Kamis, 10 Desember 2015

Memegang dan Melepas


timedotcom
timedotcom
Oleh Reza A.A Wattimena
Peristiwa jatuhnya salah satu pesawat Germanwings menggetarkan hati banyak orang. Pesawat tersebut telah diperiksa sebelumnya. Tidak ada masalah. Kru yang bekerja menerbangkan pesawat tersebut pun adalah kru profesional yang memiliki reputasi baik.
Namun, tiba-tiba, pesawat menukik ke bawah, dan menghantam tanah. Ratusan orang dari berbagai negara meninggal dalam sekejap mata. Banyak penjelasan dijabarkan, mengapa peristiwa ini terjadi. Namun, semua penjelasan tampak percuma di hadapan anggota keluarga dari korban yang meninggal dunia.
Musibah semacam ini juga tidak asing bagi kita yang tinggal di Asia. Beberapa waktu yang lalu, pesawat Malaysian Airlines dan Air Asia juga mengalami musibah yang sama. Ratusan orang meninggal dunia dalam sekejap mata. Bagaimana kita harus bersikap di dalam menanggapi tragedi yang nyaris tanpa makna ini?

Mengatur Alam
Tragedi adalah bagian dari hidup manusia. Ia disebut sebagai tragedi, karena peristiwa ini menciptakan penderitaan dan kesedihan yang amat dalam bagi banyak orang. Peristiwa ini juga menyadarkan kita, bahwa hidup kita ini pendek dan rapuh. Namun, peristiwa ini juga bisa menjadi saat yang baik untuk belajar, sehingga tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.
Manusia memiliki akal budi. Dengan akal budinya, ia bisa mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, guna mengatur alam untuk memenuhi kebutuhannya. Ia bisa menciptakan peradaban dengan pencapaian-pencapaian yang luar biasa, seperti perkembangan pertanian, kedokteran, sastra, seni, politik dan sebagainya. Dengan akal budinya pula, ia berusaha memahami dirinya sendiri dalam hubungannya dengan alam.
Francis Bacon, filsuf asal Inggris, pernah menegaskan, bahwa pengetahuan adalah kekuatan. Dengan memahami alam, manusia bisa menggunakan alam untuk kepentingannya. Bacon sebenarnya hanya mengulang apa yang dikatakan Chung Tzu, filsuf asal Cina, 1000 tahun sebelumnya. Manusia hanya bisa mengatur alam, jika ia paham dan mengikuti hukum-hukum alam tersebut.
Jika kita melawan alam, maka kita akan hancur. Filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah beragam cara untuk memahami alam. Peradaban berkembang dari usaha manusia untuk mengatur alam dengan menaati hukum-hukum alam itu sendiri. Kontrol atas alam ini berarti manusia berusaha untuk “memegang” alam ke dalam genggamannya.
Alam yang Elusif
Namun, alam itu selalu lebih besar dari manusia. Alam tidak pernah bisa sepenuhnya dipahami oleh manusia. Akal budi dan kemampuan manusia terlalu kecil untuk memahami dan “memegang” alam ke dalam tangannya. Inilah paradoks dasar dari filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi, yakni mereka berusaha untuk memahami apa sesungguhnya tak terpahami.
Di titik batas ini, ketika kita tidak bisa lagi memahami, kita perlu melepas akal budi kita. Kita perlu sadar sepenuhnya, bahwa kita hanyalah titik kecil di tengah jagad semesta yang luas, nyaris tak terkira. Kita perlu berusaha sampai pada satu titik, dimana kita harus melepaskan usaha kita.
Untuk mengontrol alam, manusia membutuhkan akal budi. Untuk melepas alam, manusia memerlukan kebijaksanaan. Inilah yang sekarang ini kurang di dunia kita. Kita ingin mengontrol segala sesuatu, tetapi kita tidak pernah siap untuk melepaskan.
Bagaimana kita bisa memiliki kebijaksanaan untuk melepaskan? Kita perlu sadar, bahwa segala hal di dunia ini sementara. Ia ada dan kemudian dengan berjalannya waktu, ia menghilang. Hal ini berlaku untuk segala sesuatu, mulai dari karir, keluarga, harapan, kekecewaan dan kehidupan itu sendiri. Semua ada dan akan berlalu.
Plato, filsuf Yunani Kuno, juga sudah menegaskan, bahwa tubuh adalah penjara bagi jiwa. Tubuh itu hanya seperti kendaraan yang mengantar manusia ke berbagai ruang. Namun, ia menghalangi jiwa manusia untuk sampai pada pengetahuan sejati. Tubuh manusia akan sakit, menua dan akhirnya mati.
Namun, jiwa manusia tidak pernah lahir, dan juga tidak akan pernah akan mati. Ia selalu ada. Tubuh dan segala yang ada hanyalah kesementaraan yang bersifat kosong. Semuanya adalah ilusi yang tampak bagi indra kita. Begitulah ajaran Buddhisme Hinayana yang berkembang di Asia Tenggara.
Memegang dan Melepas
Maka dari itu, kita, sebagai manusia, harus hidup di antara sikap memegang dan melepas. Kita perlu mengatur alam, sambil belajar untuk melepasnya. Kita perlu menata hidup kita, sambil terus sadar, bahwa ini pun akan segera berlalu. Kita harus hidup dengan sepenuh hati, sambil terus sadar, bahwa tubuh kita semua akan menjadi bangkai dan debu pada akhirnya nanti.
Hidup dengan kesadaran ini berarti hidup sejalan dengan alam. Hidup sejalan dengan alam berarti hidup seirama dengan hukum-hukum alam. Kita tidak lagi memaksakan ambisi kita di dalam kehidupan. Kita mengatur diri kita dan alam sekitar kita dengan kesadaran penuh, bahwa semuanya perlu dilepas pada akhirnya nanti.
Jerman boleh terkenal dengan teknologinya. Eropa boleh terkenal dengan ilmu pengetahuannya. Namun, di hadapan alam, semuanya hampir tak ada artinya. Pelajaran terpenting di dunia ini adalah belajar untuk melepas, ketika waktunya melepas. Inilah yang tak diajarkan di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi…

sumber:  http://rumahfilsafat.com/2015/03/28/memegang-dan-melepas/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar