Kamis, 01 Oktober 2015

Hubungan Antara Filsafat, Manusia dan Pendidikan



 
A. Teori Kebenaran menurut Pandangan Filsafat dalam bidang Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Ada beberapa teori kebenaran menurut pandangan filsafat dalam bidang ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

1. Ontologi

Ontologi sering diidenfikasi dengan metafisika, yang juga disebut dengan proto filsafat atau filsafat yang pertama, atau filsafat ketuhanan yang bahasannya adalah hakikat sesuatu, keesaan,
persekutuan, sebab dan akibat, realita, prima atau Tuhan dengan segala sifatnya, malaikat, relasi atau segala sesuatu yang ada dibumi dengan tenaga-tenaga yang dilangit, wahyu, akhirat, dosa, neraka, pahala dan surga.

 Di dalam pendidikan, pandangan ontologi secara praktis akan menjadi masalah yang utama. Sebab anak bergaul dengan lingkungannya dan mempunyai dorongan yang kuat untuk mengerti sesuatu. Anak-anak, baik di masyarakat maupun sekolah, selalu dihadapkan pada realita, objek pengalaman, benda mati, benda hidup dan sebagainya. Membimbing anak untuk memahami realita dunia dan membina kesadaran tentang kebenaran yang berpangkal pada realita itu merupakan tahap pertama sebagai stimulus untuk menyelami kebenaran itu. Dengan sendirinya, potensi berpikir kritis anak-anak untuk mengerti kebenaran itu telah dibina. Di sini kewajiban pendidik ialah membina daya pikir yang tinggi dan kritis.

2. Epistemologi

Epistemologi didefenisikan sebagai cabang filsafat yang bersangkutan dengan filsafat dasar dari ruang lingkup pengetahuan pra-pra anggapan dan dasar-dasarnya serta realitas umum dari
tuntunan pengetahuan sebenarnya. Epistemologi ini adalah nama lain dari logika material atau logika mayor yang membahas isi pikiran manusia, yakni pengetahuan ( Dardini, 1986:18).
Epistemologi adalah studi tentang pengetahuan, bagaimana kita mengetahui benda-benda. Untuk lebih jelasnya ada beberapa contoh pertanyaan yang menggunakan kata “tahu” dan mengandung pengertian yang berbeda-beda baik sumbernya maupun validitasnya.
a. Tentu saja saya tahu ia sakit, karena saya melihatnya;
b. Percayalah, saya tahu apa yang saya bicarakan;
c. Kami tahu mobilnya baru, karena baru kemarin kami menaikinya (Ali, 1993:50).

3. Aksiologi

Aksiologi adalah suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai (value). Menurut Brameld, ada tiga bagian yang membedakan di dalam aksiologi. Pertama, moral conduct, tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika. Kedua , esthetic expression, ekspresi keindahan yang melahirkan estetika. Ketiga, socio-political life, kehidupan sosio-politik. Bidang ini melahirkan ilmu filsafat sosiopolitik (Muhammad Noor Syam, 1986: 34-36). Nilai dan implikasi aksiologi di dalam pendidikan ialah pendidikan menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan membinanya di dalam kepribadian anak. Karena untuk mengatakan suatu bernilai baik itu bukanlah hal yang mudah. Apalagi menilai secara mendalam dalam arti untuk membina kepribadian ideal. Berikut ini beberapa contoh yang dapat kita pergunakan untuk menilai seseorang itu baik, yaitu:
a. Baik, bu. Saya akan selalu baik dan taat kepada ibu!.
b. Nak, bukankah ini bacaan yang baik untukmu?.
c. Baiklah, Pak. Aku akan mengamalkan ilmuku.

B. Pandangan Filsafat tentang Hakikat Manusia

Ilmu yang mempelajari hakikat manusia disebut antropologi filsafat. Dalam hal ini, ada empat aliran yang akan dibahas. Pertama, aliran serba zat. Aliran ini mengatakan yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau materi. Alam ini adalah zat atau materi dan manusia
adalah unsur dari alam maka dari itu manusia adalah zat atau materi (Ibid, 1991).

Kedua aliran serba-ruh. Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini ialah ruh. Sementara adalah manifestasi dari ruh. Menurut fiche, segala sesuatu yang ada (selain ruh)
dan hidup ini hanyalah perumpamaan, perubahan, atau penjelmaan dari ruh ( Gazalba, 1992:288). Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa ruh lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada materi. Missal: betapapun kita mencintai seseorang , jika ruhnya terpisah dari badannya, maka materi/ jasadnya tidak ada artinya lagi. Dengan demikian aliran ini menganggap ruh itu ialah hakikat, sedangkan badan ialah penjelmaan atau bayangan.

Ketiga, aliran dualisme. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua subtansi, yaitu jasmani dan rohani. Kedua subtansi ini masing-masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak berasal dari ruh dan ruh tidak berasal dari badan. Perwujudannya manusia tidak serbadua, jasad dan ruh. Antara badan dan ruh terjadi sebab akibat keduanya saling mempengaruhi.

Keempat aliran eksitensialisme. Aliran filsafat modern berpandangan bahwa hakikat manusia merupakan eksitensi dari manusia. Hakikat manusia adalah apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Disini, manusia dipandang tidak dari sudut serba-zat atau serba-ruh atau dualisme, tetapi dari segi eksitensi manusia di dunia ini.

C. Sistem Nilai dalam Kehidupan Manusia

Sistem merupakan suatu himpunan gagasan atau prinsip-prinsip yang saling bertautan, yang bergabung menjadi suatu keseluruhan. Nilai akan selalu muncul bila manusia mengadakan hubungan social atau bermasyarakat dengan manusia lain.
a. Pengertian nilai
Dalam Ensiklopedia Britanica disebutkan, bahwa nilai itu merupakan suatu penetapan atau suatu kualitas suatu objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi. Nilai merupakan hasil kreativitas manusia dalam rangka melakukan kegiatan sosial, baik itu berupa cinta, simpati, dan lain-lain.
b. Bentuk dan tingkat-tingkat nilai
Menurut Burbecher, nilai itu dibedakan dalam dua bagian, yaitu nilai instrinsik dan nilai instrumental. Nilai instrumental adalah nilai yang dianggap baik karena bernilai untuk yang lain. Nilai instrinsik adalah yang dianggap baik, tidak untuk sesuatu yang lain , melainkan di dalam dirinya sendiri. Sementara menurut aliran realisme, kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konseptual terlebih dahulu, melainkan tergantung dari apa atau bagaimana keadaan bila dihayati oleh subjek tertentu dan bagaimana sikap subjek tersebut.

Adapun tingkat perkembangan nilai menurut Auguste Comte, itu terbagi menjadi tiga, yaitu tingkat teologis, tingkat metafisik, dan tingkat positif. Tingkat teologis adalah tingkat pertama, selanjutnya tingkat metafisik, dan sebagai tingkat yang paling atas adalah apabila manusia telah menguasai pengetahuan eksakta yang berarti manusia telah mencapai tingkat positif (Mohammad Noor Syam, 1986:132). Pada umumnya masyarakat menganut pendapat bahwa hierarki nilai dalam kehidupan manusia itu identik dengan hierarki tingkat-tingkat kebenaran , sebab kebenaran ialah nilai itu sendiri.
c. Nilai-nilai pendidikan dan tujuan pendidikan
Menurut Muhammad Noor Syam, pendidikan secara praktis tak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai, terutama yang meliputi kualitas kecerdasan, nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai agama yang
kesemuanya tersimpul dalam tujuan pendidikan, yakni membina kepribadian ideal.
Tujuan pendidikan, baik itu pada isinya ataupun rumusannya, tidak mungkin kita tetapkan tanpa pengertian dan pengetahuan yang tepat tentang nilai-nilai. Untuk menetapkan tujuan pendidikan dasar, harus melalui beberapa pendekatan seperti:
1) Pendekatan melalui analisis historis lembaga-lembaga sosial;
2) Pendekatan melalui analisis ilmiah tentang realita kehidupan
aktual;
3) Pendekatan melalui nilai-nilai filsafat yang normatif.
Sedangkan menurut aristoteles, tujuan pendidikan hendaknya
dirumuskan sesuai dengan tujuan didirikannya suatu Negara (Rapar, 1988:40). Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian bahwa nilai pendidikan bisa dilihat dari tujuan pendidikan yang ada.
d. Etika jabatan
Kewajiban mendidik merupakan panggilan sebagai moral tiap manusia. Yang jelas kaum professional ialah mereka yang telah menempuh pendidikan relative cukup lama dan mengalami latihanlatihan khusus. Oleh karena itulah, dalam pendidikan seorang guru harus mempunyai asas-asas umum yang universal yang dapat dipandang sebagai prinsip umum, seperti:
1) Melaksanakan kewajiban dasar good will atau itikad baik, dengan
kesadaran pengabdian;
2) Memperlakukan siapa pun, anak didik sebagai pribadi yang sama
dengan pribadinya sendiri;
3) Menghormati perasaan tiap orang;
4) Selalu berusaha menyumbangkan ide-ide, konsepsi,-konsepsi dan
karya-karya (ilmiah) demi kemajuan bidang kewajibannya;
5) Akan menerima haknya semat-semata sebagai kehormatan.

D. Pandangan Filsafat tentang Pendidikan

Secara sederhana, filsafat pendidikan adalah nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan filsafat yang menjiwai, mendasari, dan memberikan identitas suatu sistem pendidikan. Filsafat pendidikan adalah jiwa, ruh dan kepribadian sistem kependidikan nasional, karenanya sistem pendidikan nasional wajarlah dijiwai, didasari dan mencerminkan identitas Pancasila, citra, dan karsa bangsa kita, atau tujuan nasional dan hasrat luhur rakyat Indonesia yang tersimpul dalam pembukaan Undang- Undang Dasar 1945, sebagai perwujudan jiwa dan nilai Pancasia.

Ada beberapa unsur yang dapat dijadikan tonggak untuk pengembangan pendidikan lebih lanjut meliputi:
1) Dasar dan tujuan
2) Pendidikan dan perserta didik
3) Kurikulum
4) Sistem pendidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar