Konsep eksistensialisme dikembangkan
oleh ahli filsafat asal Jerman, Martin Heidegger, merupakan bagian filsafat dan
akar metodologinya berasal dari metodologi fenomenologi yang dikembangkan oleh
hussel. Kemunculan eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Soren
Kierkegaard dan Nietzche. Soren Kierkegaard ingin menjawab pertanyaan
“bagaimanakah aku menjadi seorang diri ?”, dasar pertanyaan tersebut
mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu system yang umum
tetapi berada dalam eksistensi individu yang konkret.
Pandangan tersebut tentunya bukan
suatu yang muncul dengan sendirinya, melainkan sesuatu yang lahir ketika dunia
mengalami krisis eksistensial, ketika manusia melupakan sifat individualisnya.
Kierkegaard berusaha untuk menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia
(aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan,
dan komitmen pribadi dalam kehidupan.
Sebagai pandangan baru, filsafat
eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan
eksistensial dan pengalaman manusia dengan metodologi fenomenologi atau cara
manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap materialism dan
idealisme. Pendapat materialism terhadap manusia adalah manusia merupakan benda
dunia, manusia adalah materi, manusia adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi
subyek. Pandangan manusia menurut idealisme : manusia hanya sebagai subyek atau
hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistesialisme berkeyakinan situasi manusia
selalu berpangkalkan eksistensi sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan
lukisan-lukisan yang konkret.
Disini bagi eksistensialisme,
individu bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara
mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya, bukannya tidak
mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang
eksistensialisme dasar bahwa kebenaran bersifat relative, karenanya
masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Namun, menjadi eksistensialis bukan
melulu harus menjadi seseorang yang lain daripada yang lain, sebaliknya menjadi
sadar bertapa keberadaan dunia selalu menjadi sesuatu yang berada di luar
kendali manusia. Meski hal itu bukan berarti membuat sesuatu yang unik ataupun
yang baru yang menjadi esensi eksistensialisme.
Adapun secara umum, eksistensialisme
membagi problem filsafat menjadi empat masalah filosofis : eksistensi manusia, bagaimana
bereksistensi secara aktif, eksistensi manusia adalah eksistensi yang terbuka
dan belum selesai, serta pengalaman eksistensial. Seadngkan Sartre membagi
eksistensialisme ke dalam dua cabang, yaitu eksistensialisme kreistiani dan
eksistensialisme ateis.
Singkatnya, eksistensialisme selalu
menjadi pemikiran filsafat yang berupa untuk agar manusia menjadi dirinya,
mengalami individualitasnya. Eksistensi berarti berdiri sendiri sebagai diri
sendiri. Menurut Heideggard manusia sadar dengan tempatnya.
B.
Eksistensialisme Dalam
Pendidikan
1.
Pengetahuan.
Teori pengetahuan eksistensialisme
banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu pandangan yang
menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana
benda-benda tersebut menampakan dirinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuna
manusia tergantung kepada pemahamannya tentang realitas, tergantung pada
interpretasi manusia terhadap realitas, pengetahuan yang diberikan di sekolah
bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk
dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah
akan dijadikan alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin
yang kaku dimana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut.
Biarkanlah pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam
kebenaran.
2.
Nilai.
Pemahaman eksistensialisme terhadap
nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu
cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu
tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan
pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling
sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima akibat-akibat
tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap
akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral
mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri, dan mungkin juga untuk suatu tujuan.
Seseorang harus berkemampuan untuk menciptakan tujuannya sendiri. Apabila
seseorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus menjadikan
tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya, sebagai tujuan sendiri, yang harus ia
capai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh dalam situasi.
3.
Pendidikan.
Eksistensialisme sebagai filsafat
sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap
individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung
jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi
(1971) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan
pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada
masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan anatar manusia,
hakikat kepribadian, dan kebebasan. Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah
“keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
a.
Tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan adalah untuk
mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk
pemenuhan diri. Setiap indivudu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik
berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak
ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum.
b.
Kurikulum.
Kaum eksistensialisme menilai
kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu
akan makna dan muncul dalam suiatu tingkatan kepekaaan personal yang disebut
Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum yang
memberikan para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka
untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka
sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme,
tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang
lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat menemukan
dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi
tuntutan di ats adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni.
Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya
adalah IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja bisa sejarah, filsafat,
sastra, dan sebagainya.
Dengan mata-mata pelajaran tersebut,
siswa akan berkenalan dengan pandangan dan wawasan para penulis dan pemikir
termasyur, memahami hakikat manusia di dunia, memahami kebenaran dan kesalahan,
kekuasaaan, konflik, penderitaan, dan mati. Kesemuanya itu merupakan tema-tema
yang akan melibatkan siswa baik intelektual maupun emosional. Sebagai contoh
kaum eksistensialisme melihat sejarah sebagai suatu perjuangan manusia mencapai
kebebasan. Siswa harus melibatkan dirinya dalam periode apapun yang sedang ia
pelajari dan menyatukan dirinya dalam masalah-masalah kepribadian yang sedang
dipelajarinya. Sejarah yang ia pelajari harus dapat membangkitkan pikiran dan
perasaannya serta menjadi bagian dari dirinya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan
perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut
diperlukan agar individu dapat mengadakan instrospeksi dan mengenalkan gambaran
dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat
mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan.
Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh karena itu,
sekolah harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
c.
Proses belajar mengajar.
Menurut Kneller, konsep belajar
mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Martin Buber
tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi,
dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber
kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak
guru, atau pada pengetahuan yang tidak fpeksibel, dimna guru menjadi
penguasanya.
Selanjutnya buber mengemukakan bahwa,
guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru
disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan merupakan perantara yang
sederhana antara materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya dianggap
sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari
transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan
menjadi alat dan produk dri pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar,
pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan
antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan
diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu
sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara
pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan suatu
yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu
aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
d.
Peranan guru.
Menurut pemikiran eksistensialisme,
kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi
yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun demikian dengan kebebasan
yang kita miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri pada penentuan
makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene
(Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan
pada eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan
situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”.
Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam
mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun
begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi
mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari
kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang,
tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.
Guru hendaknya member semangat kepada
siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menyatakan tentang
ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing
siswa untuk memilih alternative-alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa
kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari
itu, siswa harus menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan penonton.
Siswa harus belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan
mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relative dengan
melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak
member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar
betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan
metode utama dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak
interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para
siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan
kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
BAB III
PENUTUP
Filsafat eksistensialisme lebih menfokuskan pada
pengalaman-pengalaman manusia. Dengan mengatakan bahwa yang nyata adalah yang
dialaminya bukan diluar kita. Jika manusia mampu menginterpretasikan semuanya
terbangun atas pengalamannya. tujuan pendidikan adalah memberi pengalaman yang
luas dan kebebasan namun memiliki aturan-aturan. Peranan guru adalah melindungi
dan memelihara kebebasan akademik namun disisi lain guru sebagai motivator dan
fasilitator
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi. Asmoro. 2009. Filsafat
umum. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.
Bernadib, Imam. 1976. Filsafat
pendidikan. Yogyakarta. Karang Malang
Drijarkasa. 2011. Filsafat
manusia.Yogyakarta. kanisius.
Gandhi HW, TW. 2011. Filsafat
pendidikan mazhab-mazhab Filsafat pendidikan. Jojakarta. Ar-ruzzmedia.
J. Waluyo. 2007. Pengantar
filsafat ilmu (buku Panduan mahasiswa). Salatiga. Widya Sari.
Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar
Filsafat pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar