istilah Jawara
ini diberikan kepada seseorang yang memiliki kunggulan fisik dan
supranatural, dan cenderung menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan
setiap persoalannya. Begitupun halnya dengan istilah jawara itu sendiri.
Penyusuran proses kemunculan istilah jawara baru terbatas pada sejarah
sosial (budaya tutur) bersifat “stamboom” bukan “geschiedenis” atau
“history”, yang secara akademis sukar untuk dipertanggung jawabkan.
Dari stamboom yang ada, sebagian besar masyarakat sepakat untuk menunjuk
daerah Banten sebagai tempat dimana istilah ini pertama kali muncul,
karena jawara merupakan salah satu entitas masyarakat Banten yang sangat
terkenal. Hingga dalam perkembangannya menyebar ke beberapa daerah yang
melingkupinya termasuk Betawi, Bekasi-Pantura, Bogor dan Priangan
bersamaan dengan dimulainya proyek pembangunan Jalan Raya Pos Deandles
(RM. Taufik Djajadiningrat, Sejarah dan Silsilah Ringkas Para Sinuhun
Kesultanan Banten, 1995 : 121-122).
Berdasar catatan seorang peneliti sejarah kabupaten Lebak, Miftahul
Falah, S.S menguraikan bahwa sejarah sosial masyarakat Banten sendiri
memiliki empat penafsiran tentang proses kemunculan istilah jawara.
Penafsiran pertama ketika kerajaan Sunda menggunakan sekelompok
masyarakat sebagai perantara atau penghubung antara masyarakat dengan
rajanya. Mereka memiliki kewenangan tidak hanya melayani antara raja dan
rakyat, tetapi juga membela dan melindunginya. Dalam keseharian mereka
memiliki ke khasan dalam berpakaian dan gaya hidupnya, seperti jago
dalam menyabung ayam, pandai bermain pencak silat dan memiliki ilmu
“kadugalan” yang kebal senjata tajam sebagai kekuatan supranaturalnya.
Dalamperkembangan selanjutnya, keterampilan bermain silat dan kekebalan
tubuh yang dimilikinya menjadi ciri utama kelompok ini sehingga
melahirkan sebutan jawara.
Penafsiran kedua, ketika pada masa Kesultanan Banten dipegang oleh
Maulana Hasanuddin. Dalam menghadapi pasukan Pajajaran yang teramat
kuat, Sultan membentuk sekelompok orang-orang dalam satu pasukan khusus
yang dipimpin oleh Maulana Yusuf. Setiap anggotanya memiliki keunggulan
secara lahir dan batin, militan dan mampu mengahncurkan secara cepat
menyusup ke pusat pemerintahan Pajajaran di Pakuan. Pasukan khusus tanpa
identitas itu diberi nama Tambuhsangkane, yang bergerak dengan tidak
mengatas namakan kesultanan Banten. Sifat militan yang dimiliki oleh
pasukan khusus ini menumbuhkan sifat pemberani dan kemudian dibina
secara terus menerus. Dari merekalah kemudian lahir kaum jawara.
Penafsiran ketiga, F.G. Putman Craemer, Residen Banten (1925-1931),
istilah jawara dimulai dengan dibentuknya perkumpulan Orok Lanjang oleh
golongan pemuda di Distrik Menes Pandeglang, yang bermakna harfiah
sebagai “bayi yang menjelang dewasa”. Perkumpulan kampung ini pada
awalnya dibentuk untuk meningkatkan hubungan kekerabatan dalam satu
lingkungan, memberikan pertolongan dan pelayanan dalam segala kegiatan
termasuk membantu masyarakat dalam penyelenggaraan pesta atau acara
kampung.
Lambat laun tugas yang diserahkan masyarakat kepada kelompok pemuda ini
sebagai penyelenggara acara kampung menjadi satu kewajiban, apabila
tidak diundang atau diserahkan sebagai petugas penyelenggara mereka akan
mengacau atau bahkan menggagalkan jalannya acara. Pada perkembangannya,
kelompok ini berkembang menjadi organisasi tukang pukul yang dikenal
dengan sebutan jawara. Mereka menjadi organisasi momok yang menakutkan
bagi masyarakat, sampai-sampai aparat praja setempat tidak dapat
bertindak tegas kepada mereka.
Penafsiran keempat, istilah jawara muncul ketika terjadi perlawanan
terhadap pemerintah kolonial Belanda di abad 19 yang digerakkan oleh
kaum ulama. Kaum ulama yang umumnya memiliki dua kelompok santri yang
dididik berdasar bakat dan kemampuan mereka, dimana kelompok pertama
merupakan kaum santri yang memiliki bakat di bidang ilmu agama yang akan
menggantikan posisi para ulama nantinya. Mereka dibekali ilmu hikmah
selain ilmu agama Islam sebagai ilmu dasarnya .
Sedangkan kelompok kedua merupakan kaum santri yang memiliki bakat
dan kemampuan di bidang bela diri pencak silat. Kelompok kedua ini
dididik dan dibina kekuatan fisiknya dengan ilmu bela diri pencak silat,
dan dibekali pula dengan ilmu hikmah namun jauh lebih sedikit porsinya
dibanding santri kelompok pertama. Mereka ditugasi untuk melakukan teror
terhadap pemerintah kolonial Belanda dan kaki tangannya. Kelompok kedua
inilah yang kemudian hari disebut dengan jawara.
Penafsiran kelima, istilah jawara muncul sebagaimana yang diungkapkan RM
Taufik Djajadiningrat, tatkala dimulainya pembangunan Jalan Raya Pos
Deandles (1808-1811) antara Anyer-Panarukan. Pembangunan jalan yang
sangat merugikan rakyat ini menimbulkan pemberontakan dikalangan para
pendekar persilatan, dikenal dengan peristiwa Perang Pertama. Dari
peristiwa pemberontakan ini memunculkan julukan jawara yang ditujukan
kepada mereka.
Pada awalnya istilah jawara memiliki makna sebagai jagoan, dengan
pengertian jago dalam menyabung ayam dan bela diri pencak silat. Selain
itu, mereka pun memiliki kemampuan untuk mempertontonkan ilmu kekebalan.
Kemampuan-kemampuan itu dipergunakan oleh para jawara untuk membela dan
menciptakan rasa aman dan ketenangan di lingkungannya. Kemampuan itu
mereka miliki karena kedudukannya sebagai pemimpin informal di
tengah-tengah masyarakat, baik semasa kerajaan Sunda, kesultanan Banten,
maupun pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Pergeseran makna jawara yang terkontaminasi dengan hal yang negatif
terjadi pada abad ke 19 ketika Banten dan sekitarnya diwarnai oleh
kekacauan dan perampokan yang tiada tara. Hal ini kemudian oleh
pemerintah kolonial Belanda dimanfaatkan untuk membentuk stigma negatif
kepada para pejuang dari kalangan pendekar persilatan dan kaum ulama.
Stigma negatif ini sengaja diciptakan Belanda dalam upaya memprovokasi
masyarakat untuk menganggap mereka sebagai pembuat onar, pengacau, dan
perampok. Sehingga mencap semua kaum jawara adalah bandit sehingga
perlawanan dalam bentuk gerakan sosial, yang bermaksud melawan
penjajahan asing dianggap sebagai onsluten (keonaran), ongergeldheden
(pemberontakan), complot (komplotan), woelingen (kekacauan), dan onrust
(ketidak amanan). Sejak saat itulah para pendekar persilatan dan ulama
yang mengadakan perlawanan dianggap sebagai jawara, yang merupakan
akronim dari jalma wani nga-rampog (orang yang berani merampok) atau
orang yang beani menipu/pembohong (jalma wani nga-rahul). Konotasi
negatif ini terus berkembang sampai abad ke 20, dan hingga kini tidak
sedikit masyarakat yang termakan oleh stigma negatif Belanda tersebut.
Seiring dengan perkembangan waktu, Jawara yang merasa citranya terjebak
dalam konotasi negatif masyarakat yang diciptakan Belanda, berusaha
mengcounter dengan istilah jalma jago nu wani ramah (orang yang jagoan
berani dan ramah). Tentu ada pula segelintir jawara yang memiliki
perilaku negatif, namun hal ini dapat diselesaikan di dalam internal
kelompok “kejawaraan” nya itu sendiri. Umunya dalam suatu organisasi
kejawaraan terdapat aturan-aturan yang bersifat konvesional untuk
menyelesaikan permasalahan, terutama terhadap jawara yang berperilaku
negatif.
Terminologi Jawara, Jagoan, dan Preman
Secara umum jawara memiliki definisi sebagai orang yang memiliki
kepandaian bermain silat dan memiliki keterampilan-keterampilan
tertentu. Berbeda dengan perampok atau pencuri, mereka adalah figur
seorang yang mampu menjaga keselamatan dan keamanan desa, sehingga
karenanya masyarakat menghormati keberadaan mereka. Pada umumnya, jawara
sangat patuh kepada ulama, karena semangat dalam jiwa mereka diperoleh
dari para kaum ulama. Di tanah Betawi sendiri hampir memiliki makna yang
sama, namun istilah jawara bagi masyarakat natif Betawi berangkat dari
istilah “potong letter” lidah natif Betawi yaitu juware atau juara yang
tidak terkalahkan dalam hal bela diri “maenpukulan” atau pencak silat.
Berbeda dengan Jagoan, kata ini berasal dari kata dasar “jago” yang
menurut Ridwan Saidi merupakan loanword dari bahasa Portugis Jogo yang
artinya “champion” atau juara (Ridwan Saidi, Glosari Betawi: 43). Disisi
lain menurut tradisi lisan, jago merupakan istilah yang agak umum bagi
golongan “tukang pukul” dan seorang yang suka berkelahi. Jagoan bernada
lebih positif ketimbang istilah preman pada masa kini. Jagoan adalah
sebutan untuk anggota masyarakat yang berpengaruh dan disegani di
kampungnya, orang yang kuat, tukang pukul dan pemberani. Secara hirarki,
jagoan dianggap lebih rendah kedudukannya dibanding jawara. Karena
sebagaimana seperti yang disebutkan di atas, jawara dapat dikatakan
sebagai istilah lain dari pendekar, ksatria yang ditokohkan masyarakat
sebagai orang yang suka memberikan perlindungan dan keselamatan secara
fisik terhadap masyarakat, juga dianggap sebagai orang yang dituakan
atau sesepuh.
Lalu bagaimana dengan preman?. Secara etimologi preman merupakan
loanword dari bahasa Belanda, Vrijman yang bermakna “orang bebas” atau
dalam bahasa Inggris disebut free man. Dalam Kamus Bahasa Indonesia akan
kita temukan paling tidak 3 arti kata preman, yaitu: 1. swasta,
partikelir, non pemerintah, bukan tentara, sipil. 2. sebutan orang jahat
(yang suka memeras dan melakukan kejahatan) 3. kuli yang bekerja
menggarap sawah. Secara umum istilah preman dapat disimpulkan sebagai
sebutan pejoratif (kata sandang merendahkan) yang sering digunakan untuk
merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan
penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain.
Dari tiga terminologi di atas, hendaknya kita masih dapat membedakan
makna, fungsi dan peranan masing-masing dalam masyarakat. Sehingga kita
tidak terburu-buru untuk menjustifikasi seseorang berdasar perilakunya.
Sumber tulisan:
Atu Karomah, Jawara dan Budaya Kekerasan pada Masyarakat Banten, Tesis S2 UI, Jakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia, BP Jakarta 1996
Miftahul Falah, S.S, Kejawaraan Dalam Dinamika Kabupaten Lebak, Jakarta1995
Ridwan Saidi, Glosari Betawi, Jakarta 2007
RM. Taufik Djajadiningrat, Sejarah dan Silsilah Ringkas Para Sinuhun Kesultanan Banten, Jakarta1995
Tasbih & Golok, Tim penelitian Studi Kharisma Kyai & Jawara di Banten, STAIN Serang, 2002
Kota Banten, Amsterdam di Hindia Belanda
Banten menurut data historis dan arkeologis kira-kira pada 450 tahun
yang lalu, pada saat zaman Sultan Maulana Yusuf yang dikenal dengan
julukan Penembahan Pakalangan yaitu sekitar tahun 1570, sudah menjalin
hubungan perdagangan dengan bangsa Eropa dan Asia disekitarnya. Bahkan
banyak pula melakukan manuver-manuver dalam sistem perdagangan, hal ini
yang membuat cemas bangsa Eropa, karena dalam persaingan perdagangan
internasional. Banten merupakan pesaing yang cukup disegani oleh bangsa
Eropa pada masa itu.
Cerita ini merupakan bukti bahwa sistem perdagangan zaman kesultanan
tidak dapat diremehkan. Terlebih dalam kemapuan berpolitik, seperti yang
tersirat dalam buku berjudul “The Sultanate of Banten” secara resmi
diserahkan oleh Duta Besar Perancis Patrick O’Cornesse, kepada bupati
Serang Mas Ahmad Sampurna dipendopo kabupaten Serang beberapa tahun yang
lalu.
Buku dalam bahasa Inggris dengan kata pengantar oleh Menteri Pendidikan
pada saat itu dijabat bapak Fuad Hasan, isi dari buku ini merupakan
hasil dari para peneliti yang bekerjasama antara pemerintah Indonesia
dengan pemerintah Prancis dengan sasaran penelitian adalah untuk merawat
dan merestorasikan kerajaan serta kesultanan Banten, penelitian ini
berlangsung hingga tahun 1987
Menurut Dubes O’Cornesse, penelitian tersebut bertujuan untuk mengangkat
kembali kebesaran masa silam bangsa indonesia, terutama kesultanan
Banten yang telah terkubur dalam tanah dan dalam arsip-arsip yang ada di
Eropa. Perancis atau bangsa Eropa lainnya, mengagumi Banten dan
menjadikannya satu pelabuhan kosmopolitan besar pada abad 17, Banten di
masa itu merupakan pusat peniagaan dunia, kemasyurannya tetap tersimpan
dalam kenangan bangsa perancis kata O’Cornesse.
Menurut catatan sejarah kesultanan Banten pada tahun 1527 berkembang
menjadi pusat perdagangan, terutama pada 1570 samapi abad 19. kota
Banten Lama yang didirikan 1526 dipesisir utara Jawa Barat (sekarang
Provinsi Banten), juga berkembang menjadi satu kota muslim yang bersaing
dengan negara-negara Arab dalam memiliki istana, pasar dan juga masjid
besar.
Kota Banten, atau Bantahan menurut sebutan negara Barat, dikenal sebagai
kota metropolitan sekaligus kota yang produktif. Karena dilihat dari
sarana dan pra sarana sejak dulu seperti Pelabuhan Karangantu yang
menarik para pedagang Eropa dan Asia. Menurut Cornelis de Houtman asal
Belanda pada tahun 1596 Banten disebut Kota Pelabuhan dan Perdagangan
yang sama besar dengan Kota di Amsterdam saat itu, sama pula yang
diungkapkan oleh Vincent Leblanc asal Perancis waktu tiba di Banten pada
abad 16, beliau mencari hasil bumi terutama LADA dan beliau berucap
bahwa Kota Banten ini hampir sama dengan Kota Rouen di negerinya yang
ramai dengan para pedang. Sebelum Banten menjadi Kota Muslim, Banten
terkenal dalam perdagangan Ladanya yang menjadi daya tarik bangsa Eropa.
Pada tahun 1522 Protugis mengadakan perjanjian dagang dengan para
pengusaha Banten, saat itu Banten masih dibawah Kerajaan Pajajaran yang
beragama Hindu. Perdagangan lada ini begitu ramai dan menguntungkan,
sehingga para sultan Banten mengambil strategi untuk mengendalikan
sepenuhnya komoditi tersebut. Perdagangan lada di Banten sangat ramai
karena mutu jenis lada di Banten lebih baik dibadingkan mutu lada dari
Malabar dan Aceh. Lada ini lah yang sangat di gemari oleh bangsa Eropa
termasuk bangsa Sepanyol yang mengintruksikan Magellan dan Portugal
untuk mencari lada di Banten pada tahun 1519, sebelum melakukan
petualangannya untuk mengelilingi dunia.
Para sultan mengadakan tindakan pengetatan pada hasil produksi lada di
Banten, dengan cara menginstruksikan semua penduduk di pedalaman ataupun
di kota untuk membawa hasil lada mereka ke Kota Banten, untuk diolah
dengan standar mutu tinggi. Begitu pula penduduk di daerah Sumatera
diwajibkan untuk menanam 500 pohon lada dan hasilnya dikirimkan ke Kota
Banten. Di Banten pusat industri untuk produksi lada adalah di Kampung
Pamarican yang masih dikenal hingga kini. Dengan tidakan ini bangsa
Eropa menilai Banten sudah menjadi Imperium Lada.
Banten bertambah penting posisinya sebagai kota perdagangan
internasional setelah Malaka jatuh ketangan Portugis. Selain Malaka,
Banten menjadi pusat persaingan dan perebutan kongsi perdagangan Eropa,
khususnya Belanda dan Portugis. Kedua raksasa Eropa ini terlibat
pertempuran untuk merebutkan pasar dan pusat produksi lada. Malaka
akhirnya jatuh ketangan Belanda pada tahun 1641. Portugis segera
menjalin perdagangan dengan Makasar dan Banten. Banten Sadar pentingnya
armada dagang untuk menguasai dan mempertahankan industri lada,
sekaligus berdagang langsung dengan Bangsa Eropa dan Asia lainnya.
Akhirnya pada tahun 1660-an Sultan Haji memerintahkan pembangunan armada
kapal dagangnya dengan model seperti kapal-kapal Eropa, dan bangsa
Inggris dipercaya untuk membangun armada tersebut.
Kesultanan Banten memasuki persaingan perdagangan lada internasional
yang sangat ramai pada kurun waktu antara tahun 1651 dan tahun 1672
sampai VOC (Belanda) merebut Banten pada tahun 1682. saat kekuasaan
Sultan Ageng Tirtayasa Abulfathi Abdul Fatah dan Sultan Haji Abunhasr
Abdul Kahhar.
Dengan armadanya yang kuat akhirnya Banten mampu berdagang langsung
dengan Mekkah, India, Siam, Kamboja, Vietnam, Taiwan dan Jepang. Berita
yang paling meyakinkan tentang hubungan Banten dengan Eropa, India dan
Cina adalah dengan diketemukannya peta yang dibuat oleh Claudius
Ptolomeus. Peta ini dibuat pada tahun 165 M. berdasarkan tulisan geograf
Starbo (27 - 14 SM) dan Plinius (akhir abad pertama masehi). Dalam peta
ini digambarkan tentang jalur pelayaran dari Eropa ke Cina dengan
melalui: India, Vietnam, ujung utara Sumatra, kemudian menyusuri pantai
barat Sumatra, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Tiongkok
Selatan sampai ke Cina (Yogaswara, 1978: 21-38).
sumber: http://massandry.blogspot.com
sumber: http://massandry.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar