Sabtu, 12 Desember 2015

Waktu pun Berfilsafat: “Manusia itu objek saya”



Berdasarkan artikel David Lewis : Paradoxes of Time Travel

“Tabu”, seperti itu sebagian orang menganggap time travel. Namun, sejatinya kita sebagai manusia tidak sadar bahwa kita dijadikan waktu sebagai objek filsafatnya. Terkadang kita manusia sangat congkak dan percaya diri bahwa kita menguasai alam bahkan juga waktu. Namun, menurut saya tidak demikian faktanya, justru manusia lah yang dijadikan objek waktu untuk berfilsafat. Berfilsafat, tidak hanya melulu tentang berpikir menggunakan akal sehat, alam pun berfilsafat lewat fenomena, begitu pula waktu yang berfilsafat melalui fenomena-fenomena waktu dimana manusia dituntut untuk mengenal waktu. Tanpa kita sebagai manusia sadari, karena terlalu tertutup kabut kecongkakan kita terkadang menyepelekan waktu, padahal disitulah saat waktu menjadikan kita sebagai objek. Padahal waktu memberikan kita kenyataan, keabsahan tentang keberadaan kita di alam semesta ini, dimana kita ada karena waktu.

Waktu, tidak hanya berbicara tentang jam, pukul berapa, menit berapa, atau detik ke berapa. Namun, waktu juga berbicara tentang keadaan, kenyataan, kenyataan keberadaan manusia dan segala isi alam semesta, ruang, tempat, dimensi, jalur, cabang waktu, gravitasi, bahkan time travel. David Lewis setuju jika time travel itu sangat mungkin ada, bukan mustahil dan bukanlah hal yang aneh jika time travel benar adanya. Melalui karya Lewis saya sadar bahwa tidak menutup kemungkinan adanya time travel, justru saya semakin sadar bahwa disinilah peran waktu yang menjadikan manusia sebagai objeknya untuk berfilsafat, bagaimana manusia akan bertindak atau respon manusia terhadap waktu secara alami terhadap hal-hal yang diluar batas pemikiran manusia dikarenakan kecongkakan manusia.
Saya akan menjabarkan bagaimana waktu mempermainkan manusia sebagai objek filsafatnya didukung oleh karya Lewis. Mari kita sebut time travel itu sebuah fenomena yang merupakan produk dari waktu yang berfilsafat, dari sini kita bisa melihat bahwa waktu mengenalkan keagungan dirinya yang membelot nalar manusia dan seolah mendeklarasikan bahwa kita manusia itu bukanlah siapa-siapa tanpa waktu atau bahkan tidak ada. Sekitar sebulan yang lalu saya menonton film yang berjudul “Lucy”, disana saya ingat betul bahwa ada bagian film dimana ada video yang memutarkan tentang mobil yang berjalan dari ujung jalan ke ujung jalan lainnya, kecepatan mobil tersebut konstan dan dengan efek video dipercepat, dan makin
dipercepat dan dipercepat sampai hampir menuju kecepatan cahaya, dan hasilnya adalah mobil tersebut hilang, tidak ada. Ini semua hanya masalah waktu, waktu lah yang membuat mobil tersebut ada, begitupun kita, tidak menutup kemungkinan bahwa keberadaan kita di alam semesta sangat bergantung kepada waktu. Disinilah waktu hendak menyadarkan kita untuk tidak congkak, sebab tanpa waktu, kita hanya seperti mobil tadi. Tidak ada.
Saya tidak akan membahas terlalu jauh tentang time travel, karena saya lebih tertarik untuk menjelaskan bagaimana waktu memainkan kita manusia sebagai objek filsafatnya. Lewat suatu isu yang sempat menggemparkan dunia yaitu tentang “John Titor” yang mengaku bahwa ia adalah seorang time traveler dari tahun 2036 yang menjelajah waktu ke tahun 2000. Mungkin beberapa orang percaya ini hanya hoax belaka. Namun, tidak untuk beberapa ilmuwan seperti Ronald Mallett, beliau merupakan professor dan ahli fisika di Universitas Connecticut yang justru merespon keberadaan Titor, yang akhirnya Mallet justru sekarang sedang mengembangkan mesin waktunya serta berkerja sama dengan CERN(Badan Riset Nuklir Eropa), proyek ini mengandalkan teori ruang dan waktu yang disebut The Large Hardon Collider 1995.
Dari fenomena yang saya jabarkan di atas, lihatlah bagaimana waktu menggunakan ilmuwan bahkan suatu institusi untuk mengeksplor waktu, seolah semua ini milik waktu, tanpa waktu, kita itu tidak jelas. Masih kontra? Maka saya akan menggunakan kata pepatah “Biar waktu yang menjawabnya”, “waktu adalah uang”, “lambat-laun akan terbongkar”, “seiring dengan perkembangan maka akan terbuka”, kata-kata pepatah demikian yang merupakan keberhasilan sang waktu berfilsafat menggunakan manusia sebagai objeknya. Satu pepatah “Biar waktu yang menjawabnya” disini ada suatu arti penting dimana waktu membuat kita sebagai manusia menunggu jawaban, menunggu sesuatu, menunggu sang waktu untuk menjawab. Bahkan waktu itu menentukan keberadaan kita di alam semesta ini, saya ambil contoh kecil yang sederhana saat ada rapat pada hari Senin jam 5 sore di Selasar, risalah kita akan berada di Selasar jam 5 sore pada hari Senin. Demikian waktu menunjukkan bahwa kita abash karena dia, kita hanyalah ditentukan oleh waktu.
Saya juga akan memperlihatkan bagaimana waktu berfilsafat menggunakan (fungsi) ilmu pengetahuan dan juga tentunya manusia serta ruang, tempat, gravitasi, dimensi, fisika kuantum, kosmologi, Albert Einstein, bahkan David Lewis. Seperti yang sudah saya katakana bahwa waktu menjadikan manusia sebagai objek filsafatnya dan di isu time travel lah sang waktu
menggunakan kita bahkan ilmu pun. Waktu menggunakan manusia, buktinya? Adalah Albert Einstein dengan teori relativitasnya E=mc2 , seiring dengan berjalannya “waktu” Einstein mengembangkan teori tersebut sehingga lahirlah konsep “wormhole” dimana ruang dan waktu itu saling berhubungan dan gravitasi dapat membengkokkan waktu sama seperti ia membengkokkan ruang. Dari konsep jenius inilah manusia lain(ilmuwan besar) dimanfaatkan waktu seperti Kurt Godel-seorang ahli matematika- yang mengembangkan pemikiran Einstein sehingga memunculkan konsep “blackhole” dan ilmuwan-ilmuwan besar lainnya juga ikut mengembangkan pemikiran bahwa time travel itu adalah mungkin seperti Roy Kerr, Kip Thorne.
Sekilas mari kita berbicara tentang dimana ilmu yang diciptakan Einstein dipinjam oleh ilmuwan fisika, matematika, fisika kuantum, bahkan kosmologi. Sangat seru berbicara tentang ini karena ini mengingatkan saya saat di kelas “Filsafat Ilmu” tentang fungsi ilmu dimana “to borrow” diaplikasikan, disinilah saya percaya bahwa waktu pun memanfaatkan ilmu sebagai objek filsafatnya, demikian pula manusia. Bahkan seorang professor sekalipun, demi ke eksistensian “sang waktu” menyadarkan kita manusia yang congkak merasa percaya diri menguasai semesta, padahal jika ingin ditarik ontologinya, waktu sudah ada sebelum manusia ada. Bahkan secara epistimologi, waktu meraih keeksistensian “sang waktu” melalui manusia yang dimana waktu berfilsafat melalui manusia, secara aksiologi pun manusia dimanfaatkan waktu untuk berfilsafat atau dengan kata lain manusia itu bermanfaat bagi waktu.
Dalam kosmologi, teori Einstein sangat berpengaruh dan juga bagi hukum fisika kuantum Everett-Wheeler yang mana menjadi dasar pondasi bagi David Lewis untuk berpendapat tentang time travel itu mungkin dan menurut saya Lewis juga seolah menyetujui bahwa waktu menggunakan kita manusia sebagai objek dikarenakan Lewis berpendapat dalam artikelnya bahwa “Time plays in the life of a common person”. Waktu pun memanfaatkan Lewis untuk mengeksplor kemaha an sang waktu dengan Lewis mengungkapkan bahwa hanya ada satu dimensi maka waktu menguasai kita, bahkan sejatinya “time paradox” itu tidak benar, seolah waktu itu menguasai kita, kita tidak apa-apanya tanpa waktu termasuk mengubah keadaan melalui waktu. Waktu itu sangat agung, sehingga membelalakkan kita bahwa time travel itu mungkin dan walaupun mungkin, kita tidak bisa mengubah apapun di masa depan ataupun masa lalu karena waktu itu hanya satu “sang waktu” mari ibaratkan waktu seperti satu jalur rel kereta, jalur kereta hanya ada satu, namun memiliki cabang, jadi waktu memiliki dimensi dimana inilah yang menjadi dasar bahwa teori time paradox itu tidak bisa, karena melawan sang waktu. Waktu menyatakan keabsahan keberadaan kita karena tidak benar jika seorang time traveler berada di dua tempat dalam satu waktu, ini namanya melawan waktu, jadi memang sangat mungkin adanya time travel . Namun, tidak akan mengubah apapun karena ini melawan sang waktu yang dimana memiliki dimensi yang berbeda. Lewis menjelaskan tentang “Teori Grandfather Paradox” dimana saat sang cucu datang ke masa lalu tidak bisa membunuh kakeknya, karena berbagai kemungkinan, karena hidup di dimensi yang berbeda (masih ingat perumpamaan rel satu rel kereta? Disinilah dimensi sebagai cabang). Rel hanya satu, “garis waktu” atau timeline hanya ada satu walaupun memiliki cabang atau dimensi, tetap tidak akan mengubah apapun, dimana itu tadi, si cucu tidak dimungkinkan untuk membunuh kakeknya, kakeknya akan tetap hidup di masa yang datang karena hidup di dimensi yang berbeda.
Jadi, memang menurut saya, sang waktu sungguh luar biasa berfilsafat, waktu menggunakan manusia (yang dimana manusia sampai saat ini tidak sadar) dan manusia tetap saja bersifat congkak dengan merasa mampu mengalahkan waktu dan memiliki semesta dan merasa paling khidmat dan paling pintar. Waktu memutar balikkan itu semua dengan bahwa tanpa ia, manusia itu tidak ada. Waktu menyatakan keabsahan keberadaan kita di alam semesta ini. Waktu, mencobai kita dengan adanya fenomena time travel , waktu seolah juga memanfaatkan manusia untuk menggali lebih dalam tentang fenomena tersebut untuk menunjukkan pada manusia bahwa inilah “sang waktu” yang mungkin diluar nalar manusia. Namun, ini lah waktu, para ilmuwan pun sadar bahwa ini hanya masalah waktu yang dimana waktu pun memanfaatkan ruang, tempat, gravitasi, teori Einstein, Kosmologi, dan lain-lain. Kita manusia terlalu congkak dengan pemikiran kita dan seperti ditampar oleh waktu untuk ingat bahwa kita tanpa sang waktu itu tidak ada (masih ingat penjelasan saya di atas tentang film “Lucy”?). Sang waktu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar