Kamis, 10 Desember 2015

Sa’di, Sastra, dan Tuhan

Oleh: Asran Salam
Bahasa, bagaimana pun itu tak memiliki kuasa untuk menyatakan Tuhan secarah total. Bahasa memiliki keterbatasan menyatakan realitas Tuhan. Secanggih apapun kita menyusun argumentasi tentang Tuhan di situ tak mewakili sepenuh-Nya. Kata Ibnu Arabi, "apapun yang kau bahasakan tentang Tuhan itu bukan Tuhan". Karena Dia tak terwakili oleh bahasa, apakah kita cukup menutup mulut lalu kita diam saja dan tidak usah membicarakan Tuhan? Tentunya tidak. Kita yang bertuhan tetap perlu berkespresi. Kita agak sulit menghindari mengekspresikan-Nya. Dan, bahasa adalah salah satu bentuknya. Bahasa adalah salah satu medium espresi itu.
Oleh karena bahasa tak bisa dihindari dalam membahasakan Tuhan. Maka, para sufi biasanya memilih bahasa yang tak biasa; bukan bahasa sehari-hari. Para sufi memilih bahasa sastra dalam bentuk puisi, prosa, epigram serta sajak. Lalu, mengapa harus lewat sastra? Sebab, barangkali dalam sastra melibatkan intuitif secara dalam. Dan, para sufi meyakini bahwa melalui intuisilah Tuhan bisa “disingkap”. “Filsafat membuat kita rasional sedangkan sastra membuat kita intuitif”. Ungkapan ini, biasanya digunakan dalam membedakan antara sastra dan filsafat. Sastra memang punya keistimewaan tersendiri. Mungkin di situlah Tuhan mengapa memberikan anasir-anasir sastrawi dalam al-Quran. Barangkali Tuhan hendak berkata; "selamilah aku dengan intuisi—qalbumu".

Sa'di, salah satu sufi di antara sekian banyak sufi yang memilih sastra sebagai medium mengespresikan Tuhan. Sa’di, yang bernama lengkap Syekh Muslihuddin Sa’di. Lahir di kota Shiraz, Persia 1175 yang silam, sangat terkenal dengan Gulistan. Sebuah karya mengangkat namanya kemudian dijagat sastra sufisme. Namun, Tak hanya Gulistan, ada karyanya yang tatkala menterengnya; Bustan. Karya yang lahir dua belas bulan sebelum Gulistan. Bustan, lahir dari jelajah Sa’di bersama gururnya Abdul Qadir Jailani. Sebuah perjalanan dagang ke Mekkah dari Bagdad—Irak.
Sa’di, perihal inspirasi kelahiran Bustan dakunya; “Aku mengembara ke berbagai belahan bumi dan melewatkan hari-hariku bergaul dengan bermacam-macam orang. Aku memetik manfaat-manfaat di setiap sudut.....Tapi tidak ketemui orang yang saleh dan alim seperti orang Shiraz. ...tanah yang telah mengikat hatiku, membawa jauh hatiku dari Siria dan Turki....Aku menyesal karena mesti pergi dari kebun dunia ini tanpa membawa apa-apa untuk teman-temanku, dan pikirku: “Para musafir membawa gula dari mesir sebagai hadiah bagi teman-teman mereka”. Walaupun aku tak punya gula, aku memiliki kata yang lebih manis. Gula yang kubawa tidak untuk dimakan, tapi orang yang mengetahui kebenaran akan mengambilnya penuh hormat”
Sa’di, memang sepulang dari perjalanannya tak membawa apa-apa untuk kawan-kawanya, selain karya yang padat dengan kata-kata. Riuh dengan hikmah. Ramai dengan pelajaran akhlak. Kompas untuk kesalehan dan itu adalah Bustan. Bustan yang berarti taman, memang karya yang indah seperti namanya taman. Layaknya taman, Ia tentunya dipenuhi dengan aneka bunga. Dan, seperti itulah Bustan, kaya dengan aneka pesan yang indah tentang kerohaniaan.
A. Hart Edward, sang penerjemah Bustan dari bahasa Parsi ke Inggris, bertutur bahwa pada Bustan, kita akan menemukan tema-tema kewajiban manusia terhadap Tuhan dan sesama manusia serta takdir yang tak dapat diubah. Sa’di, katanya, menawarkan sebuah agama praktis dan luhur. Sa’di, sungguh tak bersimpati kepada petapa-petapa dan semacamnya. Baginya, melaksanakan kewajiban kepada seseorang sama melaksanakan kewajiban kepada Tuhan. Agama baginya, sepatutnya bertindak sama dengan pelayanan terhadap manusia. Dan, itu tidak ditemukan pada tasbih, atau tikar sajadah atau pakaian compang-camping semata. Semua itu, Sa’di bahasakan dengan halus. Mungkin di situlah kekuatan sastra menyampaikan makna tanpa harus terjebak dalam pretensi menggurui. Melalui Bustan, Sa’di tak menggurui akan tetapi mengajak kita.
Sebagai akhir tulisan ini, mari kita melihat salah satu ajakan Sa’di dalam Bustan kepada kita. Bahwa mencintai Tuhan tak mengharuskan mengacukan orang lain. Mencintai Tuhan, berarti melayani manusia. Dia menulis seperti ini;  
"Seorang yang mencintai Tuhan memandang ke ufuk jauh padang pasir. Ayahnya, yang sedih karena ia tidak hadir, tidak bisa makan dan tidur.
Ada orang yang menegur anak itu. Anak itu berkata: "Selama temanku menyeruku sebagai milikNya, tiada persahabatan lain yang kumiliki.  Bila nampak di mataku keindahaNya, yang lain kulihat gelap semata-mata".
Mereka yang mencintaiNya tidak mengacukan orang lain; pikiran mereka bingung dan telinga mereka tuli terhadap orang yang berbicara di dekatnya.
Mereka mengarungi padang pasir pengetahuan Tuhan tanpa kafila. Mereka tidak mengharapkan pujian dari teman mereka, karena mereka adalah orang-orang pilihan Tuhan sendiri". Kira-kira begitulah sastra membahasan Tuhan. Sa’di dengan karya sastra sufistiknya semacam Bustan mengajak kita “menyingkap” Tuhan. 
# Tulisan ini pernah dimuat di Kolom Literasi Tempo.
 
sumber: http://lallangsalam.blogspot.co.id/2015/12/sadi-sastra-dan-tuhan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar