Fenomenologi
adalah studi tentang Phenomenon. Kata ini berasal dari bahasa Yunani Phainein berarti menunjukkan. Dari
kata ini timbul kata Pheinomenon berarti
yang muncul dalam kesadaran manusia. Dalam fenomenologi, ditetapkan bahwa
setiap gambaran pikir dalam pikiran sadar manusia, menunjukkan pada suatu hal
keadaan yang disebut intentional (berdasarkan
niat atau keinginan).
Secara harfiah,
fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa
fenomenalisme adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme juga
adalah suatu metode pemikiran. Fenomenologi merupakan sebuah aliran yang
berpendapat bahwa, hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya dapat
dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena atau pertemuan kita dengan realita.
Karenanya, sesuatu yang terdapat dalam diri kita akan merangsang alat inderawi
yang kemudian diterima oleh akal ( otak ) dalam bentuk pengalaman dan disusun
secara sistematis dengan jalan penalaran. Penalaran inilah yang dapat membuat
manusia mampu berpikir secara kritis.
Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana
manusia sebagai subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Ketika berbicara
tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan, maka hermeneutik terlibat di
dalamnya. Pada intinya, bahwa aliran fenomenologi mempunyai pandangan bahwa
pengetahuan yang kita ketahui sekarang ini merupakan pengetahuan yang kita
ketahui sebelumnya melalui hal-hal yang pernah kita lihat, rasa, dengar oleh
alat indera kita. Fenomenologi merupakan suatu pengetahuan tentang kesadaran
murni yang dialami manusia.
2.3 Tokoh-tokoh
Fenomenologi
1.
Edmund
Husserl (1859-1938)
Menurut Husserl, memahami
fenomenologi sebagai suatu metode dan ajaran filsafat. Sebagai metode, Husserl
membentangkan langkah-langkah yang harus diambil agar sampai pada fenomeno yang
murni. Untuk melakukan itu, harus dimulai dengan subjek (manusia) serta
kesadarannya dan berusaha untuk kembali pada kesadaran murni. Sedangkan sebagai
filsafat, fenomenologi memberikan pengetahuan yang perlu dan essensial tentang
apa yang ada. Dengan kata lain, fenomenologi harus dikembalikan kembali objek
tersebut.
Metode fenomenologi menurut Husserl, menekankan satu
hal penting yaitu, penundaan keputusan. Penundaan keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung (bracketing) untuk
memahami fenomena. Pengetahuan yang kita miliki tentang fenomena itu harus kita
tinggalkan atau lepaskan dulu, agar fenomena itu dapat menampakkan dirinya
sendiri.
Untuk memahami filsafat Husserl ada beberapa kata
kunci yang perlu diketahui. Diantaranya:
1.
Fenomena adalah realitas esensi atau dalam fenomena terkandung pula nomena(sesuatu yang berada di balik fenomena)
2.
Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau rohani.
3.
Kesadaran adalah sesuatu yang intensional (terbuka da terarah pada subjek
4.
Substansi adalah kongkret yang menggambarkan isi dan stuktur kenyataan dan
sekaligus bisa terjangkau.
Usaha untuk mencapai segala sesuatu itu harus melalui
reduksi atau penyaringan yang terdiri dari :
1.
Reduksi fenomenologi, yaitu harus menyaring pengalaman-pengalaman dengan maksud
mendapat fenomena dalam wujud semurni-murninya. Dalam artian bahwa, kita harus
melepaskan benda-benda itu dari pandangan agama, adat istiadat, ilmu
pengetahuan dan ideologi.
2.
Reduksi eidetis, yaitu dengan menyaring atau penempatan dalam tanda kurung
sebagai hal yang bukan eidos atau intisari atau hakikat gejala atau fenomena.
3.
Reduksi transcendental, yaitu dalam penerapannya berdasarkan subjeknya sendiri
perbuatannya dan kesadaran yang murni.
Namun, menurut para
pengikut fenomenologi suatu fenomena tidak selalu harus dapat diamati dengan
indera. Sebab, fenomena dapat juga dilihat atau ditilik secara ruhani tanpa
melewati indera, fenomena tidak perlu suatu peristiwa.
2.
Max
Scheller (1874-1928)
Scheller
berpendapat bahwa metode fenomenologi sama dengan cara tertentu untuk memandang
realitas. Dalam hubungan ini kita mengadakan hubungan langsung dengan realitas
berdasarkan intuisi (pengalaman fenomenologi).
Menurutnya ada 3 fakta yang memegang peranan penting
dalam pengalaman filsafat. Diantaranya :
1.
Fakta natural, yaitu berdasarkan pengalaman inderawi yang menyangkut
benda-benda yang nampak dalam pengalaman biasa.
2.
Fakta ilmiah, yaitu yang mulai melepas diri dari penerapan inderawi yang
langsung dan semakin abstrak.
3.
Fakta fenomenologis, merupakan isi intuitif yang merupakan hakikat dari
pengalaman langsung.
3.
Martin
Heidegger (1889-1976)
Menurut Heidegger, manusia itu
terbuka bagi dunianya dan sesamanya. Kemampuan seseorang untuk bereksistensi
dengan hal-hal yang ada di luar dirinya karena memiliki kemampuan seperti
kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan atau pembicaraan. Bagi heidegger
untuk mencapai manusia utuh maka manusia harus merealisasikan segala potensinya
meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak mampu merealisasikannya. Ia tetap
sekuat tenaga tidak pantang menyerah dan selalu bertanggungjawab atas potensi
yang belum teraktualisasikan.
Dalam persfektif yang
lain mengenai sesosok Heidegger menjadi salah satu filsafat yang fenomenal
yaitu bahwa ia mengemukakan tentang konsep suasana hati (mood). Seperti yang kita ketahui bahwa dengan suasana
hatilah kita diatur oleh dunia kita, bukan dalam pendirian pengetahuan
observasional yang berjarak. Biasanya, dengan posisi kita yang sedang
bersahabat dengan suasana hati, maka kita akan bisa mengenali diri kita yang
sesungguhnya. Karena suasana hati bisa menjadi tolak ukur untuk mengetahui
hakikat diri dengan banyaknya pertanyaan yang muncul seperti pencarian jati
diri siapa kita sesungguhnya, apa kemampuan kita, dan apa kekurangan atau
kelebihan yang kita miliki, bagaimanakah kehidupan kita yang selanjutnya dan
pertanyaan-pertanyaan lainnya. Konsep inilah yang menguatkan pendapat banyak
orang mengenai sesosok orang yang mampu melihat noumena dan phenoumena.
4. Maurice Merlean-ponty
(1908-1961)
Sebagaimana halnya Husserl, ia yakin seorang filosof
benar-benar harus memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman. Pengalamannya
sendiri tentang realitas, dengan begitu ia menjauhkan diri dari dua ekstrim
yaitu :
Pertama hanya meneliti
atau mengulangi penelitian tentang apa yang telah dikatakan orang tentang
realita, dan Kedua hanya
memperhatikan segi-segi luar dari pengalaman tanpa menyebut-nyebut realitas
sama sekali.
Walaupun Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa
kitalah yang dapat mengetahui dengan sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui
benda-benda yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia mengatakan
lebih jauh lagi, yakni bahwa semua pengalaman perseptual membawa syarat yang
essensial tentang sesuatu alam di atas kesadaran.
Oleh karena itu deskripsi fenomenologi yang dilakukan
Marlean-Ponty tidak hanya berurusan dengan data rasa atau essensi saja, akan
tetapi menurutnya, kita melakukan perjumpaan perseptual dengan alam.
Marlean-Porty menegaskan sangat perlunya persepsi untuk mencapai yang real.
2.4
Jenis-Jenis Tradisi Fenomenologi
Inti
dari tradisi fenomenologi adalah mengamati kehidupan dalam keseharian dalam
suasana yang alamiah.Tradisi memandang manusia secara aktif mengintrepretasikan
pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami lingkungannya melalui
pengalaman personal dan langsung dengan lingkungannya.Titik berat tradisi
fenomenologi adalah Pada bagaimana individu mempersepsi serta memberikan
interpretasi pada pengalaman subyektifnya. Adapun varian dari tradisi
Fenomenologi ini adalah,:
1. Fenomena
Klasik, percaya pada kebenaran hanya bisa
didapatkan melalui pengarahan pengalaman, artinya hanya mempercayai suatu
kebenaran dari sudut pandangnya tersendiri atau obyektif.
2. Fenomenologi
Persepsi, percaya pada suatu kebenaran bisa di
dapatkan dari sudut pandang yang berbeda – beda, tidak hanya membatasi
fenomenologi pada obyektifitas, atau bisa dikatakan lebih subyektif.
3. Fenomenologi
Hermeneutik, percaya pada suatu kebenaran yang di tinjau
baik dari aspek obyektifitas maupun subyektifitasnya, dan juga disertai dengan
analisis guna menarik suatu kesimpulan.
2.5 Prinsip Dasar
Fenomenologi
Stanley Deetz
menyimpulkan tiga prinsip dasar fenomenologis:
·
Pengetahuan ditemukan secara langsung dalam
pengalaman sadar. Kita akan mengetahui dunia ketika kita berhubungan dengan
pengalaman itu sendiri.
·
Makna benda terdiri dari kekuatan benda dalam
kehidupan seseorang. Bagaimana kita berhubungan dengan benda menentukan
maknanya bagi kita.
·
Bahasa merupakan kendaraan makna. Kita
mengalami dunia melalui bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan dan
mengekspresikan dunia itu.
2.6
Fenomenologi Sebagai Metode
Ilmu
Fenomenologi
berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya.
Fenomena di sini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara
tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan
maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang
penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena,
melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama
sekali.
Seorang fenomenolog
hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat
memahami fenomena sebagaimana adanya: “Zu den Sachen Selbst” (kembali kepada
bendanya sendiri). Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin
keterkaitan manusia dengan realitas.
Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada
dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau
menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat
realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”.
Filsafat fenomenologi
berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua
fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha
inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”. Untuk itu,
Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi
fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision.
Kata epoche berasal
dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri
dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa
juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap
setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa
memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam
kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat
2.7
Konstribusi Fenomenologi Terhadap Ilmu Pengetahuan
Memperbincangkan
fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt
(“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas
konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu
sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam
karyanya, The Crisis of European Science and
Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia
kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi
dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat
pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta
sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam.
Akibatnya adalah terjadinya ‘matematisasi alam’, alam dipahami sebagai
keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman
manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke
formula-formula impersonal.[7]
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami
kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai
basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur
sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari
yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya
secara filosofis.
Konsep dunia
kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu
sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial.
Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi
seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia
sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya.
Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya
adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu
dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara
tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia
jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya,
ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan
itu.
Kontribusi dan tugas
fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia
kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi
kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari
sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat
ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’
yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial,
dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.
Demikianlah, dunia
kehidupan sosial merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan
fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka
konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat
sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan
sekaligus mendapatkan dukungan metodelogisnya.
2.8
Kelebihan dan Kekurangan Filsafat Fenomenologi
Kelebihan filsafat
fenomenoligi diantaranya dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
fenomenologi sebagai suatu metode keilmuan, dapat mendiskripsikan penomena
dengan apa adanya dengan tidak memanipulasi data, aneka macam teori dan
pandangan.
2.
fenomenologi mengungkapkan ilmu pengetahuan atau kebenaran dengan benar-benar
yang objektif.
3.
fenomenologi memandang objek kajian sebagai bulatan yang utuh tidak terpisah
dari objek lainnya.
Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan
yang holistik, bukan pendekatanpartial, sehingga
diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati, hal ini lah yang
menjadi kelebihan filsafat ini sehingga banyak dipakai oleh ilmuan-ilmuan pada
saat ini terutama ilmuan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk
bidang kajian agama.
Dari berbagai kelebihan tersebut, fenomenologi
sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan, seperti :
1.
Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada
pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama ataupun ilmu
pengetahuan, merupakan suatu yang absurd.
2.
Pengetahuan yang didapat tidak bebas nilai (value-free), tapi
bermuatan nilai (value-bound).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar