Itu kalau di Surabaya, di Medan etnis Tionghoa berbeda lagi. Sewaktu saya tinggal di Medan saya menjumpai orang Tionghoa sana tak pernah ngomong dalam bahasa Indonesia logat Melayu seperti orang Medan pada umumnya. Mereka baru ngomong bahasa Indonesia kalau lawan bicaranya adalah bukan sesama etnis mereka. Mereka sehari-hari benar-benar ngomong dalam bahasa ibu mereka, yaitu bahasa Mandarin. Aneh juga terdengarnya waktu itu, saya jadi sempat berpikir apa sedang di Hongkong, kok orang-orang Tionghoa di sini banyak yang ngomong dalam bahasa Mandarin. Pikir saya heran.
Saya coba bandingkan orang Tionghoa Medan dengan orang Tionghoa Surabaya. Setahu saya di Surabaya hanya orang Tionghoa kakek-kakek atau nenek-nenek yang sudah tua yang masih ngomong pakai bahasa Mandarin. Kalau jatuh pada anak-anaknya, jarang saya menemui mereka ngomong pakai bahasa Mandarin. Di Medan berbeda. Orang Tionghoa Medan masih sangat setia dengan bahasa ibu mereka meskipun sudah tidak tinggal di China lagi.
Lain lagi Surabaya, lain lagi Medan, lain pula Tionghoa Jogja atau Jawa Tengah pada umumnya. Di sini (Jogja) saya beberapa kali tertipu. Di kantor saya, saya punya beberapa teman dan relasi dari etnis Tionghoa. Saya tertipu karena saya pikir teman saya tersebut adalah orang Jawa tulen tapi nggak tahunya adalah orang etnis Tionghoa.
Kenapa pasalnya? Kenapa saya bisa sampai salah? Gara-garanya logat bicara kawan dan relasi saya tersebut tak ada yang mencirikan orang Tionghoa sama sekali. Terus didukung juga oleh ciri-ciri fisik yang kebetulan tak seperti orang Tionghoa kebanyakan yang matanya kebanyakan sipit. Saya salah karena terkecoh oleh logat Jawa teman saya yang memang sangat medok, fasih, luwes berbahasa Jawa seperti logat orang Jawa Jogja pada umumnya.
Kembali saya jadi ingin membandingkan antara Orang Jawa di Jogja dengan dengan orang Tionghoa di Surabaya. Keduanya sama, dalam konteks cara mereka berbicara. Jika ngomong dalam bahasa Indonesia, sama-sama tak bisa menyembunyikan asal mereka darimana karena logatnya yang sangat kental mengikuti cara mereka berbicara. Saya pun waktu tahun 1998 tinggal di Samarinda Kalimantan dalam sebuah pembicaraan lewat telpon pernah ditebak orang sana karena logat Jawa saya yang sangat medok.
Kalau kita mau sedikit merenung dan mau belajar dari para etnis Tionghoa, terus terang saya jadi sedikit malu sekaligus prihatin dengan para orang tua sekarang yang lebih mengutamakan ngajari anaknya dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris tapi menganaktirikan bahasa ibu mereka sendiri. Seharusnya kita belajar dari etnis Tionghoa Medan. Meski mereka tinggal di negara asing yang mayoritas berbahasa Indonesia, terlebih di Medan yang sehari-hari pakai bahasa melayu tetapi, toh mereka tetap setia dan tak melupakan bahasa ibu mereka, yaitu bahasa Mandarin.
Kedua, kalau kita mau belajar dari para etnis Tionghoa di Jogja yang begitu pandai berbahasa Jawa dan logatnya yang benar-benar luwes menyatu seperti orang Jawa, saya jadi malu kembali, mengapa kita para orang tua justru mengajari anak kita dengan bahasa Indonesia dan mengesampingkan bahasa ibunya sendiri, bahasa Jawa? Bukankah idealnya kedua bahasa itu seharusnya diajarkan sejajar pada anak kita? Sedih rasanya kalau saya mengamati keluarga Jawa sekarang yang anak-anaknya sudah tidak bisa boso kepada para orang tua.
Sedih, bahasa ibu kini benar-benar seperti anak tiri yang benar-benar sudah dianaktirikan. Maaf, untuk kasus keluarga dengan perkawinan multi etnis mungkin bisa saya kecualikan. Karena orang tua seperti ini mungkin akan kesulitan mengajarkan tiga bahasa sekaligus, dua bahasa ibu kedua orang tuanya dan bahasa Indonesia sekaligus kepada anak-anaknya.
oleh: Diptara Blog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar