Senin, 14 Desember 2015

Anggota Dewan: Rakyat Terhormat Namun Tidak Beretika



Anggota Dewan: Rakyat Terhormat Namun Tidak Beretika
Delima Andriyani
Abstrak
Anggota dewan merupakan orang-orang terpilih yang menjadi wakil rakyat untuk melaksanakan tugasnya sebagai legislative dan eksekutige. Yang terpilih haruslah amanah, bukan karena kepentingan pribadi dan golongan hingga mengubahnya menjadi manusia tak beretika. Terkadang mereka berlomba-lomba untuk terpilih hingga akhirnya membernarkan berbagai jalan dan mengubah mereka menjadi rakyat terhormat yang tak beretika.
Kata kunci: Anggota Dewan, Etika Politik

I.       Pendahuluan
Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Namun pemilu tahun 2014 masih dinodai dengan adaya politik uang yang dilakukan oleh beberapa calon anggota dewan, menurut Indonesia corruption watch (ICW), dalam pemilihan dewan 9 april lalu terdapat 313 pelanggaran yang ditemukan di 15 daerah. Politik uang merupakan suatu upaya untuk mempengaruhi pemilih untuk menggunakan hak suaranya untuk memilih calon tertentu, politik uang merupakan suatu tindak pidana karena telah diatur dalam undang-undang selain itu politik uang merupakan suatu pelanggaran etika politik juga merupakan suatu tindakan yang menyimpang dari nilai-nilai pancasila.

II.     Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan study literatur dimana penulis menggunakan referensi berupa buku yang berjudul Pendidikan Pancasila, Filsafat Demokrasi, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Selain itu juga, penulis menggunakan beberapa referensi dari internet yang dapat dipertanggungjawabkan kevalidannya.

III.   Pembahasan

3.1 Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan asas legalitas (legitimasi hukum) yaitu dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku, disahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokratis), dan dilaksanakan berdasarkan prinsip moral atau tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral). Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik pembagian serta kewenangan harus berdasarkan legitimasi moral religius (sila I) serta moral kemanusiaan (sila II), Selain itu juga harus berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip ‘legalitas’, maksudnya adalah berdasarkan atas hukum yang berlaku sebab Negara Indonesia adalah Negara hukum oleh karena itu pula, keadilan dalam hidup bersama (sila V) demi kesejahteraan bersama (sila III) merupakan tujuan negara. Negara Indonesia adalah Negara demokrasi artinya segala kebijaksanaan dan kekuasaan senantiasa untuk rakyat (sila IV). Rakyat merupakan asal mula kekuasaan Negara oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara segala kebijaksanaan, kekuasaan, serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok Negara. Maka dalam pelaksanaan politik praktis hal-hal yang menyangkut kekuasaan eksekutif, yudikatif dan dewan, konsep pengambilan keputusan, pengawasaan serta partisipasi harus berdasarkan legitimasi dari rakyat (legitimasi demokratis)
Prinsip-prinsip dasar etika politik itu dalam realisasi praksis dalam kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara korelatif diantara ketiganya. Maksudnya adalah dalam pengambilan keputusan serta pelaksanaan kebijaksanaan harus berdasarkan hukum (legitimasi hukum), medapatkan legitimasi rakyat (legitimasi demokratis) dan juga harus berdasarkan prinsip-prinsip moralitas (legitimasi moral)
Etika politik ini harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara kongkrit dalam dalam pelaksanaan pemerintahan Negara. Para pejabat eksekutif, anggota dewan maupun yudikatif, para pejabat Negara, anggota DPR maupun MPR aparat pelaksana dan penegak hukum harus menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokratis juga harus berdasar pada legitimasi moral sebab suatu kebijaksanaan mungkin saja sesuai dengan hukum tetapi belum tentu sesuai dengan moral.
3.2 Politik Uang

Politik uang merupakan suatu usaha mempengaruhi pemilih untuk memilih partai politik atau calon anggota DPD, DPR atau DPRD tertentu dengan menjanjikan  atau memberikan  imbalan baik berupa uang, barang, dan atau jasa serta benda hidup atau benda mati lainnya yang dapat dinilai dengan uang yang dilakukan oleh pelaksana kampanye pada masa kampanye.
Landasan yuridis mengenai politik uang di Indonesia dimuat dalam :
1.     UU NO 08 tahun 2012 pasal 84
2.     UU NO 08 tahun 2012 pasal 86 ayat 1 dan 4
3.     UU NO 08 tahun 2012 pasal 89
4.     UU NO 08 tahun 2012 pasal 90
5.     UU NO 08 tahun 2012 pasal 301

Politik Uang Pada Pemilu

Praktik dari politik Uang dalam pemilu sangat beragam. Diantar bentuk-bentuk kegiatan yang dianggap politik uang antara lain :
1.     Distribusi sumbangan baik berupa barang atau uang kepada para kader partai, penggembira, golongan atau kelompok tertentu,
2.     Pemberian sumbangan dari konglomerat atau pengusaha bagi kepentingan partai politik tertentu dengan konsesi-konsesi yang ilegal
3.     Penyalahgunaan wewenang dan fasilitas Negara untuk kepentingan dan atau mengundang simpati bagi partai politik tertentu
Undang-undang mengklasifikasikan subjek pelaku politik uang kedalam pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu. Pelaksana kampanye ialah pengurus partai politik, calon anggota dewan, juru kampanye, orang seorang (individu), dan organisasi yang ditunjuk oleh peserta pemilu. Petugas kampanye sebetulnya masih menjadi bagian dari partai politik karena ditetapkan oleh partai politik, sedangkan peserta kampanye pemilu ialah masyarakat yang berdomisili di daerah pemilihan tempat kampanye dilaksanakan.
Menurut Pasal 89 UU Nomor 8 Tahun 2012, politik uang yang dilakukan oleh pelaksana kampanye dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Ini bisa diterjemahkan apakah janji atau pemberian tersebut dilakukan secara langsung oleh pelaksana kampanye atau melalui orang lain. Yang pasti, siapa pun yang melakukan politik uang artinya telah melanggar larangan kampanye yang diatur dalam undang-undang. Hal itu juga berlaku sama bagi partai politik dan peserta pemilu lainnya, ketika ada pemberian barang yang bukan bagian dari atribut kampanye, misalnya pembagian sembako, pengobatan gratis, atau bentuk lainnya, sudah dapat dikategorikan sebagai politik uang.
Larangan Politik Uang di Indonesia diatur dalam pasal 84 UU no 08 tahun 2012 yang berbunyi :
“Selama Masa Tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3), pelaksana, peserta, dan/atau petugas Kampanye Pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan imbalan kepada Pemilih untuk:
a. tidak menggunakan hak pilihnya;
b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah;
c. memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu; dan/atau
d. memilih calon anggota DPD tertentu.”
kemudian dipertegas lagi dalam pasal 86 ayat 1 huruf J, selain itu larangan Politik Uang juga telah dibuat oleh KPU sebagai lembaga pelaksanaan Pemilu yang tertuang dalam Peraturan Nomor 1 tahun 2013 tentang Pedoman Kampanye, KPU telah dengan tegas melarang setiap peserta pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.
Sanksi Politik Uang

Politik uang merupakan suatu tindakan yang dilarang dilakukan selama masa kampanye berdasarkan UU no 08 tahun 2013 pasal 84, 86 ayat 1 huruf J,  dan dikategorikan sebagai tindak pidana seperti yang tertulis pada pasal 86 ayat 4 UU no 08 tahun 2012 yang berbunyi :
“Pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf c, huruf f, huruf g, huruf i, dan huruf j, dan ayat (2) merupakan tindak pidana Pemilu.”

Sanksi pelanggaran terhadap larangan ini juga diatur dalam UU no 08 tahun 2008 pasal 89 yang berbunyi :
“Dalam hal terbukti pelaksana Kampanye Pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung untuk:
a.      tidak menggunakan hak pilihnya;
b.     menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah;
c.      memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu;
d.     memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu; atau
e.      memilih calon anggota DPD tertentu,
dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”
Kemudian di perjelas dalam pasal 301 UU no 08 tahun 2012 tentang sanksi pidana penjara dan denda atau dapat pula berupa hukuman pembatalan nama calon sesuai pasal 90 UU no 08 tahun 2012

3.3  Hubungan Politik Uang dengan nilai-nilai Pancasila sebagai Etika Politik

Politik uang merupakan suatu tindak pidana dalam pemilu dan merupakan suatu pelanggaran etika politik. Sebagai Negara demokrasi penyelenggaraan Negara harus lah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam pemilu, rakyat dapat menentukan calon pilihan yang dikehendakinya secara bebas dan tanpa paksaan namun, jika disana terdapat politik uang berati si-calon tersebut telah membatasi pilihan si-pemilih, si-calon tidak menjalankan asas pemilu yaitu LUBER JURDIL, sekalipun si-calon lolos dan dapat menjadi anggota dewan, eksekutif, maupun yudikatif tetapi ia tidak menjalankan etika politik yaitu kekuasaan dalam Negara harus dijalankan sesuai dengan asas legalitas.

Seorang anggota dewan yang ketika masa kampanyenya melakukan politik uang berarti dalam menjalankan kekuasaannya diperoleh dengan mengabaikan etika politik yaitu asas legitimasi moral, legitimasi hukum, serta legitimasi demokratis. Praktik politik uang tidak memenuhi asas legitimasi moral karena politik uang merupakan tindakan yang tidak bermoral, tidak bermartabat, tidak berbudi luhur, tidak beradab, membatasi hak-hak individu dalam berpartisipasi politik, dan tidak bertujuan untuk kesejahteraan umum karena pada dasarnya politik uang hanya bertujuan untuk kepentingan calon anggota dewan yang ingin menduduki jabatannya. Praktik politik uang tidak memenuhi asas legitimasi hukum sebab tindakan politik uang tidak berdasarkan hukum yang berlaku, sebelumnya telah dijelaskan bahwa politik uang merupakan suatu tindak pidana. Dan yang terakhir, praktik politik uang tidak memenuhi asas legitimasi demokratis, jelas sekali bahwa politik uang merupakan suatu upaya untuk mempengaruhi pemilih untuk menggunakan hak suaranya untuk memilih calon tertentu dengan menjanjikan atau memberikan suatu imbalan, dengan kata lain politik uang merupakan suatu tindakan yang tidak menghargai adanya perbedaan pendapat dan pendapat individu sebab pemilih hanya memilih karena balas budi.

Asas legitimasi moral berisi penjabaran nilai-nilai pancasila pada sila pertama, kedua, dan ketiga yaitu ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab serta persatuan Indonesia. Sebelumnya telah sebutkan bahwa politik uang merupakan tindakan yang tidak bermoral, tidak bermartabat, tidak berbudi luhur, tidak beradab, membatasi hak-hak individu dalam berpartisipasi politik, dan tidak bertujuan untuk kesejahteraan umum karena pada dasarnya politik uang hanya bertujuan untuk kepentingan calon anggota dewan yang ingin menduduki jabatannya. Sebagai seorang yang beragama, seorang calon anggota dewan tidak seharusnya bertindak seperti itu. Seorang calon pemimpin seharusnya memiliki sifat cerdas, menyampaikan aspirasi, benar dan dapat dipercaya. Dia mungkin seorang yang cerdas karena berpendidikan tinggi namun apa yang dia lakukan kaitannya dengan politik uang bukanlah seorang yang benar, dapat dipercaya dan menyampaikan aspirasi. Rasa kemanusiaannya juga rendah, dia menunjukkan bahwa dirinya bukanlah seorang yang beradab dengan tidak berbuat adil. Mereka tidak adil kepada rakyat karena membatasi mereka untuk berpartisipasi dalam menentukan calon dewan pilihannya. Politik uang hanya menguntungkan sebagian pihak yang nantinya akan menduduki jabatan beserta koloni-koloninya meskipun awalnya mereka beralibi bahwa sumbangan atau apapun yang mereka berikan selama masa kampanye demi kesejahteraan masyarakat bersama.

Asas legitimasi hukum berkaitan dengan status Negara Indonesia sebagai Negara hukum yang artinya segala aktivitas penyelenggaraan Negara harus berdasarkan hukum yang berlaku yaitu bersumber pada aturan yang berlaku. Meskipun dia terpilih secara syah menurut hukum karena terpilih melalui pemilihan umum namun, nyatanya tindakan politik uang yang dilakukannya selama kampanye telah menodai keabshannya sebagai anggota dewan sebab politik uang merupakan suatu tindak pidana.

Dan, asas legitimasi demokratis berkaitan dengan nilai-nilai pancasila sila ke empat dan terakhir yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan permusyawaratan perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Legitimasi demokratis juga berkaitan dengan status Negara Indonesia sebagai Negara Demokrasi yang mana segala aktivitas penyelenggaraan Negara haruslah berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Rakyat merupakan asal mula kekuasaan Negara oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara segala kebijaksanaan, kekuasaan, serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok Negara. Serta harus bertujuan utuk kesejahteraan rakyat pula sehingga dapat mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Praktik politik uang merupakan suatu tindak pembatasan rakyat dalam berpartisipasi dalam kegiatan politik yang artinya para anggota dewan tidak memperhatikan aspirasi rakyat padahal seharusnya Negara demokrasi adalah Negara yang dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara segala kebijaksanaan, kekuasaan, serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat, rakyatlah yang bebas menentukan pilihannya untuk memilih calon pemimpin yang akan memimpin mereka sesuai asas LUBER JURDIL dalam pemilu. Telah dijelaskan bahwa politik uang merupakan suatu tindakan pembatasan aspirasi, para anggota dewan tidak berbuat adil sehingga menimbulkan ketidakadilan  bagi rakyat Indonesia.

IV.  Simpulan
Politik uang merupakan suatu pelanggaran etika politik karena tidak memenuhi asas-asas legalitas yang seharusnya ada dalam penyelenggaraan Negara karena asas-asas legalitas tersebut memuat nilai-nilai pancasila sebagai sumber etika politik. Sebagai calon pemimpin bangsa, seorang calon anggota dewan seharusnya dapat mengaplikasikan nilai-nilai pancasila terutama nilai-nilai pancasila dalam etika politik karena pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia. Agar tujuan Negara dapat tercapai. Sedangkan untuk calon pemilih, meskipun calon anggota dewan mengiming-imingin kita dengan imbalan apapun, kita haruslah bersikap tegas dan tidak mudah goyang pada pilihan kita, selain itu kita dapat melaporkan kasus tersebut agar calon anggota dewan jera dengan tindakannya dan tidak akan ada yang mengikuti langkahnya.


V.    Daftar Pustaka
Kaelan. 2014. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma
Matini. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Hartomo Media Pustaka
Nurtjahjo Hendra. 2006. Filsafat Demokrasi. Jakarta Bumi Aksara
Suseno. 2003. ETIKA POLITIK Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia
REPUBLIKA.CO.ID - 2 Caleg Dtuntut 6 Bulan Penjara diterbitkan pada 08 mei 2014  dilihat pada ‎03 ‎Desember ‎2014, ‏‎17:33:10 diaksaes melalui http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/05/08/n59aiy-2-caleg-dtuntut-6-bulan-penjara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar