A. Teori
Kebenaran menurut Pandangan Filsafat dalam bidang Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi
Ada beberapa
teori kebenaran menurut pandangan filsafat dalam bidang ontologi, epistemologi,
dan aksiologi.
1. Ontologi
Ontologi sering
diidenfikasi dengan metafisika, yang juga disebut dengan proto filsafat atau
filsafat yang pertama, atau filsafat ketuhanan yang bahasannya adalah hakikat
sesuatu, keesaan,
persekutuan,
sebab dan akibat, realita, prima atau Tuhan dengan segala sifatnya, malaikat,
relasi atau segala sesuatu yang ada dibumi dengan tenaga-tenaga yang dilangit,
wahyu, akhirat, dosa, neraka, pahala dan surga.
Di dalam pendidikan, pandangan ontologi secara
praktis akan menjadi masalah yang utama. Sebab anak bergaul dengan lingkungannya
dan mempunyai dorongan yang kuat untuk mengerti sesuatu. Anak-anak, baik di
masyarakat maupun sekolah, selalu dihadapkan pada realita, objek pengalaman,
benda mati, benda hidup dan sebagainya. Membimbing anak untuk memahami realita
dunia dan membina kesadaran tentang kebenaran yang berpangkal pada realita itu
merupakan tahap pertama sebagai stimulus untuk menyelami kebenaran itu. Dengan
sendirinya, potensi berpikir kritis anak-anak untuk mengerti kebenaran itu
telah dibina. Di sini kewajiban pendidik ialah membina daya pikir yang tinggi
dan kritis.
2. Epistemologi
Epistemologi
didefenisikan sebagai cabang filsafat yang bersangkutan dengan filsafat dasar
dari ruang lingkup pengetahuan pra-pra anggapan dan dasar-dasarnya serta
realitas umum dari
tuntunan
pengetahuan sebenarnya. Epistemologi ini adalah nama lain dari logika material
atau logika mayor yang membahas isi pikiran manusia, yakni pengetahuan (
Dardini, 1986:18).
Epistemologi
adalah studi tentang pengetahuan, bagaimana kita mengetahui benda-benda. Untuk
lebih jelasnya ada beberapa contoh pertanyaan yang menggunakan kata “tahu” dan
mengandung pengertian yang berbeda-beda baik sumbernya maupun validitasnya.
a. Tentu saja
saya tahu ia sakit, karena saya melihatnya;
b. Percayalah,
saya tahu apa yang saya bicarakan;
c. Kami tahu
mobilnya baru, karena baru kemarin kami menaikinya (Ali, 1993:50).
3. Aksiologi
Aksiologi adalah
suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai (value). Menurut Brameld, ada tiga
bagian yang membedakan di dalam aksiologi. Pertama, moral conduct, tindakan
moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika. Kedua , esthetic
expression, ekspresi keindahan yang melahirkan estetika. Ketiga,
socio-political life, kehidupan sosio-politik. Bidang ini melahirkan ilmu
filsafat sosiopolitik (Muhammad Noor Syam, 1986: 34-36). Nilai dan implikasi
aksiologi di dalam pendidikan ialah pendidikan menguji dan mengintegrasikan
semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan membinanya di dalam
kepribadian anak. Karena untuk mengatakan suatu bernilai baik itu bukanlah hal
yang mudah. Apalagi menilai secara mendalam dalam arti untuk membina
kepribadian ideal. Berikut ini beberapa contoh yang dapat kita pergunakan untuk
menilai seseorang itu baik, yaitu:
a. Baik, bu.
Saya akan selalu baik dan taat kepada ibu!.
b. Nak, bukankah
ini bacaan yang baik untukmu?.
c. Baiklah, Pak.
Aku akan mengamalkan ilmuku.
B. Pandangan
Filsafat tentang Hakikat Manusia
Ilmu yang
mempelajari hakikat manusia disebut antropologi filsafat. Dalam hal ini, ada
empat aliran yang akan dibahas. Pertama, aliran serba zat. Aliran ini mengatakan
yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau materi. Alam ini adalah zat atau
materi dan manusia
adalah unsur
dari alam maka dari itu manusia adalah zat atau materi (Ibid, 1991).
Kedua aliran
serba-ruh. Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di
dunia ini ialah ruh. Sementara adalah manifestasi dari ruh. Menurut fiche,
segala sesuatu yang ada (selain ruh)
dan hidup ini
hanyalah perumpamaan, perubahan, atau penjelmaan dari ruh ( Gazalba, 1992:288).
Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa ruh lebih berharga, lebih tinggi nilainya
daripada materi. Missal: betapapun kita mencintai seseorang , jika ruhnya terpisah
dari badannya, maka materi/ jasadnya tidak ada artinya lagi. Dengan demikian
aliran ini menganggap ruh itu ialah hakikat, sedangkan badan ialah penjelmaan
atau bayangan.
Ketiga, aliran
dualisme. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari
dua subtansi, yaitu jasmani dan rohani. Kedua subtansi ini masing-masing merupakan
unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak
berasal dari ruh dan ruh tidak berasal dari badan. Perwujudannya manusia tidak
serbadua, jasad dan ruh. Antara badan dan ruh terjadi sebab akibat keduanya
saling mempengaruhi.
Keempat aliran
eksitensialisme. Aliran filsafat modern berpandangan bahwa hakikat manusia
merupakan eksitensi dari manusia. Hakikat manusia adalah apa yang menguasai
manusia secara menyeluruh. Disini, manusia dipandang tidak dari sudut serba-zat
atau serba-ruh atau dualisme, tetapi dari segi eksitensi manusia di dunia ini.
C. Sistem Nilai
dalam Kehidupan Manusia
Sistem merupakan
suatu himpunan gagasan atau prinsip-prinsip yang saling bertautan, yang
bergabung menjadi suatu keseluruhan. Nilai akan selalu muncul bila manusia mengadakan
hubungan social atau bermasyarakat dengan manusia lain.
a. Pengertian
nilai
Dalam
Ensiklopedia Britanica disebutkan, bahwa nilai itu merupakan suatu penetapan
atau suatu kualitas suatu objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi. Nilai
merupakan hasil kreativitas manusia dalam rangka melakukan kegiatan sosial,
baik itu berupa cinta, simpati, dan lain-lain.
b. Bentuk dan
tingkat-tingkat nilai
Menurut
Burbecher, nilai itu dibedakan dalam dua bagian, yaitu nilai instrinsik dan
nilai instrumental. Nilai instrumental adalah nilai yang dianggap baik karena
bernilai untuk yang lain. Nilai instrinsik adalah yang dianggap baik, tidak
untuk sesuatu yang lain , melainkan di dalam dirinya sendiri. Sementara menurut
aliran realisme, kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konseptual
terlebih dahulu, melainkan tergantung dari apa atau bagaimana keadaan bila dihayati
oleh subjek tertentu dan bagaimana sikap subjek tersebut.
Adapun tingkat
perkembangan nilai menurut Auguste Comte, itu terbagi menjadi tiga, yaitu
tingkat teologis, tingkat metafisik, dan tingkat positif. Tingkat teologis
adalah tingkat pertama, selanjutnya tingkat metafisik, dan sebagai tingkat yang
paling atas adalah apabila manusia telah menguasai pengetahuan eksakta yang
berarti manusia telah mencapai tingkat positif (Mohammad Noor Syam, 1986:132). Pada
umumnya masyarakat menganut pendapat bahwa hierarki nilai dalam kehidupan
manusia itu identik dengan hierarki tingkat-tingkat kebenaran , sebab kebenaran
ialah nilai itu sendiri.
c. Nilai-nilai
pendidikan dan tujuan pendidikan
Menurut Muhammad
Noor Syam, pendidikan secara praktis tak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai, terutama
yang meliputi kualitas kecerdasan, nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai agama
yang
kesemuanya
tersimpul dalam tujuan pendidikan, yakni membina kepribadian ideal.
Tujuan
pendidikan, baik itu pada isinya ataupun rumusannya, tidak mungkin kita
tetapkan tanpa pengertian dan pengetahuan yang tepat tentang nilai-nilai. Untuk
menetapkan tujuan pendidikan dasar, harus melalui beberapa pendekatan seperti:
1) Pendekatan
melalui analisis historis lembaga-lembaga sosial;
2) Pendekatan
melalui analisis ilmiah tentang realita kehidupan
aktual;
3) Pendekatan
melalui nilai-nilai filsafat yang normatif.
Sedangkan
menurut aristoteles, tujuan pendidikan hendaknya
dirumuskan
sesuai dengan tujuan didirikannya suatu Negara (Rapar, 1988:40). Dengan
demikian dapat diambil suatu pengertian bahwa nilai pendidikan bisa dilihat
dari tujuan pendidikan yang ada.
d. Etika jabatan
Kewajiban
mendidik merupakan panggilan sebagai moral tiap manusia. Yang jelas kaum
professional ialah mereka yang telah menempuh pendidikan relative cukup lama
dan mengalami latihanlatihan khusus. Oleh karena itulah, dalam pendidikan
seorang guru harus mempunyai asas-asas umum yang universal yang dapat dipandang
sebagai prinsip umum, seperti:
1) Melaksanakan
kewajiban dasar good will atau itikad baik, dengan
kesadaran
pengabdian;
2) Memperlakukan
siapa pun, anak didik sebagai pribadi yang sama
dengan
pribadinya sendiri;
3) Menghormati
perasaan tiap orang;
4) Selalu
berusaha menyumbangkan ide-ide, konsepsi,-konsepsi dan
karya-karya
(ilmiah) demi kemajuan bidang kewajibannya;
5) Akan menerima
haknya semat-semata sebagai kehormatan.
D. Pandangan
Filsafat tentang Pendidikan
Secara
sederhana, filsafat pendidikan adalah nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan
filsafat yang menjiwai, mendasari, dan memberikan identitas suatu sistem
pendidikan. Filsafat pendidikan adalah jiwa, ruh dan kepribadian sistem
kependidikan nasional, karenanya sistem pendidikan nasional wajarlah dijiwai,
didasari dan mencerminkan identitas Pancasila, citra, dan karsa bangsa kita,
atau tujuan nasional dan hasrat luhur rakyat Indonesia yang tersimpul dalam
pembukaan Undang- Undang Dasar 1945, sebagai perwujudan jiwa dan nilai Pancasia.
Ada beberapa
unsur yang dapat dijadikan tonggak untuk pengembangan pendidikan lebih lanjut
meliputi:
1) Dasar dan
tujuan
2) Pendidikan
dan perserta didik
3) Kurikulum
4) Sistem
pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar