Kamis, 10 Desember 2015

Filsafat Itu Mengasikkan

Oleh: Komaruddin Hidayat
Guru Besar Filsafat dan Rektor Universitas
Islam Negeri Jakarta; Pernah Menjadi Dosen Islamologi di Sekolah
Tinggi Filsafat Driyarkara


Sewaktu belajar di pesantren, saya pernah mendengar peringatan   seorang ustadz (guru) agar jangan mempelajari filsafat karena cenderung menyesatkan iman. Filsafat adalah ilmu yang tidak berguna, yang mengawang-awang tidak menginjak bumi. Percuma membuang umur untuk belajar filsafat. Bahkan, seorang dosen saya di IAIN dulu pernah membuat perumpamaan, belajar filsafat itu ibarat tukang pancing yang bisa-bisa dilarikan ikan. Alih-alih memperoleh ikan, malahan kita yang terseret hanyut. Ada benarnya, memang, memasuki dunia filsafat itu bagaikan menceburkan diri ke lautan ide yang tidak jelas batas kedalamannya.
Filsafat bermula dari pertanyaan, berakhir dengan pertanyaan. Namun, pertanyaan awal dan akhir memiliki bobot yang jauh berbeda. Bukankah pertanyaan cerdas dan mendasar (radikal) merupakan panduan dan amunisi bagi pencarian kebenaran? Ketika hidup tak lagi memiliki pertanyaan bijak dan cerdas, maka hati dan pikiran kita tak lagi tumbuh, terjebak pada kesombongan dan sekaligus kepicikan.
Ketika membaca Karya Lengkap Driyarkara ini, ingatan saya langsung pada warisan Aristoteles, The Complete Works of Aristoteles, yang disusun oleh Jonathan Barnes. Meskipun ditulis lebih dari dua ribu tahun yang lalu, sebagian besar isinya masih relevan dan mencerahkan untuk pembaca hari ini. Begitulah salah satu ciri karya filsafat yang ditulis secara serius dengan mengangkat tema dan masalah kehidupan yang sifatnya fundamental dan perenial.
Hemat saya, karya Driyarkara ini akan mengubah pandangan klise sebagian masyarakat yang memosisikan filsafat sebagai ilmu yang steril, sebuah permainan logika kering, dan tidak peduli pada kehidupan nyata sehari-hari yang penuh ingar-bingar dan sekaligus juga duka serta air mata. Hidup begitu kompleks dan warna-warni. Oleh karena itu, jika filsafat mengklaim dirinya sebagai sebuah pencarian serius, sistematis, dan mendalam tentang makna dan tujuan hidup yang sejati, maka filsafat juga harus terlibat dalam wacana kehidupan secara total dan multidimensional.
Dari sekian buku filsafat yang beredar, buku ini merupakan sebuah pembelaan nyata dan cerdas terhadap urgensi dan signifikansi studi filsafat, di samping buku ini juga merekam pemikiran reflektif dan konseptual, khususnya seputar kebudayaan dan pendidikan di Indonesia. Buah dari proses pendidikan suatu bangsa adalah membangun budaya unggul, tetapi di sisi lain jika budaya yang ada tidak sehat, maka kualitas pendidikan yang dihasilkan juga tidak bermutu. Dalam buku ini hubungan dialektis antara pendidikan dan kebudayaan begitu kental dan menarik direnungkan, terutama oleh para politisi dan penyelenggara pemerintahan. Dikatakan, esensi pokok dari pendidikan adalah memanusiakan diri dan orang lain, lalu kita mengada bersama serta membangun kebudayaan yang merupakan rumah tempat tinggal.
Dalam rumah budaya itu kebebasan pribadi merupakan nilai yang sangat mahal dan harus dijaga bersama sehingga dalam proses mengada bersama terjalin komunikasi eksistensial yang autentik (halaman 282). Oleh
karena itu, jika proses sosial, politik, maupun ekonomi malah menggerus kebebasan dan malah menindas pilihan-pilihan seseorang, yang demikian itu merupakan kejahatan eksistensial yang harus kita cegah.
Memiliki dan mengetahui
Sekalipun tema dan diskusi filsafat kadang muluk-muluk dan abstrak, sesungguhnya yang dikaji dan dibicarakan oleh filsafat adalah diri kita sendiri (halaman 1001). Dengan demikian, filsafat bersifat
eksistensial, fokusnya adalah kehidupan kita sehari-hari, tentang keberadaan manusia itu sendiri dengan segala sepak terjangnya. Filsafat berpangkal pada kehidupan yang konkret dan nyata. Kalaupun
muncul teori yang kadang kala rumit dan njelimet, itu semata untuk mencoba menerangkan dan menggali makna di balik kehidupan manusia sehari-hari yang memang kompleks, menyimpan misteri dan kejutan,
bukannya sebuah perjalanan yang selalu mulus dan lurus.
Jadi, kalau pada mulanya semua ilmu muncul dari rahim filsafat, yang demikian itu tidak salah mengingat filsafat bangkit dari sebuah kesadaran dan keheranan tentang dunia di sekeliling yang pada urutannya mendorong pemikiran sistematis, empiris, dan riset ilmiah. Dengan memahami perilaku dan watak alam, manusia melakukan sintesis- teknis-fungsional yang disebut teknologi agar kehidupan pada tataran
teknis-praktikal menjadi mudah dan nyaman. Dewasa ini masyarakat sudah sangat bergantung pada teknologi yang merupakan kreasinya sendiri. Perkembangan ini pun memengaruhi gaya dan makna hidup bagi seseorang.
Ketika seseorang terlahir, tumbuh, dan dimanjakan oleh kultur kapitalisme, maka filsafat tidak pernah berhenti melakukan interupsi dengan berbagai pertanyaan kritis dan radikal tentang makna hidup. Bagi para filsuf, konsep memiliki yang lebih tinggi bukannya berupa pengumpulan dan penumpukan materi, melainkan memiliki dengan jiwa dan akal sehat terhadap ilmu dan pengetahuan yang benar. Kebenaran dan jalan hidup yang benar, yang mestinya menjadi prioritas untuk dimiliki dengan jiwa dan pikiran. Dengan cara pandang ini, maka menjadi jelas konsep kekayaan dan kepemilikan menurut filsuf. Hal ini cukup menonjol pada perjalanan hidup dan jati diri Driyarkara, yang memilih kekayaan batin dan pengetahuan ketimbang popularitas dan jabatan, meskipun jalan terbentang.
Persona yang menyejarah
Sekalipun tema-tema yang disajikan dalam buku ini begitu beragam dan sudah akrab dengan telinga dan pikiran kita, pendekatannya sangat reflektif dan dalam. Di situlah salah satu kelebihan Driyarkara, mampu menyajikan masalah berat dengan bahasa yang cair, komunikatif, dan sangat piawai menciptakan istilah-istilah filsafat dalam bahasa Indonesia sebagai padanan bahasa asing, baik yang berasal dari bahasa Latin, Jerman, maupun Perancis.
Ketika membaca halaman 1267, "Ke Manakah Arah Sejarah?" yang merupakan epilog pembahasan seputar tokoh fenomenologi dan eksistensialisme, ingatan saya muncul kembali ketika pertama kali membaca buku itu sekitar tahun 1978 sewaktu menjadi mahasiswa fakultas usuluddin di IAIN Jakarta (sekarang UIN, Universitas Islam Negeri). Pengenalan saya terhadap aliran eksistensialisme pertama kali melalui buku karangan Prof Dr Fuad Hassan dan kedua Driyarkara.
Oleh Driyarkara, kita diajak melakukan tur intelektual secara reflektif dan kontemplatif, memasuki wilayah religi dan kemanusiaan yang merupakan subyek utama sejarah. Dia sangat menekankan dimensi kemanusiaan yang senantiasa tumbuh sehingga Driyarkara juga telah memperkaya dengan idiom-idiom filsafat dalam bahasa Indonesia yang mengekspresikan ciri aliran eksistensialisme yang religius. Misalnya,
pembaca akan menemukan ungkapan-ungkapan kata kerja seperti mengada, menyejarah, membudaya, memasyarakat, dan menegara. Bahwa manusia senantiasa bereksistensi untuk membangun dan membentuk dan menjadi
dirinya sendiri.
Menarik diamati bahwa eksistensialisme yang dikembangkan Driyarkara sangat kental dengan nuansa religius dan humanis yang kemudian diberi konteks keindonesiaan. Oleh karena itu, dia menawarkan relasi dinamis antara wilayah persona, masyarakat, dan negara dengan mengacu pada Pancasila pada tataran yang lebih substansial-filosofis, bukannya struktural-politik. Dengan ungkapan lain, sekalipun kemanusiaan bersifat universal, sebagai individu setiap pribadi lahir, tumbuh, dan mengada dalam rumah kebangsaan dan terikat pada negara. Oleh karena itu, agama, kemanusiaan, dan Pancasila sebagai ideologi negara janganlah
dipertentangkan. Semua saling berkaitan, memperkokoh yang satu terhadap yang lain. Mengingat manusia dan kemanusiaan itu inklusif dan tidak terbatas, sesungguhnya pada kodratnya apa yang disebut nasionalisme itu menuju dan bagian dari internasionalisme.
Baik pada nasionalisme maupun internasionalisme, kemanusiaan merupakan tali pengikat dan penghubung yang paling fundamental. Ikatan itu jika ditelusuri adalah semangat cinta kasih, yaitu keinginan untuk saling memberi. Namun, sekadar keinginan baik tidaklah cukup kalau tidak diatur oleh pranata hukum dan modus hidup bersama yang disebut demokrasi. Dalam melaksanakan demokrasi, seseorang tumbuh menegara, mewujudkan dan melindungi nilai-nilai kemanusiaan dalam rumah tangga negara. Tetapi negara bisa saja
mengingkari cita-cita luhurnya jika menindas kebebasan dan martabat kemanusiaan warganya. Jadi, spirit agama dan negara memiliki agenda besar untuk memanusiakan warganya sebagai bagian dari kemanusiaan universal dan sebagai makhluk yang selalu ingin memenuhi tuntutan religiusitasnya, yaitu mendekat Tuhan sebagai Sumber Kasih.
Putra bangsa yang visioner
Terlahir di lereng Pegunungan Menoreh, Purworejo, Jawa Tengah, pada 13 Juni 1913, orangtuanya memberi nama Soehirman, tetapi setelah memulai hidup baru di Serikat Jesuit (SJ), lalu berganti nama Driyarkara.
Kecerdasan Driyarkara sudah terlihat sejak kecil. Bahkan, ketika duduk di kelas satu SMA, ia sudah menciptakan nama majalah seminar bernama Aquila yang berarti 'Rajawali'. Namun, Aquila sendiri merupakan akronim dari Augeamus Quam Impensissime Laudem Altissimi (bahasa Latin) yang berarti kira-kira 'Marilah kita tumbuh berkembang sekuat tenaga menambah keluhuran Yang Mahatinggi'.
Himpunan karya Driyarkara setebal 1.500 halaman ini merupakan rekaman pengembaraan intelektual sang rajawali dari bukit Gunung Menoreh, salah seorang anak bangsa yang pantas dibanggakan. Karya-karya
tulisnya mengasyikkan untuk dibaca, seakan mendengarkan langsung kuliah dari sosok guru yang cerdas dan komunikatif.
Pembaca bisa memilih topik yang dikehendaki secara selektif karena tema yang disajikan sedemikian luas, meliputi persoalan negara, ideologi, pencarian makna hidup, pendidikan, dan kebudayaan. Gagasan besar dan pendekatan filsafat yang selama ini dipersepsikan njelimet dan berat, lewat tangan Driyarkara narasi filsafat menjadi cair, enak dibaca, bagaikan novel.
Bagi mereka yang sudah akrab dengan studi filsafat, buku ini memberikan inspirasi bagaimana disiplin filsafat dijadikan alat analisis dan refleksi kritis untuk meresponi masalah empiris sehingga filsafat tidak terpisah dari konteks kehidupan nyata, baik pada tingkat mikro maupun makro. Lewat buku ini pembaca juga akan mengenal lebih dekat pemikir-pemikir besar filsafat seperti Edmund Husserl, Max Scheler, dan Maurice
Merleau-Ponty. Dari sekian pemikir yang disajikan, tampaknya Malebranche memiliki tempat khusus bagi Driyarkara yang menekankan subyek sebagai persona yang senantiasa mengada bersama yang lain, bukannya relasi yang ingin menaklukkan atau menindas.
Dengan mengulas Malebranche, Driyarkara mengingatkan kita bahwa pengetahuan dan pendekatan ilmiah tidak cukup untuk mengerti totalitas dan misteri hidup itu sendiri. Apa yang dialami, dihayati, dan dicari manusia jauh melebihi apa yang bisa disajikan oleh logika murni dan penjelasan ilmiah.
Dalam hal ini tampaknya Malebranche mendahului Kant dalam melakukan kritik terhadap akal murni. Keyakinan dan kerinduan kepada Tuhan tidak cukup dengan mengandalkan logika ilmiah karena wilayah logika ilmiah selalu dibatasi oleh masukan dan wilayah empiris. Misalnya prinsip-prinsip moral yang selalu diperjuangkan manusia sepanjang sejarah, seperti kebebasan, harga diri, keadilan, dan perdamaian,
semuanya masuk wilayah eksistensial yang ilmu pengetahuan positif tidak mampu menjelaskan.
Oleh karena itu, persona dan dunia tempat manusia menyejarah pada dasarnya sudah berada dalam wilayah keberadaan alam dan Tuhan itu sendiri. Manusia mencari dan membangun jati dirinya di dalam dan bersama keberadaan hidup itu sendiri, yang semuanya berada dalam kuasa ilahi. Jadi, keberadaan Tuhan yang menjadi sumber dan akhir hidup manusia yang selalu dicari sepanjang sejarah manusia sesungguhnya sangat
dekat dan jelas, tetapi sekaligus juga merupakan misteri yang sangat sulit dijangkau. Dalam hal ini, yang namanya kebodohan adalah situasi yang menutup kedekatan manusia dan Tuhannya. Pengetahuan akan
kebenaran secara langsung dilihat sebagai kesatuan dengan Allah, sedangkan kesalahan merupakan keterpisahan dari tujuan terakhir, yaitu Allah. Memiliki kebenaran berarti memperoleh kebahagiaan, dan
kesalahan adalah sumber kesusahan (halaman 1403). Menurut Malebranche, hanya ada Allah sebelum semesta ini diciptakan, dan semua realitas ini keluar dari ide-Nya. Dengan demikian, sesungguhnya
semua realitas semesta ini ada di dalam Allah. Manusia, ibarat ikan, berputar-putar mencari lautan, padahal dia sudah berada dalam lautan.  

Secara pribadi saya menjadi semakin memahami mengapa sosok Driyarkara lalu diabadikan sebagai nama Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Dengan kedalaman ilmunya dan juga pandangannya yang visioner,
bermunculan pemikir-pemikir tangguh di bidang filsafat, agama (Katolik), dan kebudayaan dari STF Driyarkara. Kebertuhanan, keberperikemanusiaan, dan keberindonesiaan begitu kental mewarnai
buku ini, yang semuanya memiliki nuansa dan spirit kata kerja, bukan kata benda, atau rumusan kognitif-formal.
 
sumber: http://lallangsalam.blogspot.co.id/2012/05/filsafat-itu-mengasikkan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar