Selasa, 08 Desember 2015

"SEJARAH BANTEN - KRONOLOGI WAKTU PART 3"

Sejarah Pra Islam Dan Berkembangnya Islam Di Banten
Sebelum Islam berkembang di Banten, masyarakat Banten masih hidup dalam tata cara kehidupan tradisi prasejarah dan dalam abad-abad permulaan masehi ketika agama Hindu berkembang di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan purbakala dalam bentuk prasasti arca-arca yang bersifat Hiduistik dan banguan keagamaan lainnya. Sumber naskah kuno dari masa pra Islam menyebutkan tentang kehidupan masyarakat yang menganut Hindu. Sekitar permulaan abad ke 16, di daerah pesisir Banten sudah ada sekelompok masyarakat yang menganut agama Islam. Penyebarannya dilakukan oleh salah seorang pemimpin Islam yang dikenal sebagai wali berasal dari Cirebon yakni Sunan Gunung Jati dan kemudian dilanjutkan oleh putranya Maulana Hasanudidin untuk menyebarkan secara perlahan-lahan ajaran agama Islam daerah Banten.
Banten adalah salah satu pusat perkembangan Islam, karena Banten mempunyai peranan penting dalam tumbuh dan berkembangnya Islam, khususnya di daerah Jakarta dan Jawa Barat. Dikarenakan letak geografisnya yang sangat strategis sebagai kota pelabuhan. Di Banten telah berdiri satu kerajaan Islam yang lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten.
Peninggalan sejarah yang amat berharga ini nampaknya akan selalu menarik untuk diteliti dan dikaji terutama dikalangan sejarawan dan para ilmuan. Disamping karena pertumbuhan dan perkembangan Islam di Banten yang menarik, ternyata sejarah Islam di Banten belum banyak diteliti secara tuntas sehingga masih banyak hal-hal yang penting yang perlu diteliti dan dipelajari secara lebih mendalam.
Keadaan Banten Pra Islam
Daerah Banten memiliki beberapa data arkeologi dan sejarah dari masa sebelum Islam masuk ke daerah ini, sumber data arkeologi menujukan bahwa sebelum Islam masyarakat Banten hidup pada masa tradisi prasejarah dan tradisi Hindu-Buddha. Tradisi prasejarah ditandai oleh adanya alat-alat kehidupan sehari-hari dan kepercayaan yang mereka anut, demikian pula dengan masa kehidupan Hindu dan Buddha ditandai oleh peninggalan Hindu masa itu berupa prasasti arca Nandi dan benda-benda arkeologi lainnya, serta naskah-naskah kuno yang mencatat keterangan tentang kehidupan masyarakat pada masa itu.
Selain itu di Banten terdapat sisa-sisa kebudayaan megalitik tua (4500 SM hingga awal masehi) seperti menhir di lereng gunung Karang di Padeglang, dolmen dan patung-patung simbolis dari desa Sanghiang Dengdek di Menes, kubur tempayan di Anyer, kapak batu di Cigeulis, batu bergores di Ciderasi desa Palanyar Cimanuk, dan lain sebagainya. (Sukendar;1976:1-6) Penggunaan alat-alat kebutuhan yang dibuat dari perunggu yang terkenal dengan kebudayaan Dong Son (500-300 SM) juga mempengaruhi penduduk Banten. Hal ini terlihat dengan ditemukannya kapak corong terbuat dari perunggu di daerah Pamarayan, Kopo Pandeglang, Cikupa, Cipari dan Babakan Tanggerang.
Selain bukti arkeologi berupa arca Siwa dan Ganesha ini belum ada lagi data sejarah yang cukup kuat untuk menunjang keberadaan kerajaan Salakanagara ini yang lebih jelas, adapun prasasti Munjul yang ditemukan terletak disungai Cidanghiang, Lebak Munjul Pandegalng adalah prasasti yang bertuliskan Pallawa dengan bahasa Sangsekerta menyatakan bahwa raja yang berkuasa di daerah ini adalah Purnawarman, ini berarti bahwa daerah kekuasaan Tarumanegara sampai juga ke daerah Banten, karena kerajaan Tarumanegara pada masa itu berada dalam keadaan makmur dan jaya.
Pada awal abad ke XVI, di Banten yang berkuasa adalah Prabu Pucuk Umun, dengan pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang sedangkan Banten Lama hanyalah berfungsi sebagai pelabuhan saja. (Ambary;1982:2) Untuk menghubungkan antara Banten Girang dengan pelabuhan Banten, dipakai jalur sungai Cibanten yang pada waktu itu masih dapat dilayari. (Ayathrohaedi;1979:37) Tapi disamping itu pula masih ada jalan darat yang dapat dilalui yaitu melalui jalan Kelapa Dua. (Hoesein;1983:124)
Untuk selanjutnya keadaan Banten pada abad ke VII samapi dengan abad ke XIII, kita tidak mendapatkan keterangan yang menyakinkan, hal ini disebabkan karena data yang diperoleh para ahli belum lengkap.

Tumbuh dan Berkembangnya Islam Di Banten
Penyebaran Islam di Banten dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, pada tahun 1525 M dan 1526 M. Seperti di dalam naskah Purwaka Tjaruban Nagari disebutkan bahwa Syarif Hidayatullah setelah belajar di Pasai mendarat di Banten untuk meneruskan penyebaran agama Isalam yang sebelumnya telah dilakukan oleh Sunan Ampel. Pada tahun 1475 M, beliau menikah dengan adik bupati Banten yang bernama Nhay Kawunganten, dua tahun kemudian lahirlah anak perempuan pertama yang diberinama Ratu Winahon dan pada tahun berikutnya lahir pula pangeran Hasanuddin. (Atja;1972:26)
Setelah Pangeran Hasanuddin menginjak dewasa, syarif Hidayatullah pergi ke Cirebon mengemban tugas sebagai Tumenggung di sana. Adapun tugasnya dalam penyebaran Islam di Banten diserahkan kepada Pangeran Hasanuddin, di dalam usaha penyebaran agama Islam Ini Pangeran Hasanuddin berkeliling dari daerah ke daerah seperti dari G. Pulosari, G. Karang bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. (Djajadiningrat;1983:34) Sehingga berangsur-angsur penduduk Banten Utara memeluk agama Islam. (Roesjan;1954:10)
Karena semakin besar dan maju daerah Banten, maka pada tahun 1552 M, Kadipaten Banten dirubah menjadi negara bagian Demak dengan Pangeran Hasanuddin sebagai Sultannya. Atas petunjuk dari Syarif Hidayatullah pusat pemerintahan Banten dipindahkan dari Banten Girang ke dekat pelabuhan di Banten Lor yang terletak dipesisir utara yang sekarang menjadi Keraton Surosowan. (Djajadiningrat;1983:144) Pada tahun 1568 M, saat itu Kesultanan Demak runtuh dan digantikan oleh Panjang, Barulah Sultan Hasanuddin memproklamirkan Banten sebagai negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak atau pun Pajang. (Hamka;1976:181) Disamping itu Banten juga menjadi pusat penyebaran agama Islam, banyak orang-orang dari luar daerah yang sengaja datang untuk belajar, sehingga tumbuhlah beberapa perguruan Islam di Banten seperti yang ada di Kasunyatan. Ditempat ini berdiri masjid Kasunyatan yang umurnya lebih tua dari masjid Agung Banten. (Ismail;1983:35) Disinilah tempat tinggal dan mengajarnya Kiayi Dukuh yang bergelar Pangeran Kasunyatan guru dari Pangeran Yusuf. (Djajadiningrat;1983:163)
Kerajaan Islam di Banten Saat itu lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten. Kesultanan Banten telah mencapai masa kejayaannya dimasa lalu dan telah berhasil merubah wajah sebagian besar masyarakat Banten. Pengaruh yang besar diberikan oleh Islam melalui kesultanan dan para ulama serta mubaligh Islam di Banten seperti tidak dapat disangsikan lagi dan penyebarannya melalui jalur politik, pendidikan, kebudayaan dan ekonomi di masa itu.
Setelah kesultanan Banten berakhir maka sekarang tingglallah peninggalan sejarah berupa bekas istana kerajaan dan beberapa bangunan lain seperti; Keraton Surosowan, Keraton Kaibon, Mesjid Agung dan Menara Banten, Mesjid Pacinan Tinggi, Masjid Kasunyatan, Masjid Caringin, Gedung Timayah, makam-makam sultan Banten dan banyak lagi yang lainnya. Bangunan – bangunan itu tidak terlepas dari pengaruh religius (Hinduisme dan Islam), serta terjadinya akulturasi negara-negara lain seperti; Belanda, Cina, dan Gujarat.

Sejarah kebudayaan Cina Tertua di Banten
Sejarah bisa diungkapkan lewat peninggalan-peninggalan masyarakat terdahulu dari segala segi aktivitas dan kreativitas, seperti dilihat dari bentuk – bentuk bangunan, prabotan rumah tangga, persejataan dan karya seni yang menjadi tolak ukur dari nilai-nilai budaya masysarakat pada masa itu. Seperti halnya di Banten banyak terdapat benda-benda bersejarah yang memiliki nilai historis yang dapat menyiratkan suatu riwayat tertentu, baik kejayaan maupun kesuraman suatu masa dalam sejarah.
Di Banten ada sebuah peninggalan kuno bangsa Cina yaitu klenteng yang saat ini merupakan Vihara Budha. Selain orang keturunan Cina yang sering berkunjung kesini banyak pula para turis macanegara dan lokal mengunjungi klenteng ini, karena mereka ingin melihat klenteng Cina yang dibangun pada masa sultan Banten dan konon klenteng tertua di Indonesia. Dari beberapa petugas serta pengawas klenteng itu, diperoleh keterangan serupa bahwa Kleteng ini tertua di Jawa, juga di Indonesia .
Dahulu kampung Pabean memang banyak dihuni oleh orang-orang Cina daerah pelabuhan itu sangat ramai tetapi jauh dari tempat sembahyangnya orang Cina oleh karena itu kerajaan Banten memberikan bangunan kepada orang-orang Cina di Pabean sebuah bangunan besar bekas kantor bea (douane) pada masa VOC di pelabuhan Banten. Bangunan bekas kantor douane itu kemudian di rubah menjadi klenteng dengan nama Bio Hud Couw. Keterangan ini hampir sama dengan yang dipaparkan oleh She Cang bahwa klenteng yang dijaganya sejak tahun 1963 samapi sekarang, semula rumah biasa milik seorang Kapten VOC yang diserahkan untuk dijadikan tempat sembahyang orang Cina, dan pada saat itu orang Cina di Banten lebih dari 1300 kepala keluarga.
Kemudian dalam proses selanjutnya bangunan klenteng itu mengalami perluasan beberapa puluh meter di areal kosong bagian kiri kanan banguan juga bagian depan maupun belakang bangunan tersebut, sedangkan di ruang lainnya yang melengkapi beberapa tempat penampungan para jemaah klenteng. pembangunan yang terus dilakukan secara bertahap di sekitar klenteng memang tidak merubah keaslian klenteng itu sendiri apa lagi yang terletak dibagian tengah klenteng karena diguankan sebagai altar.
Meskipun klenteng ini sudah berusia 500 tahun, kesan tua dan membosankan untuk di pandang memenag tidak terpancar sama sekali di banguanan ini, hal ini lebih banyak disebabkan selain karena perluasan bangunan di sekitar bangunan asli klenteng juga beberapa pengaruh warna cet merah dengan kombinasi warna kuning yang menyala. Cat yang banyak melekat didinding tiang serta kusen lainya memeang sering diperbaharui. Agar warna cat tidak mudar dan tetap indah dipandang para pengunjung.
Lokasi klenteng Cina ini terletak di sebelah barat bangunan Benteng Speelwijk (Benteng yang dibuat Belanda), berjarak puluhan meter saja karena dipisahkan oleh sebuah parit. Klenteng ini di bangun pada masa awal Kerajaan Banten, waktu itu Banten dikenal sebagai pelabuhan rempah-rempah. Bangunan klenteng ini memiliki ciri khas tersendiri sama seperti bangunan-bangunan bersejarah di Banten pada umumnya, tetapi bangunan klenteng amat terpelihara dengan baik dan masih berfungsi sebagai tempat peribadatan para pemeluk agama Budha hingga kini bahkan dalam perkembangannya di sekitar klenteng ini sekarang cukup banyak berdiri penginapan yang khusus di bangun untuk menampung para pengunjung klenteng dari luar kota yang ingin bermalam.
Kita tengok sejarah hubungan antara kesultanaan Banten dengan bangsa Cina pada masa itu, dilihat dari catatan arkeologi pada setiap tahun banyak perahu Cina yang berlabuh di Banten, mereka datang untuk berdagang dan melakukan perdagangan dengan cara barter/menukar dengan lada sebagai bahan utamanya, pada tahun 1614 di Banten ada 4 buah perahu Cina yang rata-rata berukuran 300 ton. Sedangkan menurut catatan J. P. Coen perahu Cina membawa barang dagangan bernilai 300.000 real dengan menggunakan 6 buah perahu. Selain sebagai pedagang orang-orang Cina datang ke Banten sebagai imigran (Clive Day, 1958:69). Intensitas kehadiran para pedagang Cina cukup meramaikan dalam perdagangan di Banten diiringi pula dengan kehadiran imigran yang berfekwensi cukup tinggi.
Mata uang Cina yang ditemukan de Houtman di Banten (Rouffer, 1915:122) sebagai tanda peran serta bangsa Cina pada perdagangan di Banten tidak bisa diangap ringan. Penemuan mata uang Cina ini oleh tim arkeologi di Keraton Surosowan terdapat tulisan Yung Cheng T’ung Pou = Coinage of Stable Peace yang berarti pembuatan mata uang untuk kesetabilan dan perdamaian, sedangkan pada koin sebaliknya diketahui huruf Manchu yang artinya tidak diketahui. Mata uang Cina tersebut berbentuk bulat berlubang segi empat, diameter 2.25-2.80 cm, tebal 0.10-0.18 cm, dan diameter lubang 0.45-0.60 cm. (Halwany, 1993:36)

Ujung Kulon Dalam Lintasan Sejarah
Mengamati berbagai sumber sejarah di nusantara sangatlah banyak, ini akan menimbulkan kecintaan kita terhadap budaya nusantara yang beragam dan bercorak yang sangat menawan. Setelah peninjauan dilokasi-lokasi sejarah bayak kita temui analogi-analogi terhadap daratan lain yang secara fisiografis memperlihatkan sejumlah persamaan ciri di daerah lain nusantara dengan ujung Kulon di Banten, serta hasil survai dan ekskavasi, maka dapatlah dilakukan penyusunan suatu model hipotesis untuk merekonstruksi kehidupan budaya yang pernah berlangsung di Ujung Kulon Panaitan baik pada masa pra-sejarah, zaman hindu-budha, Islam dan terakhir zaman Kolonial, kesemuanya telah ditinggalkan manusia sebagai pelaku kehidupan dan terakhir dimusnahkan oleh letusan gunung Rakata (krakatau) tahun 1883 M (Michrob 1987).
Data arkeologi dan sumber sejarah yang dapat diamati di Ujung Kulon Panaitan, setidaknya memperlihatkan bahwa sekitar daratan selat Sunda ini pernah meniadi salah satu sub-sistem pemukiman dan tempat pemujaan. Ujung Kulan Panaitan memperlihatkan pada kita beberapa artefak dan sisa-sisa bangunan. Seperti lukisan dinding guha di Sangiang Sirah, Patung Siwa dan Ganesha di Panaitan, batu lingga di Handeuleum, kubur islam di dalam guha sanghiang sirah, pemukiman kuna di Taman Jaya dan Sumur, dan beberapa sisa bangunan Kolonial di Tanjung Layar. Secara kronologis dan hipotetis bahwa dari sisa-sisa situs dan artefak tersebut mencerminkan hamparan sisa-sisa perilaku kehidupan dan budaya manusia yang ada sepanjang sejarah dari kurun ke kurun sejarah berikutnya.
Sub sistem pemukiman merupakan bentang ruang hidup manusia yang mana pada bentang ruang tersebut, manusia menyelenggarakan segala upaya kulturalnya untuk memenuhi kebutuhan hidup secara maksimal, baik yang bersifat material maupun spiritual. (Michrob, 1991:31) Pemilihan dan penentuan lokalitas pemukiman biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya jarak terhadap pusat persediaan sumber daya alam atau kita sebut sumber makanan dan air minum, menurut K.C. chang pemukiman manusia cenderung mengelopok, sebagai upaya untuk menekan biaya-baya operasional sampai pada tingkat paling minimal (1967:229-230).
Sementara itu lewis R Binford menyatakan bahwa pola-pola pengelompokan pemukiman manusia seperti yang terlihat setiap pola yang ada pada situs arkeologis, muncul tumbuh dan berkembang sebagai hasil interaksi antara ekonomi terhadap tempat khusus dan taktik-taktik mobilitas barang, maka Soebroto menekankan pula bahwa tipe-tipe situs arkeologis memberikan gambaran adanya hubungan erat antara pemilihan lokasi situs dengan strategi manusia masa lalu dalam memenuhi kebutuhannya.(1985 : 11-25-1122).
Melihat rekonstuksi sejarah Tanjung Layar pada akhir abad ke 18, sangatlah memperhatinkan masa kita lihat mada masa V.O.C. dimana masa itu menghadapi kemunduran dalam perdagangannya karena situasi moneter dunia dan masalah di dalam tubuh VOC sendiri yang kurang sehat, keadaan ini menyebabkan hutang bertumpuk. Penyebab terpenting dalam terjadinya masalah ini antara lain :

- Persaingan dagang yang semakin ketat dari bangsa Perancis, Inggris dan miskinnya penduduk Nusantara, terutama Pulau Jawa karena sistim monopoli yang tak sehat, sehingga mereka tidak mampu membeli barang dagangan yang dibawa VOC.

- Monopoli rernpah-rempah VOC yang sering dilanggar oleh penduduk pribumi, disamping Inggris sudah berhasil menanamnya di India sehingga pasaran rempah-rempah menurun. Banyaknya pegawai VOC yang melakukan korupsi. Banyaknya biaya yang harus dikeluarkan VOC terutama untuk membayar tentara dan pegawainya yang sangat besar. Demikian juga untuk menguasai daerah-daerah yang baru dikuasai terutama di Jawa dan Madura.(Michrob, Halwany & Mujahid,1990:21).
Karena sebab-sebab itulah akhirnya pada tahun 1799, VOC dibubarkan. Semua kekayaan dan utang-piutangnya ditangani pemerintah Kerajaan Belanda. Sejak itulah kepulauan Nusantara di jajah Belanda (Soetjipto, 1961:56). Pada tahun 1789 meletus suatu revolusi besar Revolusi Perancis yang menggoncangkan Eropa dibawah pimpinan Kaisar Napoleon Bonaparte. Sebagian besar Eropa dikuasai Perancis kecuali Inggris. Belanda dapat dikuasai pada tahun 1807. Louis I Capoleon adiknya Kaisar Napoleon yang diberi kuasa di Belanda mengangkat Daendels sebagai Gubernur Jenderal di kepulauan Nusantara, ia datang di Batavia pada tahun 1808 dengan tugas pertama mempertahankan Pulau Jawa dari serangan tentara Inggris di India.
Untuk menjalankan tugas ini Daendels membangun sarana dan prasarana pertahanan seperti : jalan-jalan pos, personil, barak, benteng, pelabuhan tentara, rumah sakit tentara dan pabrik mesiu. Semua itu harus segera diselesaikan dengan dana serendah mungkin, karena memang dana dari negeri Belanda tidak bisa diharapkan. Untuk itulah dilakukan kerja paksa (kerja rodi) yaitu para pekerja bekerja tanpa upah.

Pekerjaan pertama Deandles adalah membuat pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon. Untuk itu Daendels memerintahkan kepada Sultan Banten. untuk mnengirimkan pekerja rodi sebanyak-banyaknya agar pekerjaan yang direncanakannya cepat telaksana. Akan tetapi karena derahnya berawa-rawa, banyak pekerja yang mati terkena penyakit malaria. Sehingga banyak diantara mereka yang melarikan diri. Keadaan ini membuat Daendels marah dan menuduh Mangkubumi Wargadiraja sebagai biang keladi larinya pekerja-pekerja itu. Melalui utusan sultan yang datang ke Batavia, Daendels memerintahkan supaya :

a. Sultan harus mengirimkan 1000 orang rakyatnya setiap hari untuk dipekeriakan di Ujung Kulon.
b. Sultan harus segera menyerahkan patih Mangkubumi Wargadiraja ke Batavia.
c. Sultan supaya segera memindahkan keratonnya ke daerah Anyer, karena di Surosowan akan dibangun benteng Belanda.
Sudah tentu tuntutan ini ditolak mentah-mentah oleh Sultan. Karena permintaannya ditolak maka dengan segera dan secara sembunyi-sembunyi dikirimlah pasukan dalam jumlah yang besar yang dipimpin langsung oleh Gubenur Jendral Daendels sendiri ke Banten. Dua hari kemudian pasukan ini sampai di perbatasan kota. Sebagai pringatan pertama-tama dikirimlah utusan Komandeur Philip Pieter oleh pihak kolonial Belanda ke istana Surosowan (Banten) untuk menanyakan kembali kesanggupan Sultan. Namun karena kebencian rakyat yang sudah demikian memuncak kepada Belanda, maka utusan belanda tersebut dibunuh di depan pintu gerbang kraton (Michrob, 1990). Tindakan ini dibalas Daendels dengan diserangnya Surosowan pada hari ltu juga yakni tanggal 21 Nopember 1808. (Chis, 1881).
Serangan yang tiba-tiba ini sangat mengejutkan dan memang diluar dugaan, sehingga sultan tidak sempat lagi menyiapkan pasukannya. prajurit-prajurit Sultan dengan keberanian yang mengagumkan berusaha mempertahankan setiap jengkal tanah airnya. Tapi akhirnya Daendels dapat meluluh lantahkan tanah Surosowan hingga menjadi puing-puing berserakan. Surosowan dapat direbutnya menjadi kekuasaannya. Sultan ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Sedangkan patih Mangkubumi dihukum pancung dan mayatnya dilemparkan ke Laut. Selanjutnya Banten dan Lampung dinyatakan sebagai daerah jajahan Belanda. Tangerang, Jasinga dan Sadang dimasukan ke dalam teritorial Batavia.
Setelah Istana Surosowan hacur lebur maka diangkatlah Putra Mahkota dengan gelar Sultan Wakil Pangeran Suramanggala, walaupun masih bergelar sultan, namun kekuasaannya tidak dapat melebihi kekuasaan sultan pada biasanya karena ia tidak lebih dari seorang pegawal Belanda. Sultan tidak mempunyai kuasa apa-apa ia hanya mendapatkan gaji 15.000 real setiap tahun dari pemerintah Belanda. (Sanusi Pane, 1950 b:II).
Pengerjaan pembuatan Pangkalan Angkatan Laut dihentikan karena banyak pekerja yang mati dan sakit disebabkan daerah proyek Pangkalan tersebut berupa rawa-rawa, maka pekerjaan pembuatan Pangkalan di Ujung Kulon dipindahkan ke daeah Anyer. Dalam proses pembuatan pangkalan tersebut Deandles melakukan tindakan-tindakan yang keras sehingga menambah kebencian rakyat Banten kepada pemerintahaan Belanda.
Kesimpangsiuran informasi itu menurut Halwany Michrob, wajar-wajar saja sebab pembautan jalan Deandels saat itu melaukannya dalam dua tahapan, tahap pertama merupakan pembuatan jalan untuk membuka poros Batavia – Banten pada tahun 1808, pada masa itu Daendels memfokuskan kegiatannya pada pembangunan dua pelabuhan di utara (Merak) dan di selatan (Ujung Kulon). Jalur ini melalui garis pantai dari Batavia menuju Carita, Caringin, menembus Gunung Palasari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak hingga Jasinga (Bogor). Tahap kedua dimulai tahun 1809, Dari Anyer Melalui Pandeglang jalan bercabang dua menuju Serang (utara) dan Lebak (selatan).
Dari Serang, rute selanjutnya Ke Tangerang, Jakarta, Bogor, Puncak, Cianjur, Bandung, Sumedang, Cirebon hingga Panarukan, sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Jalan inilah jalan yang di sebut jalan utama atau jalan protokol, tetapi itu tidak berarti bahwa tidak ada cabang-cabang jalan lainnya yang dilewati oleh Daendels.
Karena banyak masyarakat yang membenci Pemerintahan Belanda maka timbullah perompak-perompak kapal Belanda di sekitar selat Sunda di daerah laut sedangan di daratan timbul pula para pencuri yang digerakkan oleh Alim Ulama setempat yang tidak senang dengan sepak terjang pemerintahaan Belanda. Seperti kejadian di Cibungur dan di pantai Teluk Marica, terjadi serangan Belanda ke daerah ini tapi tidak berhasil, akhirnya Belanda melakukan serangan lagi yang dipimpin langsung oleh Daendels sendiri dan hasilnya tidak mengecewakannya, Belanda dapat menguasai Cibungur dan di pantai Teluk Marica (Pane sanusi 1950 b:11), Daendelas mencurigai Sultan Banten sebagai dalang kerusuhan-kerusuhan yang sering terjadi.
Akhirnya Daendles bersama pasukannya datang ke Banten untuk menankap dan memenjarakan Sultan Banten di Batavia, dan sebagian orang-orang Banten yang tertangkap di laut selat Sunda ataupun didaratan dipenjarakan di Ujung Kulon. Benteng dan istana Surosowan Banten dibakar dan dibumi hanguskan pada tahun 1909 (Rusjan 195). Untuk melemahkan perlawanan rakyat Banten, Belanda membagi daerah Banten dalam tiga wilayah yang statusnya sama dengan Kabupaten seperti; Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer, Ke tiga wllayah tersebut di bawah pengawasan Landros (semacam Residen) yang berkedudukan di Serang. Untuk wilayah Banten Hulu diangkat Sultan Muhammad Syafiuddin, putra Sultan Muhyiddin Zainul Solihkin yang berkedudukan di Caringin, Labuan (Pane, Sanusi 1950:14 dan Ismail,1981:27) pada tahun 1809 itu pulalah mulai dikerjakan pembuatan jalan Pos dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1000 km. Jalan ini dikerjakan hanya dalam tempo waktu satu tahun dengan mengorbankan beribu-ribu rakyat Banten, begitu pun pembuatan proyek pelabuah maritim di Uiung Kulon (Tanjung Layar) yang banyak mengorbankan jiwa manusia karena disana masih banyak binatang buas.
Pembangunan jalan Daendels dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) sejauh 1000 km pada tahun 1809 – 1810 yang bertujuan untuk mempercepat tibanya surat-surat yang dikirim antar Anyer hingga Panarukan atau sebagai jalan pos, namun jalan-jalan itu dalam perkembangan selanjutnya banyak dipengaruhi kehidupan masyarakat disekitarnya dan telah berubah fungsinya antara lain mejadi jalan ekonomi atau jalan umum dan kini sudah banyak bangunan disekitarnya.
Pada tahun 1808-1809 Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute Batavia-Banten tahap pertama, pada saat itu rakyat masih mau menghimpun kekuatan untuk melaksanakan perintah paksa Daendles, namun setelah terjangitnya penyakit malaria dan banyak yang tewas, maka rakyat menghentikan bantuannya. Karena banyaknya korban pada pembuatan jalan Batavia-Banten masih simpang siur, menurut beberapa sejarahwan Indonesia, yang meninggal sekitar 15.000 orang dan banyak yang meningal tampa dikuburkan secara layak. Walaupun demikian Daendels semakin keras menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan jalan apapun alasannya.

Banten Girang Gerbang Kerajaan Banten
Nuansa Islam dalam budaya Banten nampaknya cukup kuat hingga saat ini. Terbukti dengan hadirnya para ulama, pesantren dan qari-qariah, yang tersebar di seluruh pelosok Banten.Budaya Banten bisa diidentifikasi dengan menelusuri, baik produk-produk kesusasteraan seperti naskah-naskah, babad, atau buku-buku keagamaan, berbagai cerita rakyat (folklore) yang masih hidup dalam ingatan masyarakat, yang dituturkan oleh kelompok sub etnik Banten, maupun warisan budaya material dalam pengertian yang luas. Kategori yang disebut terakhir ini terlihat pada karya-karya arsitektur, teknologi, kesenian dan sebagainya.
Banten sebenarnya merupakan toponim yang memiliki aspek ruang, dan secara geografis masih sering dikaitkan dengan bekas Karisidenan Banten, meliputi Kabupaten Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang dan Kotamadya Tangerang. Selain itu, toponim Banten juga memiliki kaitan dengan Banten Girang, Banten Lama dan Banten Hilir. Berdasarkan naskah-naskah yang ada, diduga kuat bahwa toponim Banten Baru muncul pada akhir abad ke-15 M. Hal ini berdasarkan fakta bahwa toponim Banten tidak dicantumkan dalam naskah yang lebih tua, seperti Babad Nagarakartagama (1345 M). Bahkan, dalam naskah Pujangga Manik (Pajajaran), yang berasal dari awal abad ke-16, nama toponim Banten belum dimuat.
Kajian Suwedi Montana, misalnya, menunjukkan bahwa nama Banten, atau yang dapat ditafsirkan sebagai Banten, tampak dari sejumlah historiografi lokal, seperti Cina Parahyangan yang menyebut istilah "Wahanten Girang", prasasti Kaban-tenan menyebut nama "Bantam", dan Purwaka Caruban Nagari yang memuat istilah "Kawungaten". Selain itu, catatan Tome Pires (1512-1515) menyebut "Bantam" sebagai salah satu pelabuhan penting Kerajaan Sunda, di samping "Pongdam" (Pontang), "Cheguide" (Cigading), "Tamgaram" (Tangerang), "Calapa" (Sunda Kelapa) dan "Chemano" (Cimanuk). Pada abad 16-18 Banten kemudian berkembang menjadi label wilayah politik dan nama Kesultanan yang bercorak Islam.
Dilihat dari segi demografi, Banten menunjukkan adanya dua kelompok etnisitas, yaitu: (1) sub etnik Banten Pesisiran yang membentang sepanjang pesisir utara Jawa Barat, mulai dari daerah Tangerang di sebelah utara, yang berbatasan dengan sub etnik Betawi, sampai Anyer-Cilegon di sebelah selatan barat; (2) sub etnik Banten-Sunda yang wilayah huniannya mulai dari Serang Selatan (Banten Girang) sampai ke pedalaman selatan berbatasan dengan Samudera India.
Tidak banyak yang diketahui mengenai sejarah dari bagian terbarat pulau Jawa ini, terutama pada masa sebelum masuknya Islam. Keberadaanya sedikit dihubungkan dengan masa kejayaan maritim Kerajaan Sriwijaya, yang menguasai Selat Sunda, yang menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera. Dan juga dikaitkan dengan keberadaan Kerajaan Sunda Pajajaran, yang berdiri pada abad ke 14 dengan ibukotanya Pakuan yang berlokasi di dekat kota Bogor sekarang ini. Berdasarkan catatan, Kerajaan ini mempunyai dua pelabuhan utama, Pelabuhan Kalapa, yang sekarang dikenal sebagai Jakarta, dan Pelabuhan Banten.
Dari beberapa data mengenai Banten yang tersisa, dapat diketahui, lokasi awal dari Banten tidak berada di pesisir pantai, melainkan sekitar 10 Kilometer masuk ke daratan, di tepi sungai Cibanten, di bagian selatan dari Kota Serang sekarang ini. Wilayah ini dikenal dengan nama “Banten Girang” atau Banten di atas sungai, nama ini diberikan berdasarkan posisi geografisnya. Kemungkinan besar, kurangnya dokumentasi mengenai Banten, dikarenakan posisi Banten sebagai pelabuhan yang penting dan strategis di Nusantara, baru berlangsung setelah masuknya Dinasti Islam di permulaan abad ke 16.
Penelitian yang dilakukan di lokasi Banten Girang di tahun 1988 pada program Ekskavasi Franco – Indonesia, berhasil menemukan titik terang akan sejarah Banten. Walaupun dengan keterbatasan penelitian, namun banyak bukti baru yang ditemukan. Sekaligus dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten ternyata jauh lebih awal dari perkiraan semula dengan ditemukannya bukti baru bahwa Banten sudah ada di awal abad ke 11 – 12 Masehi. Banten pada masa itu sudah merupakan kawasan pemukiman yang penting yang ditandai dengan telah dikelilingi oleh benteng pertahanan dan didukung oleh berbagai pengrajin mulai dari pembuat kain, keramik, pengrajin besi, tembaga, perhiasan emas dan manik manik kaca. Mata uang logam (koin) sudah digunakan sebagai alat pembayaran, dan hubungan internasional sudah terjalin dengan China, Semenanjung Indochina, dan beberapa kawasan di India.

Secara nyata, tidak ada keputusan final yang dapat diambil sebelum penelitian dilakukan lebih lanjut, tapi dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten sudah berlangsung sangat lama dan teori bahwa keberadaannya dimulai pada saat terbentuknya Kerajaan Islam di Banten, tidak lagi dapat dipertahankan. Bangsa Portugis telah mendokumentasikan keberadaan Banten dan sekitarnya pada awal abad ke 16, kurang lebih 15 tahun sebelum Kerajaan Islam Banten terbentuk.
Setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, bangsa Portugis memulai perdagangan dengan bangsa Sunda. Ketertarikan utama mereka adalah pada Lada yang banyak terdapat di kedua sisi Selat Sunda. Bangsa Cina juga sangat berminat pada jenis rempah rempah ini, dan kapal Jung mereka telah berlayar ke pelabuhan Sunda setiap tahunnya untuk membeli lada. Walaupun Kerajaan Pajajaran masih berdiri, namun kekuasaannya mulai menyusut. Kelemahan ini tidak luput dari perhatian Kerajaan Islam Demak. Beberapa dekade sebelumnya Kerajaan Demak telah menguasai bagian timur pulau Jawa dan pada saat itu bermaksud untuk juga menguasai pelabuhan Sunda. Masyarakat Sunda, memandang serius ekspansi Islam, melihat makin berkembangnya komunitas ulama dan pedagang Islam yang semakin memiliki peranan penting di kota pelabuhan “Hindu”.
Menghadapi ancaman ini, Otoritas Banten, baik atas inisiatifnya sendiri maupun atas seizin Pakuan, memohon kepada bangsa Portugis di Malaka, yang telah berulangkali datang berniaga ke Banten. Di mata otoritas Banten, bangsa Portugis menawarkan perlindungan ganda; bangsa Portugis sangat anti Islam, dan armada lautnya sangat kuat dan menguasai perairan di sekitar Banten. Banten, di sisi lain, dapat menawarkan komoditas lada bagi Portugis. Negosiasi ini di mulai tahun 1521 Masehi.
Tahun 1522 Masehi, Portugis di Malaka, yang sadar akan pentingnya urusan ini, mengirim utusan ke Banten, yang dipimpin oleh Henrique Leme. Perjanjian dibuat antara kedua belah pihak, sebagai ganti dari perlindungan yang diberikan, Portugis akan diberikan akses tak terbatas untuk persediaan lada, dan diperkenankan untuk membangun benteng di pesisir dekat Tangerang. Kemurah hatian yang sangat tinggi ini menggaris bawahi tingginya tingkat kesulitan yang dihadapi Banten. Pemilihan pembuatan benteng di daerah Tangerang tidak diragukan lagi untuk dua alasan : yang pertama, agar Portugis dapat menahan kapal yang berlayar dari Demak, dan yang kedua untuk menahan agar armada Portugis yang sangat kuat pada saat itu, tidak terlalu dekat dengan kota Banten. Aplikasi dari perjanjian ini adalah adanya kesepakatan kekuasaan yang tak terbatas bagi Portugis. Lima tahun yang panjang berlalu, sebelum akhirnya armada Portugis tiba di pesisir Banten, di bawah pimpinan Francisco de Sá, yang bertanggungjawab akan pembangunan benteng.
Sementara itu, situasi politik telah sangat berubah dan sehingga armada Portugis gagal untuk merapat ke daratan. Seorang ulama yang sekarang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, penduduk asli Pasai, bagian utara Sumatera setelah tinggal beberapa lama di Mekah dan Demak, pada saat itu telah menetap di Banten Girang, dengan tujuan utama untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Walaupun pada awalnya kedatangannya diterima dengan baik oleh pihak otoriti, akan tetapi Ia tetap meminta Demak mengirimkan pasukan untuk menguasai Banten ketika Ia menilai waktunya tepat. Dan adalah puteranya, Hasanudin, yang memimpin operasi militer di Banten. Islam mengambil alih kekuasaan pada tahun 1527 M bertepatan dengan datangnya armada Portugis. Sadar akan adanya perjanjian antara Portugis dengan penguasa sebelumnya, Islam mencegah siapapun untuk merapat ke Banten. Kelihatannya Kaum Muslim menguasai secara serempak kedua pelabuhan utama Sunda, yaitu Kalapa dan Banten, penguasaan yang tidak lagi dapat ditolak oleh Pakuan.
Sebagaimana telah sebelumnya dilakukan di Jawa Tengah, Kaum Muslim, sekarang merupakan kelas sosial baru, yang memegang kekuasaan politik di Banten, dimana sebelumnya juga telah memegang kekuasaan ekonomi. Putera Sunan Gunung Jati, Hasanudin dinobatkan sebagai Sultan Banten oleh Sultan Demak, yang juga menikahkan adiknya dengan Hasanudin. Dengan itu, sebuah dinasti baru telah terbentuk pada saat yang sama kerajaan yang baru didirikan. Dan Banten dipilih sebagai ibukota
Kerajaan baru tersebut.
Masyarakat dan budaya Banten, terutama dengan alam dan budaya Islamnya, mungkin hanya dapat dikenali dengan merunut kembali peristiwa sejarah transformasi pusat administrative politik dari Banten Girang di pedalaman - yang berada di bawah subordinasi Pakuan Pajajaran yang Hinduistik ke daerah pantai yang sekarang dikenal dengan Banten Lama. Peristiwa transformasi tersebut berlangsung pada tahun 1526 oleh Syarif Hidayatullah dan Maulana Hasanuddin. Sejak itu embrio dan fondasi masyarakat dan budaya Banten diletakkan dan ditetapkan dalam format yang berciri keislaman. Prof. Dr. Hasan Muarif Ambari, Kepala Pusat Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas, Depdikbud Rl) yang juga staf peneliti pada Pusat Pengkaian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta ini, dalam bukunya "Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia" (penerbit Logos) memperlihatkan fase-fase pertumbuhan perkembangan budaya Banten dalam panggung sejarah, dirunut dalam fase-fase berikut:
(1). Fase Pra-Sunda Islam (1400-1525). Pada masa itu Banten merupakan daerah bawahan kerajaan Pakuan Pajajaran yang Hinduistis, yang berpusat di Banten Girang (Kota Serang sekarang).
(2). Fase awal Penyebaran Islam (1525-1619), suatu fase di mana Islam disiarkan oleh Sunan Gunung Jati dari Cirebon dan Maulana Hasanuddin yang beraliansi dengan Demak. Pada masa ini terjadi transformasi keagamaan, perpindahan pusat pemerintahan dan mulai berkembangnya Banten sebagai pelabuhan - alternatif setelah Malaka.

Pendirian kota Banten Sorasowan, dengan komponen-komponen arsitektur dan monumental berciri Islam, telah menyebabkan pertumbuhan dan ramainya perdagangan. Para pedagang Inggris, Denmark, Portugis, dan Turki datang melakukan transaksi perdagangan di Bandar Banten. Sebelumnya, Banten telah berhubungan dengan Cina, sehingga etnis terakhir ini telah membentuk satu komunitas tersendiri yang memberi sumbangan besar bagi perkembangan perdagangan di Banten.
(3). Fase Keseimbangan Kekuatan, yakni satu fase tanpa adidaya di mana seluruh kekuatan politik dan ekonomi yang ada di Banten memiliki kekuatan yang seimbang (armada dagang Eropa, Ke-sultanan Banten, Cirebon, Batavia dan Mataram). Keseimbangan kekuatan ini di antaranya bisa dilihat dari beberapa peristiwa politik yang berlangsung saat itu, yang tidak memperlihatkan adanya do-minasi satu kekuatan politik tertentu terhadap kekuatan politik lain: yakni penyerangan Banten ke Batavia, blokade Belanda atas Teluk Banten, tumbuh dan kuatnya kekuasaan Sultan Ageng Tirta-yasa, dan pilihnya tingkat kemakmuran masyarakat Banten. Pada fase inilah, Banten mencapai puncak ketinggian budaya (tamaddun Islam).
(4). Fase Penguasaan (VOC) Belanda, pendirian Benteng Speelwik yang langsung atau tidak langsung memperlihatkan wujud hubungan antara Banten dan VOC, masih berkembangnya "kota" Surosowan dan lain-lain.
(5). Fase Surut dan Jatuhnya Kesultanan Banten. Hindia Belanda terkena imbas perang Napoleonik/Rep. Batavia, interval penguasaan Inggris (1811-1816), pemindahan administrasi politik ke Serang Surosowan dihancurkan, didirikannya Keraton Kaibon dan dipecahnya bekas wilayah Kesultanan Banten menjadi tiga daerah setara Kabupaten (Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer) di bawah pengawasan landraad (setara residen), pada tahun 1809 pembuatan jalan raya Daendells.
(6). Fase Mutakhir. Setelah Kesultanan Banten dihapuskan oleh Belanda timbul berbagai pergolakan, pemberontakan dan perlawanan rakyat dipimpin oleh para ulama/bangsawan, bencana alam (meletusnya Krakatau dan wabah penyakit sampar), pendudukan Jepang, perang kemerdekaan, dan sampai sekarang memasuki masa pembangunan.
Di balik semua kilas balik sejarah ini, hal yang tetap hidup dan terus mengakar pada masyarakat Banten adalah kultur Islam. Pesantren terus menerus menghasilkan kader dan para ulama tetap berdakwah. Rakyat mulai mengarahkan orientasi kepemimpinan dari raja/sultan kepada para ulama/mubaligh/kiyai. Dalam situasi seperti ini, yang bermula sejak pertumbuhan Islam di Banten, budaya pesisiran dan budaya pedalaman di daerah selatan Banten (kecuali daerah Baduy) terus menerus memantapkan keislamannya. Oleh karena itu, dari segi budaya Banten dapat disetarakan dengan masyarakat kota seperti Mataram dan Cirebon.

Jawara dalam kehidupan masyarakat Banten
Di sebagian masyarakat Jawa bagian Barat umumnya dan Banten khususnya, keberadaan jawara memiliki rentetan sejarah yang sangat panjang. Jawara bukanlah sosok penamaan yang baru muncul kemarin sore, keberadaannya ditenggarai telah ada sejak zaman kerajaan Sunda berdiri yang hingga kini masih tetap eksis, bahkan di Banten sendiri sejak abad ke 19 kelompok jawara telah menjadi bagian dari golongan elit masyarakat selain kaum ulama dan pamong praja.
Bagi masyarakat Banten dan sekitarnya, ulama dipandang sebagai tokoh masyarakat yang menjadi sumber kepemimpinan informal terpenting. Masyarakat mematuhi perintah ulama karena memandang kaum ulama sebagai sosok yang disegani. Berbeda dengan kedudukan ulama, pamong praja dan jawara merupakan kelompok sosial yang kedudukannya tidaklah melebihi kedudukan kaum ulama. Namun diantara ketiganya, ulama dan jawara menjadi golongan yang khas di daerah ini. Keduanya diibaratkan bagai dua sisi mata uang, bahkan karena kedekatan emosional diantara keduanya, jawara dianggap sebagai “khodam” nya para ulama. Karena dari para ulamalah sebagian besar “keilmuan” jawara itu berasal. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kalau Taufik Abdullah menyebut Banten, sebagai “negeri para ulama dan jawara”.
Seiring dengan perjalanan waktu, persepsi masyarakat terhadap Jawara memiliki pemahaman yang beragam, mulai dari hal yang positif sampai ke hal yang negatif. Pemahaman masyarakat yang beragam ini tidak terlepas dari sepak terjang sosok Jawara, yang memiliki peranan cukup besar dalam tiga masa perjalanan sejarah di Banten dan Jawa bagian Barat, yaitu masa kerajaan Sunda, kesultanan Banten, dan masa kolonial Belanda. Belakangan, kehidupan jawara dengan character building yang khas itu menciptakan sub kultur kebudayaan baru masyarakat Banten dan sekitarnya, yaitu Subculture of Violence (sub kultur kekerasan). Permasalahan ini muncul ke permukaan akibat terkontaminasinya nilai-nilai kejawaraan sehingga sebagian masyarakat ada yang menilai jawara identik dengan premanisme.
Sebagai subkultur kekerasan, jawara memiliki motif-motif tertentu dalam melakukan kekerasan. Merekapun mengembangkan gaya bahasa atau tutur kata yang khas, yang terkesan sangat kasar (sompral) dan penampilan diri yang berbeda dari mayoritas masyarakat. seperti berpakaian hitam dan memakai senjata golok (Atu Karomah, Jawara dan Budaya Kekerasan pada Masyarakat Banten, Tesis S2 UI). Penampilan terakhir inilah yang sebagian besar masyarakat umum diidentikan dengan pencak silat tradisional.
Penafsiran Sejarah Istilah Jawara
Belum adanya pencatatan histographia mengenai awal mula kemunculan istilah jawara di masyarakat Banten dan Jawa bagian Barat, menyulitkan untuk diketahui secara pasti kapan dan dimana penggunaan istilah Jawara ini diberikan kepada seseorang yang memiliki kunggulan fisik dan supranatural, dan cenderung menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalannya. Begitupun halnya dengan istilah jawara itu sendiri. Penyusuran proses kemunculan istilah jawara baru terbatas pada sejarah sosial (budaya tutur) bersifat “stamboom” bukan “geschiedenis” atau “history”, yang secara akademis sukar untuk dipertanggung jawabkan.
Dari stamboom yang ada, sebagian besar masyarakat sepakat untuk menunjuk daerah Banten sebagai tempat dimana istilah ini pertama kali muncul, karena jawara merupakan salah satu entitas masyarakat Banten yang sangat terkenal. Hingga dalam perkembangannya menyebar ke beberapa daerah yang melingkupinya termasuk Betawi, Bekasi-Pantura, Bogor dan Priangan bersamaan dengan dimulainya proyek pembangunan Jalan Raya Pos Deandles (RM. Taufik Djajadiningrat, Sejarah dan Silsilah Ringkas Para Sinuhun Kesultanan Banten, 1995 : 121-122).
Berdasar catatan seorang peneliti sejarah kabupaten Lebak, Miftahul Falah, S.S menguraikan bahwa sejarah sosial masyarakat Banten sendiri memiliki empat penafsiran tentang proses kemunculan istilah jawara.
Penafsiran pertama ketika kerajaan Sunda menggunakan sekelompok masyarakat sebagai perantara atau penghubung antara masyarakat dengan rajanya. Mereka memiliki kewenangan tidak hanya melayani antara raja dan rakyat, tetapi juga membela dan melindunginya. Dalam keseharian mereka memiliki ke khasan dalam berpakaian dan gaya hidupnya, seperti jago dalam menyabung ayam, pandai bermain pencak silat dan memiliki ilmu “kadugalan” yang kebal senjata tajam sebagai kekuatan supranaturalnya. Dalamperkembangan selanjutnya, keterampilan bermain silat dan kekebalan tubuh yang dimilikinya menjadi ciri utama kelompok ini sehingga melahirkan sebutan jawara.
Penafsiran kedua, ketika pada masa Kesultanan Banten dipegang oleh Maulana Hasanuddin. Dalam menghadapi pasukan Pajajaran yang teramat kuat, Sultan membentuk sekelompok orang-orang dalam satu pasukan khusus yang dipimpin oleh Maulana Yusuf. Setiap anggotanya memiliki keunggulan secara lahir dan batin, militan dan mampu mengahncurkan secara cepat menyusup ke pusat pemerintahan Pajajaran di Pakuan. Pasukan khusus tanpa identitas itu diberi nama Tambuhsangkane, yang bergerak dengan tidak mengatas namakan kesultanan Banten. Sifat militan yang dimiliki oleh pasukan khusus ini menumbuhkan sifat pemberani dan kemudian dibina secara terus menerus. Dari merekalah kemudian lahir kaum jawara.
Penafsiran ketiga, F.G. Putman Craemer, Residen Banten (1925-1931), istilah jawara dimulai dengan dibentuknya perkumpulan Orok Lanjang oleh golongan pemuda di Distrik Menes Pandeglang, yang bermakna harfiah sebagai “bayi yang menjelang dewasa”. Perkumpulan kampung ini pada awalnya dibentuk untuk meningkatkan hubungan kekerabatan dalam satu lingkungan, memberikan pertolongan dan pelayanan dalam segala kegiatan termasuk membantu masyarakat dalam penyelenggaraan pesta atau acara kampung.
Lambat laun tugas yang diserahkan masyarakat kepada kelompok pemuda ini sebagai penyelenggara acara kampung menjadi satu kewajiban, apabila tidak diundang atau diserahkan sebagai petugas penyelenggara mereka akan mengacau atau bahkan menggagalkan jalannya acara. Pada perkembangannya, kelompok ini berkembang menjadi organisasi tukang pukul yang dikenal dengan sebutan jawara. Mereka menjadi organisasi momok yang menakutkan bagi masyarakat, sampai-sampai aparat praja setempat tidak dapat bertindak tegas kepada mereka.
Penafsiran keempat, istilah jawara muncul ketika terjadi perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda di abad 19 yang digerakkan oleh kaum ulama. Kaum ulama yang umumnya memiliki dua kelompok santri yang dididik berdasar bakat dan kemampuan mereka, dimana kelompok pertama merupakan kaum santri yang memiliki bakat di bidang ilmu agama yang akan menggantikan posisi para ulama nantinya. Mereka dibekali ilmu hikmah selain ilmu agama Islam sebagai ilmu dasarnya .
 Sedangkan kelompok kedua merupakan kaum santri yang memiliki bakat dan kemampuan di bidang bela diri pencak silat. Kelompok kedua ini dididik dan dibina kekuatan fisiknya dengan ilmu bela diri pencak silat, dan dibekali pula dengan ilmu hikmah namun jauh lebih sedikit porsinya dibanding santri kelompok pertama. Mereka ditugasi untuk melakukan teror terhadap pemerintah kolonial Belanda dan kaki tangannya. Kelompok kedua inilah yang kemudian hari disebut dengan jawara.
Penafsiran kelima, istilah jawara muncul sebagaimana yang diungkapkan RM Taufik Djajadiningrat, tatkala dimulainya pembangunan Jalan Raya Pos Deandles (1808-1811) antara Anyer-Panarukan. Pembangunan jalan yang sangat merugikan rakyat ini menimbulkan pemberontakan dikalangan para pendekar persilatan, dikenal dengan peristiwa Perang Pertama. Dari peristiwa pemberontakan ini memunculkan julukan jawara yang ditujukan kepada mereka.
Pada awalnya istilah jawara memiliki makna sebagai jagoan, dengan pengertian jago dalam menyabung ayam dan bela diri pencak silat. Selain itu, mereka pun memiliki kemampuan untuk mempertontonkan ilmu kekebalan. Kemampuan-kemampuan itu dipergunakan oleh para jawara untuk membela dan menciptakan rasa aman dan ketenangan di lingkungannya. Kemampuan itu mereka miliki karena kedudukannya sebagai pemimpin informal di tengah-tengah masyarakat, baik semasa kerajaan Sunda, kesultanan Banten, maupun pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Pergeseran makna jawara yang terkontaminasi dengan hal yang negatif terjadi pada abad ke 19 ketika Banten dan sekitarnya diwarnai oleh kekacauan dan perampokan yang tiada tara. Hal ini kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda dimanfaatkan untuk membentuk stigma negatif kepada para pejuang dari kalangan pendekar persilatan dan kaum ulama. Stigma negatif ini sengaja diciptakan Belanda dalam upaya memprovokasi masyarakat untuk menganggap mereka sebagai pembuat onar, pengacau, dan perampok. Sehingga mencap semua kaum jawara adalah bandit sehingga perlawanan dalam bentuk gerakan sosial, yang bermaksud melawan penjajahan asing dianggap sebagai onsluten (keonaran), ongergeldheden (pemberontakan), complot (komplotan), woelingen (kekacauan), dan onrust (ketidak amanan). Sejak saat itulah para pendekar persilatan dan ulama yang mengadakan perlawanan dianggap sebagai jawara, yang merupakan akronim dari jalma wani nga-rampog (orang yang berani merampok) atau orang yang beani menipu/pembohong (jalma wani nga-rahul). Konotasi negatif ini terus berkembang sampai abad ke 20, dan hingga kini tidak sedikit masyarakat yang termakan oleh stigma negatif Belanda tersebut.
Seiring dengan perkembangan waktu, Jawara yang merasa citranya terjebak dalam konotasi negatif masyarakat yang diciptakan Belanda, berusaha mengcounter dengan istilah jalma jago nu wani ramah (orang yang jagoan berani dan ramah). Tentu ada pula segelintir jawara yang memiliki perilaku negatif, namun hal ini dapat diselesaikan di dalam internal kelompok “kejawaraan” nya itu sendiri. Umunya dalam suatu organisasi kejawaraan terdapat aturan-aturan yang bersifat konvesional untuk menyelesaikan permasalahan, terutama terhadap jawara yang berperilaku negatif.
Terminologi Jawara, Jagoan, dan Preman
Secara umum jawara memiliki definisi sebagai orang yang memiliki kepandaian bermain silat dan memiliki keterampilan-keterampilan tertentu. Berbeda dengan perampok atau pencuri, mereka adalah figur seorang yang mampu menjaga keselamatan dan keamanan desa, sehingga karenanya masyarakat menghormati keberadaan mereka. Pada umumnya, jawara sangat patuh kepada ulama, karena semangat dalam jiwa mereka diperoleh dari para kaum ulama. Di tanah Betawi sendiri hampir memiliki makna yang sama, namun istilah jawara bagi masyarakat natif Betawi berangkat dari istilah “potong letter” lidah natif Betawi yaitu juware atau juara yang tidak terkalahkan dalam hal bela diri “maenpukulan” atau pencak silat.
Berbeda dengan Jagoan, kata ini berasal dari kata dasar “jago” yang menurut Ridwan Saidi merupakan loanword dari bahasa Portugis Jogo yang artinya “champion” atau juara (Ridwan Saidi, Glosari Betawi: 43). Disisi lain menurut tradisi lisan, jago merupakan istilah yang agak umum bagi golongan “tukang pukul” dan seorang yang suka berkelahi. Jagoan bernada lebih positif ketimbang istilah preman pada masa kini. Jagoan adalah sebutan untuk anggota masyarakat yang berpengaruh dan disegani di kampungnya, orang yang kuat, tukang pukul dan pemberani. Secara hirarki, jagoan dianggap lebih rendah kedudukannya dibanding jawara. Karena sebagaimana seperti yang disebutkan di atas, jawara dapat dikatakan sebagai istilah lain dari pendekar, ksatria yang ditokohkan masyarakat sebagai orang yang suka memberikan perlindungan dan keselamatan secara fisik terhadap masyarakat, juga dianggap sebagai orang yang dituakan atau sesepuh.
Lalu bagaimana dengan preman?. Secara etimologi preman merupakan loanword dari bahasa Belanda, Vrijman yang bermakna “orang bebas” atau dalam bahasa Inggris disebut free man. Dalam Kamus Bahasa Indonesia akan kita temukan paling tidak 3 arti kata preman, yaitu: 1. swasta, partikelir, non pemerintah, bukan tentara, sipil. 2. sebutan orang jahat (yang suka memeras dan melakukan kejahatan) 3. kuli yang bekerja menggarap sawah. Secara umum istilah preman dapat disimpulkan sebagai sebutan pejoratif (kata sandang merendahkan) yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain.
Dari tiga terminologi di atas, hendaknya kita masih dapat membedakan makna, fungsi dan peranan masing-masing dalam masyarakat. Sehingga kita tidak terburu-buru untuk menjustifikasi seseorang berdasar perilakunya.

Sumber tulisan:

Atu Karomah, Jawara dan Budaya Kekerasan pada Masyarakat Banten, Tesis S2 UI, Jakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia, BP Jakarta 1996
Miftahul Falah, S.S, Kejawaraan Dalam Dinamika Kabupaten Lebak, Jakarta1995
Ridwan Saidi, Glosari Betawi, Jakarta 2007
RM. Taufik Djajadiningrat, Sejarah dan Silsilah Ringkas Para Sinuhun Kesultanan Banten, Jakarta1995
Tasbih & Golok, Tim penelitian Studi Kharisma Kyai & Jawara di Banten, STAIN Serang, 2002

Kota Banten, Amsterdam di Hindia Belanda
Banten menurut data historis dan arkeologis kira-kira pada 450 tahun yang lalu, pada saat zaman Sultan Maulana Yusuf yang dikenal dengan julukan Penembahan Pakalangan yaitu sekitar tahun 1570, sudah menjalin hubungan perdagangan dengan bangsa Eropa dan Asia disekitarnya. Bahkan banyak pula melakukan manuver-manuver dalam sistem perdagangan, hal ini yang membuat cemas bangsa Eropa, karena dalam persaingan perdagangan internasional. Banten merupakan pesaing yang cukup disegani oleh bangsa Eropa pada masa itu.
Cerita ini merupakan bukti bahwa sistem perdagangan zaman kesultanan tidak dapat diremehkan. Terlebih dalam kemapuan berpolitik, seperti yang tersirat dalam buku berjudul “The Sultanate of Banten” secara resmi diserahkan oleh Duta Besar Perancis Patrick O’Cornesse, kepada bupati Serang Mas Ahmad Sampurna dipendopo kabupaten Serang beberapa tahun yang lalu.
Buku dalam bahasa Inggris dengan kata pengantar oleh Menteri Pendidikan pada saat itu dijabat bapak Fuad Hasan, isi dari buku ini merupakan hasil dari para peneliti yang bekerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Prancis dengan sasaran penelitian adalah untuk merawat dan merestorasikan kerajaan serta kesultanan Banten, penelitian ini berlangsung hingga tahun 1987
Menurut Dubes O’Cornesse, penelitian tersebut bertujuan untuk mengangkat kembali kebesaran masa silam bangsa indonesia, terutama kesultanan Banten yang telah terkubur dalam tanah dan dalam arsip-arsip yang ada di Eropa. Perancis atau bangsa Eropa lainnya, mengagumi Banten dan menjadikannya satu pelabuhan kosmopolitan besar pada abad 17, Banten di masa itu merupakan pusat peniagaan dunia, kemasyurannya tetap tersimpan dalam kenangan bangsa perancis kata O’Cornesse.
Menurut catatan sejarah kesultanan Banten pada tahun 1527 berkembang menjadi pusat perdagangan, terutama pada 1570 samapi abad 19. kota Banten Lama yang didirikan 1526 dipesisir utara Jawa Barat (sekarang Provinsi Banten), juga berkembang menjadi satu kota muslim yang bersaing dengan negara-negara Arab dalam memiliki istana, pasar dan juga masjid besar.
Kota Banten, atau Bantahan menurut sebutan negara Barat, dikenal sebagai kota metropolitan sekaligus kota yang produktif. Karena dilihat dari sarana dan pra sarana sejak dulu seperti Pelabuhan Karangantu yang menarik para pedagang Eropa dan Asia. Menurut Cornelis de Houtman asal Belanda pada tahun 1596 Banten disebut Kota Pelabuhan dan Perdagangan yang sama besar dengan Kota di Amsterdam saat itu, sama pula yang diungkapkan oleh Vincent Leblanc asal Perancis waktu tiba di Banten pada abad 16, beliau mencari hasil bumi terutama LADA dan beliau berucap bahwa Kota Banten ini hampir sama dengan Kota Rouen di negerinya yang ramai dengan para pedang. Sebelum Banten menjadi Kota Muslim, Banten terkenal dalam perdagangan Ladanya yang menjadi daya tarik bangsa Eropa.
Pada tahun 1522 Protugis mengadakan perjanjian dagang dengan para pengusaha Banten, saat itu Banten masih dibawah Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu. Perdagangan lada ini begitu ramai dan menguntungkan, sehingga para sultan Banten mengambil strategi untuk mengendalikan sepenuhnya komoditi tersebut. Perdagangan lada di Banten sangat ramai karena mutu jenis lada di Banten lebih baik dibadingkan mutu lada dari Malabar dan Aceh. Lada ini lah yang sangat di gemari oleh bangsa Eropa termasuk bangsa Sepanyol yang mengintruksikan Magellan dan Portugal untuk mencari lada di Banten pada tahun 1519, sebelum melakukan petualangannya untuk mengelilingi dunia.
Para sultan mengadakan tindakan pengetatan pada hasil produksi lada di Banten, dengan cara menginstruksikan semua penduduk di pedalaman ataupun di kota untuk membawa hasil lada mereka ke Kota Banten, untuk diolah dengan standar mutu tinggi. Begitu pula penduduk di daerah Sumatera diwajibkan untuk menanam 500 pohon lada dan hasilnya dikirimkan ke Kota Banten. Di Banten pusat industri untuk produksi lada adalah di Kampung Pamarican yang masih dikenal hingga kini. Dengan tidakan ini bangsa Eropa menilai Banten sudah menjadi Imperium Lada.
Banten bertambah penting posisinya sebagai kota perdagangan internasional setelah Malaka jatuh ketangan Portugis. Selain Malaka, Banten menjadi pusat persaingan dan perebutan kongsi perdagangan Eropa, khususnya Belanda dan Portugis. Kedua raksasa Eropa ini terlibat pertempuran untuk merebutkan pasar dan pusat produksi lada. Malaka akhirnya jatuh ketangan Belanda pada tahun 1641. Portugis segera menjalin perdagangan dengan Makasar dan Banten. Banten Sadar pentingnya armada dagang untuk menguasai dan mempertahankan industri lada, sekaligus berdagang langsung dengan Bangsa Eropa dan Asia lainnya. Akhirnya pada tahun 1660-an Sultan Haji memerintahkan pembangunan armada kapal dagangnya dengan model seperti kapal-kapal Eropa, dan bangsa Inggris dipercaya untuk membangun armada tersebut.
Kesultanan Banten memasuki persaingan perdagangan lada internasional yang sangat ramai pada kurun waktu antara tahun 1651 dan tahun 1672 sampai VOC (Belanda) merebut Banten pada tahun 1682. saat kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa Abulfathi Abdul Fatah dan Sultan Haji Abunhasr Abdul Kahhar.
Dengan armadanya yang kuat akhirnya Banten mampu berdagang langsung dengan Mekkah, India, Siam, Kamboja, Vietnam, Taiwan dan Jepang. Berita yang paling meyakinkan tentang hubungan Banten dengan Eropa, India dan Cina adalah dengan diketemukannya peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus. Peta ini dibuat pada tahun 165 M. berdasarkan tulisan geograf Starbo (27 - 14 SM) dan Plinius (akhir abad pertama masehi). Dalam peta ini digambarkan tentang jalur pelayaran dari Eropa ke Cina dengan melalui: India, Vietnam, ujung utara Sumatra, kemudian menyusuri pantai barat Sumatra, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Tiongkok Selatan sampai ke Cina (Yogaswara, 1978: 21-38).

sumber: http://massandry.blogspot.com  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar