Sistem perekonomian Baduy lebih
mengutamakan sistem tertutup, artinya aktivitas ekonomi dilakukan hanya untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari dan diproduksi serta dikonsumsi dilingkungan
Baduy sendiri. Mata pencaharian mereka pada umumnya adalah bertani atau
bercocok tanam.Seluruh masyarakat di Baduy belajar untuk bekerja di pertanian
sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Di Baduy terdapat aturan dalam
pertanian yang diikuti oleh masyarakatnya. Ada waktu dimana mereka harus
mengolah tanah, menanam, maupun memanen hasil pertaniannya. Sistem pertanian
disana adalah dengan sistem berladang dan berkebun. Pada masa dimana mereka
tidak sedang bekerja di ladang, Baduy laki-laki bekerja di hutan untuk berburu
dan memanen madu, sementara Baduy wanita bekerja menenun dirumah untuk membuat
baju, selendang, sarung, serta kerajinan tangan seperti tas.
Sebagaimana yang telah terjadi
selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah
bertani padi
huma. Selain itu
mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang
mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji,
serta madu hutan.
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan
merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi
dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan
Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya
pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada
penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan
Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus
dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija,
buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui
bupati Kabupaten Lebak. Di bidang
pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar,
misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Nilai-nilai kearifan masyarakat
baduy yang sederhana dengan tidak mementingkan materi dalam kehidupannya
menjadi sebuah contoh dimana mereka hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan
primernya, bahkan dalam bertani mereka mengikuti aturan-aturan yang ada
dimasyarakat, diantaranya tidak menggunakan pupuk kimia, masyarakat baduy
memupuk tanamanya dengan pupuk buatan mereka sendiri dari bahan-bahan organik,
sebuah nilai kearifan lokal masyarakat baduy yang tidak mau merusak alam dengan
menggunakan bahan kimia, berbeda dengan kebanyakan masyarakat lain yang
menggunakan pupuk kimia dengan tujuan hasil panen yang melimpah dan cepat,
tetapi tidak memperdulikan lingkungan alam yang akan rusak karena bahan kimia
dalam pupuk yang digunakan. Selain itu Penanggulangan hama padi pada masyarakat
Baduy bersifat mengusir daripada membunuh. Dalam bertani, mereka selalu menjaga
keselarasan dengan alam, bukannya melawan alam. Maka dari itu, dalam
penanggulangan hama padi huma, masyarakat Baduy lebih memilih racikan
biopestisida dan rawun pare daripada pestisida pabrikan yang dianggap dapat
meracuni dan merusak lingkungan. Upaya mengusir hama padi huma tersebut
tampaknya cukup berhasil. Buktinya, kejadian puso panen padi huma akibat
gangguan hama sangat jarang terjadi di Baduy. Mengapa demikian? Pasalnya,
berbagai tumbuhan untuk biopestisida atau rawun pare orang Baduy dikenal secara
ilmiah (etik) termasuk kategori tumbuhan pengusir hama (repellent).
Hasil panenan suku baduy yang berupa
padi pun tidak boleh dijual, padi hanya untuk kebutuhan mereka saja, tidak
diperjual belikan, mereka hanya menjual hasil panenan lainnya seperti pisang,
durian, dll, aturan ini juga dilaksanakan oleh semua masyarakat baduy.
Untuk memenuhi kebutuhan tambahan mereka seperti biaya untuk upacara-upacara
adat mereka menjual madu, kain songket, kerajinan-kerajinan tangan, tas, dll,
uang yang didapatkan dari hasil itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka, kebutuhan yang tidak mereka hasilkan seperti garam, minyak, serta
bumbu-bumbu. Madu Baduy sangat terkenal di daerah Banten karena tidak dicampur
dengan bahan lainnya, sehingga sering disebut madu asli. Mereka menjual madu
dan hasil kerajinan lainnya sampai ke kota.
. Kehidupan mereka yang sederhana
membuat mereka tidak terlalu mementingkan harta, yang penting uang yang mereka
miliki cukup untuk makan dan kebutuhuan penting lainya. Sebuah nilai kearifan
lokal yang sekarang ini jarang bisa ditemui lagi mengingat sekarang ini banyak
masyarakat yang menganggap bahwa uang adalah segalanya dan uang adalah raja yang
harus mereka cari dan kumpulkan sebanyak-banyaknya untuk keberlangsungan hidup
mereka.
Ada dua sistem pemerintahan yang
digunakan oleh masyarakat Baduy, yaitu struktur pemerintahan nasional yang
mengikuti aturan negara Indonesia dan struktur pemerintahan adat yang mengikuti
adat istiadat yang dipercayai oleh masyarakat. Kedua sistem pemerintahan
tersebut digabungkan dan dibagi perannya sedemikian rupa sehingga tidak ada
benturan dalam menjalankan tugasnya. Seluruh masyarakat Baduy paham dan saling
menghargai terhadap kedua sistem tersebut, sehingga mereka tahu harus kemana
jika ada urusan atau permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Pemimpin adat tertinggi dalam
masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu.
Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke
anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak
ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan
tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan
adat kapu'unan (kepu'unan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat
jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah.
Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan
berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan
memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro
dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu
disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai
jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung
antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya
dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung.
Kemampuan masyarakat baduy yang bisa
menjalankan dua sistem pemerintah baik itu sistem adat dan sistem pemerintahan
nasional, merupakan bukti kemampuan hebat yang didasari oleh nilai-nilai
kearifan lokal masyarakat untuk tetap melestarikan adat istiadat tetapi juga
tetap menggunakan sistem pemerintahan nasional sebagai rasa nasionalisme warga
masyarakat baduy. Menggunakan dua sistem kepemerintahan sekaligus tentunya
jelas akan banyak hambatan yang ada dalam pelaksanaanya karena bisa saja
aturan yang ada saling tumpang tindih atau bahkan berbenturan, tetapi kemampuan
masyarakat Baduy untuk memposisikan dirinya menjadi salah satu kunci
keberhasilan dua sistem ini digunakan secara bersamaan.
Suku Baduy sangat memegang teguh pikukuh
karuhun, yakni suatu doktrin yang mewajibkan mereka melakukan berbagai hal
sebagai amanat leluhurnya (Kurnia, 2010: 28) Pikukuh karuhun tersebut
antara lain mewajibkan mereka untuk:
1.
Bertapa Bagi
Kesejahtraan dan Keselamatan Pusat Dunia dan Alam Semesta.
2.
Memelihara
Sasaka Pusaka Buana.
3.
Mengasuh
Ratu Memelihara Menak.
4.
Menghormati
Guriang dan Melaksanakan Muja.
5.
Mempertahankan
dan Menjaga Adat Bulan Kawalu
6.
Menyelenggarakan
dan Menghormati Upacara Adat Ngalaksa
7.
Melakukan
Upacara Seba Setahun sekali.
Upacara Seba
sudah menjadi tradisi yang sifatnya wajib dilaksanakan setahun sekali pada
bulan Safar awal tahun baru sesuai dengan penanggalan adat Baduy (berkisar
bulan April-Mei pada tahun Masehi). Tujuan dari kegiatan ini adalah ekspresi
rasa syukur dan penghormatan Suku Baduy kepada Pemerintah. Bentuk rasa syukur
dan penghormatan ini dengan mempersembahkan sesuatu yang dianggap berharga
(sesaji, dalam konteks ini adalah hasil panen) bagi Suku Baduy untuk diberikan
kepada Pemerintah (dalam hal ini Bupati Kabupaten Lebak).
Adapun mitos
dibalik Upacara Seba yaitu Bhatara Tunggal dipercaya oleh Suku Baduy
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Tempat kediamannya terletak di hulu
sungai Ciujung dan Cisimeut. Tempat keramat tersebut oleh Suku Baduy dinamakan
Arca Domas, yang tertutup bagi siapapun kecuali pemimpin Suku Baduy atau Puun (Rafiudin,
1995: 21).
Sungguh
sebuah nilai kearifan lokal dimana tujuan upacara seba adalah sebagai
rasa ucap syukur kepada pemerintah, masyarakat baduy memberikan hasil panenanya
kepada pemerintah dengan tulus dan tanpa mengharapkan imbalan tertentu. Begitu
arif masyarakat Baduy, padahal masyarakat baduy sendiri hampir dipastikan
jarang mendapat perhatian dari pemerintah, karena memang masyarakat baduy
menutup diri dari lingkungan luar, tetapi mereka tetap mengadakan upacara
sebagai bentuk rasa syukur mereka kepada pemerintah, bayangkan pada kebanyakan
masayarakat indonesia saat ini, mereka mendapat perhatian yang banyak dari
pemerintah, mereka banyak menikmati fasilitas publik, rumah sakit, sekolah,
jalan raya, dll tetapi apa mereka pernah mengadakan sebuah acara sebagai rasa
syukur mereka kepada pemerintah? Jarang, bahkan sulit ditemukan, mereka banyak
yang hanya mengkritik pemerintah, tetapi suku Baduy, yang jarang diperhatikan,
tidak banyak memanfaatkan dan menerima fasilitas publik, mereka tetap
bersyukur, begitu jelas terlihat bagaimana nilai-nilai kearifan lokal yang
mereka junjung.
Banten juga
kental dengan beberapa tradisinya. Salah satunya yang menarik wisatawan adalah kearifan
lokal yang dipegang teguh oleh Suku Baduy atau Kanekes dari desa Kanekesyang
terletak di kaki pegunungan Kendeng, Lebak. Meski mengisolasi diri dari
pengaruh dunia luar, Suku Baduy Luar telah beradaptasi dengan kehidupan modern,
jadi mereka gak malu-malu dengan kehadiran wisatawan.
Meski
begitu, mereka tetap memegang teguh ajaran leluhur yang diwariskan turun
temurun, Lewat mereka, kita diajarkan untuk hidup bersinergi dengan alam tanpa
mencemarinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar