Oleh Reza A.A Wattimena
Peristiwa jatuhnya salah satu pesawat Germanwings
menggetarkan hati banyak orang. Pesawat tersebut telah diperiksa
sebelumnya. Tidak ada masalah. Kru yang bekerja menerbangkan pesawat
tersebut pun adalah kru profesional yang memiliki reputasi baik.
Namun, tiba-tiba, pesawat menukik ke bawah, dan menghantam
tanah. Ratusan orang dari berbagai negara meninggal dalam sekejap mata.
Banyak penjelasan dijabarkan, mengapa peristiwa ini terjadi. Namun,
semua penjelasan tampak percuma di hadapan anggota keluarga dari korban
yang meninggal dunia.
Musibah semacam ini juga tidak asing bagi kita yang
tinggal di Asia. Beberapa waktu yang lalu, pesawat Malaysian Airlines
dan Air Asia juga mengalami musibah yang sama. Ratusan orang meninggal
dunia dalam sekejap mata. Bagaimana kita harus bersikap di dalam
menanggapi tragedi yang nyaris tanpa makna ini?
Mengatur Alam
Tragedi adalah bagian dari hidup manusia. Ia disebut
sebagai tragedi, karena peristiwa ini menciptakan penderitaan dan
kesedihan yang amat dalam bagi banyak orang. Peristiwa ini juga
menyadarkan kita, bahwa hidup kita ini pendek dan rapuh. Namun,
peristiwa ini juga bisa menjadi saat yang baik untuk belajar, sehingga
tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.
Manusia memiliki akal budi. Dengan akal budinya, ia bisa
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, guna mengatur alam untuk
memenuhi kebutuhannya. Ia bisa menciptakan peradaban dengan
pencapaian-pencapaian yang luar biasa, seperti perkembangan pertanian,
kedokteran, sastra, seni, politik dan sebagainya. Dengan akal budinya
pula, ia berusaha memahami dirinya sendiri dalam hubungannya dengan
alam.
Francis Bacon, filsuf asal Inggris, pernah menegaskan,
bahwa pengetahuan adalah kekuatan. Dengan memahami alam, manusia bisa
menggunakan alam untuk kepentingannya. Bacon sebenarnya hanya mengulang
apa yang dikatakan Chung Tzu, filsuf asal Cina, 1000 tahun sebelumnya.
Manusia hanya bisa mengatur alam, jika ia paham dan mengikuti
hukum-hukum alam tersebut.
Jika kita melawan alam, maka kita akan hancur. Filsafat,
ilmu pengetahuan dan teknologi adalah beragam cara untuk memahami alam.
Peradaban berkembang dari usaha manusia untuk mengatur alam dengan
menaati hukum-hukum alam itu sendiri. Kontrol atas alam ini berarti
manusia berusaha untuk “memegang” alam ke dalam genggamannya.
Alam yang Elusif
Namun, alam itu selalu lebih besar dari manusia. Alam
tidak pernah bisa sepenuhnya dipahami oleh manusia. Akal budi dan
kemampuan manusia terlalu kecil untuk memahami dan “memegang” alam ke
dalam tangannya. Inilah paradoks dasar dari filsafat, ilmu pengetahuan
dan teknologi, yakni mereka berusaha untuk memahami apa sesungguhnya tak
terpahami.
Di titik batas ini, ketika kita tidak bisa lagi memahami,
kita perlu melepas akal budi kita. Kita perlu sadar sepenuhnya, bahwa
kita hanyalah titik kecil di tengah jagad semesta yang luas, nyaris tak
terkira. Kita perlu berusaha sampai pada satu titik, dimana kita harus
melepaskan usaha kita.
Untuk mengontrol alam, manusia membutuhkan akal budi.
Untuk melepas alam, manusia memerlukan kebijaksanaan. Inilah yang
sekarang ini kurang di dunia kita. Kita ingin mengontrol segala sesuatu,
tetapi kita tidak pernah siap untuk melepaskan.
Bagaimana kita bisa memiliki kebijaksanaan untuk
melepaskan? Kita perlu sadar, bahwa segala hal di dunia ini sementara.
Ia ada dan kemudian dengan berjalannya waktu, ia menghilang. Hal ini
berlaku untuk segala sesuatu, mulai dari karir, keluarga, harapan,
kekecewaan dan kehidupan itu sendiri. Semua ada dan akan berlalu.
Plato, filsuf Yunani Kuno, juga sudah menegaskan, bahwa
tubuh adalah penjara bagi jiwa. Tubuh itu hanya seperti kendaraan yang
mengantar manusia ke berbagai ruang. Namun, ia menghalangi jiwa manusia
untuk sampai pada pengetahuan sejati. Tubuh manusia akan sakit, menua
dan akhirnya mati.
Namun, jiwa manusia tidak pernah lahir, dan juga tidak
akan pernah akan mati. Ia selalu ada. Tubuh dan segala yang ada hanyalah
kesementaraan yang bersifat kosong. Semuanya adalah ilusi yang tampak
bagi indra kita. Begitulah ajaran Buddhisme Hinayana yang berkembang di
Asia Tenggara.
Memegang dan Melepas
Maka dari itu, kita, sebagai manusia, harus hidup di
antara sikap memegang dan melepas. Kita perlu mengatur alam, sambil
belajar untuk melepasnya. Kita perlu menata hidup kita, sambil terus
sadar, bahwa ini pun akan segera berlalu. Kita harus hidup dengan
sepenuh hati, sambil terus sadar, bahwa tubuh kita semua akan menjadi
bangkai dan debu pada akhirnya nanti.
Hidup dengan kesadaran ini berarti hidup sejalan dengan
alam. Hidup sejalan dengan alam berarti hidup seirama dengan hukum-hukum
alam. Kita tidak lagi memaksakan ambisi kita di dalam kehidupan. Kita
mengatur diri kita dan alam sekitar kita dengan kesadaran penuh, bahwa
semuanya perlu dilepas pada akhirnya nanti.
Jerman boleh terkenal dengan teknologinya. Eropa boleh
terkenal dengan ilmu pengetahuannya. Namun, di hadapan alam, semuanya
hampir tak ada artinya. Pelajaran terpenting di dunia ini adalah belajar
untuk melepas, ketika waktunya melepas. Inilah yang tak diajarkan di
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi…
sumber: http://rumahfilsafat.com/2015/03/28/memegang-dan-melepas/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar