Sabtu, 12 Desember 2015

ILMU DAN NILAI


Ilmu pengetahuan diambil dari kata basa inggris scince, yang berasal dari bahasa latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari, mengetahui. Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu mengalami perluasan arti sehingga menunjuk pada segenap pengetahuan sistematik. Dalam basa jerman wissenschaft.Menurut The Liang Gie Pengertian ilmu adalah rangkaian aktifitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu medode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin di mengerti manusia.

1. Hubungan antara ilmu dan nilai

Ilmu merupakan suatu yang sangat urgen bagi manusia, ia menjadi sarana yang membantu manusia untuk mencapai tujuan hidupnya. Namun, ilmu dalam perkembangan dan penerapannya tidak hanya menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi bisa juga menjadi bencana. Seperti teknologi pembuatan bom atom yang awalnya bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi keselamatan manusia, namun pada akhirnya juga bisa menimbulkan malapetaka.
Nilai merupakan tema baru dalam filsafat aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya, muncul untuk yang pertamakalinya pada paruh kedua abad ke-19. Adalah benar bahwa telah mengilhami lebih dari pada seorang filsuf, bahkan Plato telah membahasnya secara mendalam dalam karyanya, dan bahwa keindahan, kebaikan, dan kekudusan merupakan tema yang penting bagi para pemikir disepanjang zaman. Sementara itu, minat untuk mempelajari keindahan belum hilang sama sekali; keindahan, sebagaimana yang Nampak dewasa ini sebagai salah satu perwujudan dari cara pandang yang khas terhadap dunia, sebuah cara yang disebut dengan nilai. Dapat disimpulkan bahwa, nilai merupakan suatu tolak ukur kebaikan, keindahan dan kekudusan suatu objek tertentu.
Menghadapi hal seperti ini maka esensi ilmu mulai dipertanyakan, untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan, apakah ilmu harus dikaitkan dengannilai-nilai moral?, Dihadapkan dengan masalah moral dalam ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak inilah para ilmuwan terlibat dalam perdebatan panjang, apakah ilmu-ilmu yang berkembang dengan pesat tersebut bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Hal ini mengingat bahwa di satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan, sedangkan di pihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai subjektif, seperti nila-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai adat dan sebagainya yang ikut menentukan pilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya.

2. Ilmu bebas nilai (value free)

Paradigma ilmu bebas nilai (value free) mengatakan bahwa ilmu itu bersifat otonom yang tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan nilai. Bebas nilai artinya setiap kegiatan ilmiah harus didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Penganut paradigma ini menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini, ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan dipergunakan untuk tujuan yang baik atau sebaliknya.
Menurut Josep Situmorang, setidaknya ada 3 faktor yang menjadi indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai:
1. Ilmu harus bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologis, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya.
2. Perlunya kebebasan usaha ilmiah, agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan untuk menentukan diri sendiri.
3. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis (yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu), karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Paradigma ini mengikuti jejak yang dikembangkan oleh Copernicus, Galileo, dan filosof seangkatannya yang netral nilai secara total. Mereka berpendapat bahwa objek ilmu tetap sebagai objek ilmiah yang harus dihadapi sama, baik secara teoritis maupun secara metodologis. Oleh karena itu, ilmuwan tidak boleh membedakan apakah objek yang dihadapi ilmu itu merupakan bahan dari zat-zat kimia atau keseragaman peristiwa alam (uniformity of natural) atau merupakan masalah yang ada hubungannya dengan kemanusiaan. Manusia disamping sebagai subjek peneliti ilmu, juga sebagai objek yang diteliti secara objektif dari luar, tanpa terpengaruh dengan apa yang menjiwainya.
Penganut pendapat ini ada yang lebih ekstrim menyatakan bahwa gejala-gejala kemasyarakatan sama dengan gejala fisika, yaitu sama-sama bersifat alami. Pengertian-pengertian seperti kehendak, rasa, motif, nilai dan jenis merupakan hal-hal yang berada di luar dunia eksakta yang adanya hanya dalam dunia angan-angan yang tidak patut ditinjau dari segi ilmiah.
Bebas nilai sesungguhnya adalah tuntutan yang ditujukan pada ilmu agar keberadaannya dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu itu sendiri, artinya tuntutan dasar agar ilmu dikembangkan hanya demi ilmu itu sendiri tanpa pertimbangan politik, agama maupun moral. Jadi, ilmu harus dikembangkan hanya semata-mata berdasarkan pertimbangan ilmiah murni. Agaknya, inilah yang menjadi patokan sekularisme yang bebas nilai.
Dalam pandangan ilmu yang bebas nilai, eksplorasi alam tanpa batas bisa jadi dibenarkan untuk kepentingan ilmu itu sendiri, seperti juga ekpresi seni yang menonjolkan pornografi dan pornoaksi adalah sesuatu yang wajar karena ekspresi tersebut semata-mata untuk seni. Setidaknya, ada problem nilai ekologis dalam ilmu tersebut tetapi ilmu-ilmu yang bebas nilai demi tujuan untuk ilmu itu sendiri barangkali menganggap kepentingan-kepentingan ekologis tersebut bisa menghambat ilmu. Contoh lain misalnya, dulu sebelum ditemukan teknologi sinar laser demi mempelajari anatomi tubuh manusia, maka menguliti mayat manusia dan mengambil dagingnya hingga tinggal tulang-tulangnya diperbolehkan dalam ilmu.
Sedangkan seni misalnya, membuat patung-patung manusia telanjang, lukisan-lukisan erotis, fotografi yang menonjolkan pornografi dan tarian-tarian tanpa busana sama sekali adalah bukan masalah dan dibenarkan secara ilmu seni sepanjang untuk ekspresi seni itu sendiri.
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa penganut paradigma value free berpendirian bahwa ilmu tidak terikat oleh nilai, baik dalam proses penemuannya maupun proses penerapannya karena petimbangan-pertimbangan moral atau nilai hanya menghambat pertumbuhan dan perkembangan ilmu.

3. Ilmu tidak bebas nilai (value bound)

Paradigma ilmu yang tidak bebas nilai (value bound) memandang bahwa ilmu itu selalu terkait dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai. Pengembangan ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, kepentingan-kepentingan baik politis, ekonomis, sosial, religius, ekologis, dan sebagainya.
Filosof yang menganut teori value bound adalah Habermas. Dia berpendirian bahwa teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai, dan semua ilmu bahkan ilmu alam sekalipun tidaklah mungkin bebas nilai karena dalam pengembangan setiap ilmu selalu ada kepentingan-kepentingan teknis.
Dalam pandangan Habermas bahwa ilmu sendiri dikonstruksi untuk kepentingan-kepentingan tertentu yakni nilai relasional antara manusia dan alam seperti ilmu pengetahuan alam, manusia dan manusia seperti ilmu sosial, dan nilai penghormatan terhadap manusia. Jika lahirnya ilmu saja terkait dengan nilai, maka ilmu itu sendiri tidak mungkin bekerja lepas dari nilai. Penganut value bound ini bahkan ada yang mengatakan bahwa nilai adalah ruhnya ilmu. Jadi, ilmu tanpa nilai diibaratakan seperti tubuh tanpa ruh (mati) yang berarti tidak berguna.

4. Ilmu bebas nilai sedangkan aplikasi ilmu dan ilmuwannya terikat nilai
Pendapat ini mengatakan bahwa ilmu bebas nilai hanya terbatas dari segi ontologinya, sedangkan penggunaannya tidak bebas nilai karena harus berdasarkan asas-asas nilai. Mereka berpendirian bahwa masalah nilai tidak terlepas sama sekali dengan fitrah manusia. Manusia adalah makhluk yang selalu menilai untuk menemukan kebenaran dan mempertemukan kebenaran. Sejarah manusia penuh dengan peristiwa-peristiwa yang dihiasi kerelaan mengorbankan nyawa dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Tanpa dasar nilai moral, ilmuwan mudah sekali tergelincir dalam melakukan prostitusi intelektual. Pendapat ini didasari oleh beberapa hal, yakni:
1. Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua Perang Dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan.
2. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang akses-akses yang mungkin terjadi bila ada penyalahgunaan.
3. Ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga ada kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial (social engineering).

Menurut Drs. H. Mohammad Adib, MA, substansi ilmu itu bebas nilai (value-free), tergantung pada pemakaiannya, beliau mengatakan bahwa:
Sangat dikhawatirkan dan berbahaya jika ilmu dan pengetahuan yang sarat muatan negatif dikendalikan atau jatuh ke tangan orang-orang yang berakal picik, sempit, dan sektarian; berjiwa kerdil, kumuh dan jahat, bertangan besi dan kotor. Hal ini berangkat dari fakta belakangan yang menunjukkan terjadinya krisis, kemiskinan, kebodohan, ketidakpercayaan, dan lainnya sebagai dampak dari missmanagement, missdirection, missmanipulation, dan sebagainya.
Berdasarkan hal-hal diatas, maka ilmu secara netral harus bertujuan untuk kesejahteraan manusia, tanpa merendahkan martabatnya. Dengan kesimpulan bahwa pendapat ini mengatakan bahwa ilmu bebas nilai dalam proses
penemuannya dan terikat nilai dalam proses penerapannya, tentunya dalam proses penerapan sangat berkaitan dengan subjek yang mengembangkannya, yaitu ilmuwan itu sendiri. Proses penemuan ilmu memang diusahakan secara maksimal objektif. Usaha itu berupa menjauhkan diri dari segi-segi nilai subjektif . Namun, karena manusia adalah makhluk yang tidak terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan yang berguna baginya, maka dalam penerapan ilmu selalu mempertimbangkan nilai.
Dari paparan tiga paradigma tentang ilmu dan nilai diatas, dapat disimpulkan bahwa netralitas ilmu hanya terletak pada epistemologinya saja, artinya tanpa berpihak pada siapapun selain kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan ilmuwan memiliki landasan moral yang kuat.

DAFTAR PUSTAKA
Ghozali Bachri, dkk. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Tiara Wacana
Surajiyo. 2007. Suatu pengantar Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta : Bumi aksara.
Beerling, Kwee, Mooij Van Peursen. 1986. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Tiara wacana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar